Pemerintah diminta bertindak tegas terhadap pihak asing yang menyampaikan propaganda di dunia internasional terhadap kondisi Papua dan Papua Barat. Indonesia juga diminta mempertajam diplomasi untuk melakukan penegakan hukum.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diminta bertindak tegas terhadap pihak asing yang menyampaikan propaganda di dunia internasional terhadap kondisi Papua dan Papua Barat. Indonesia juga diminta mempertajam diplomasi untuk melakukan penegakan hukum terhadap provokator itu.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, Senin (2/9/2019), di Jakarta, menyatakan, tokoh separatis Papua, Benny Wenda, yang kini tinggal di Inggris, sangat aktif melancarkan propaganda dan memberikan informasi palsu terkait Papua dan Papua Barat. Indonesia dianggap tidak mengurus kedua wilayah tersebut.
”Tetapi, saya tegaskan bahwa itu tidak benar,” katanya.
Presiden, kata Wiranto, menugaskan untuk terus mengabarkan informasi aktual tentang Papua dan Papua Barat. Hal ini bertujuan untuk menangkal dan menetralisir informasi palsu yang mendiskreditkan pemerintah, mengadu domba, dan memelihara kekacauan di dua wilayah itu.
Pemerintah, lanjut Wiranto, juga telah mendeportasi empat warga negara Australia yang ikut demonstrasi di Papua. ”Sekarang tidak leluasa kita buka Papua dan Papua Barat terhadap kedatangan orang asing. Ada filter-filter. Akses ke wilayah itu baru dibuka setelah suasana kondusif dan aman. Ini harus dipahami. Ini hak negara kita untuk melakukan itu,” katanya.
Menurut Wiranto, di Jayapura, Papua, sejumlah pertokoan mulai buka. Stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) juga mulai buka. Kendati demikian, siswa masih diliburkan. Saat bersamaan, kondisi di Papua Barat juga berangsur kondusif.
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Komisi I DPR Satya Widya Yudha meminta pemerintah tegas terhadap siapa pun yang melanggar kedaulatan Indonesia. Kelompok Benny Wenda, katanya, senantiasa memprovokasi dunia internasional.
”Komisi I meminta Panglima TNI dan Kapolri untuk tidak segan-segan melakukan tindakan,” katanya.
Benny Wenda pernah ditangkap polisi pada Juni 2002. Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Musyawarah Masyarakat Koteka (DMMK) ini diduga telah menghasut masyarakat dan memimpin sejumlah pertemuan gelap untuk menyerang pos-pos TNI-Polri (Kompas, 11/6/2002).
Benny melarikan diri dari penjara Abepura pada 2002. Sejak 2003, ia tinggal di Oxford, Inggris, bersama keluarganya (Kompas, 20/7/2019).
Pakar hukum internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, menjelaskan, pemerintah dapat meminta Pemerintah Inggris untuk memproses hukum Benny Wenda. ”Dalam norma hukum internasional, sebuah negara yang bersahabat dengan negara lain tidak boleh membiarkan ada warga yang melakukan tindakan yang tidak bersahabat,” katanya.
Apabila hal ini dibiarkan, lanjutnya, ini berarti adanya pembiaran. Pembiaran itu dapat diprotes oleh Pemerintah Indonesia. ”Apabila protes tidak digubris, pemerintah pun dapat melakukan tindakan-tindakan diplomasi yang lebih tegas hingga tingkat pemutusan hubungan diplomatik,” katanya.
Gelombang aksi di Papua dan Papua Barat berawal dari protes masyarakat terhadap ujaran kebencian bernada rasisme yang dialami mahasiswa Papua di Jawa Timur, pertengahan Agustus lalu.
Benny melarikan diri dari penjara Abepura pada 2002. Sejak 2003, ia tinggal di Oxford, Inggris, bersama keluarganya.
Pada Kamis (29/8/2019), unjuk rasa di Jayapura, Papua, berakhir rusuh. Massa membakar Kantor Telkomsel Jayapura, Kantor Majelis Rakyat Papua, dan sebuah SPBU.
Sehari sebelumnya, Rabu, unjuk rasa dengan tuntutan yang sama di Deiyai, Papua, juga berakhir rusuh. Seorang anggota TNI dan dua warga meninggal akibat peristiwa ini.