Pemerintah Temukan Pelanggaran dalam Jasa Perparkiran
Sejumlah pelaku usaha layanan jasa perparkiran dinilai merugikan konsumen. Ini terjadi karena tidak optimalnya perlindungan konsumen dalam jasa perparkiran.
Oleh
Maria Paschalia Judith Justiari
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Sejumlah pelaku usaha layanan jasa perparkiran merugikan konsumen. Tidak optimalnya perlindungan konsumen dalam jasa perparkiran disebabkan oleh minimnya alokasi dana dari pelaku usaha.
Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan Veri Anggrijono sedang mengawasi 46 pelaku usaha layanan perparkiran. "Sekitar 10 di antaranya terbukti melanggar prinsip perlindungan konsumen. Jumlahnya kemungkinan akan bertambah ke depannya," katanya saat ditemui di Jakarta, Senin (2/9/2019).
Pengawasan berlangsung dalam enam bulan terakhir di Jakarta, Jawa Tengah, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan. Pengawasan itu dilakukan karena adanya aduan dari masyarakat. Adapun pengawasan dan penindakan ini mengacu pada Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 69 tahun 2018 tentang Pengawasan Barang Beredar dan/atau Jasa, dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 67 Tahun 2018 tentang Alat-Alat Ukur, Takar, Timbang dan Perlengkapannya yang Wajib Ditera dan Ditera Ulang.
Jika aduan itu terbukti benar, maka penyedia jasa layanan parkir terancam pidana penjara minimal 5 tahun atau denda paling banyak Rp 2 miliar.
Salah satu bentuk pelanggaran ialah, klausul "Kerusakan atas kendaraan yang diparkirkan dan kehilangan atas barang barang di dalam kendaraan merupakan tanggung jawab pengguna kendaraan" yang biasa tertera pada tiket/karcis parkir, spanduk, dan papan informasi/pengumuman di area perparkiran.
Klausul ini bertentangan dengan pasal 18 ayat 1 huruf a UU No 8 tahun 1999. "Klausul ini juga tidak menunjukkan ketidaksetaraan pertanggungjawaban antara pelaku usaha dengan konsumen," kata Veri.
Selain itu, pemerintah juga menemukan adanya pelanggaran dalam pencetakan karcis parkir. Waktu pencatatan pada mesin pencetak karcis di pintu masuk berbeda dengan mesin pemindai karcis di pintu keluar. Hal ini dapat membuat konsumen membayar lebih tinggi dari yang seharusnya.
Ada aspek-aspek lain dalam layanan perparkiran yang berpotensi merugikan konsumen. Misalnya pembayaran nontunai yang hanya menyediakan satu platform. Veri mengatakan, aspek-aspek lain tersebut masih dalam tahap kajian.
Sementara itu, Ketua Indonesia Parking Association Rio Octaviano berpendapat, pelaku usaha layanan perparkiran tengah terhimpit. Di satu sisi, pelayanan terhadap konsumen mesti optimal. Namun, dana yang menyokong tidak cukup.
Rio memaparkan, pelaku usaha maksimal mendapatkan 5 persen dari pendapatan bersih dalam jasa perparkiran. Sebanyak 95 persennya mesti diserahkan pada pemilik properti. Oleh sebab itu, dia mengharapkan adanya insentif dalam pajak perparkiran agar dapat mengoptimalkan pelayanan pada konsumen.
Misalnya dalam kasus kehilangan barang atau kerusakan barang di area parkir. Pelaku usaha jasa perparkiran dapat mengklaim kehilangan atau kerusakan tersebut ke asuransi mitra asalkan ada bukti. Bukti tersebut biasanya diperoleh dari rekaman CCTV. Mengadakan sistem kamera pengawasan, seperti CCTV, menambah biaya operasional dalam struktur bisnis pelaku usaha jasa perparkiran.
Untuk kasus tiket parkir, Rio menilai, pemerintah perlu menstandardisasi mesin pencetak dan pemindai secara nasional. Salah satu tujuannya ialah, mencegah perbedaan waktu pencatatan pada tiket parkir baik di pintu masuk maupun pintu keluar.