JAKARTA, KOMPAS – Solusi jangka pendek dalam menyikapi gejolak di Papua adalah penegakan hukum yang benar. Aparat diminta untuk bertindak proposional dan teliti agar korban tidak malah menjadi tersangka.
Hal ini disampaikan Ketua Tim Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Adriana Elisabeth, Senin (2/9). Adriana mengatakan, permasalahan Papua sangat kompleks akan tetapi yang paling penting dilakukan dalam jangka pendek adalah penegakan hukum yang transparan. Tujuannya, untuk memberikan rasa keadilan bagi semua pihak.
“Kasus rasisme di Surabaya dan Malang harap dipercepat proses hukumnya agar masyarakat melihat benar-benar hukum ditegakan,” katanya.
Ia menyatakan, pihak-pihak yang melakukan aksi kekerasan dalam rangkaian demonstrasi di Papua juga seharusnya diproses hukum. Akan tetapi, ia memberi catatan agar proses hukum yang diberlakukan jelas dan tidak malah menjerat korban karena Polri sulit membedakan pentolan aksi dan massa yang ikut-ikutan.
Sebelumnya, dalam konferensi pers, Menko Polhukan Wiranto mengatakan, proses hukum telah dilakukan. Untuk pelaku rasisme di Surabaya dan Malang, proses hukum tengah berjalan. Lima orang anggota TNI, termasuk Danramil tambak sari sudah diskors untuk memudahkan proses penyelidikan. Dua orang yaitu danramil dan babinsa telah masuk tingkat penyidikan.
Sementara, dari kalangan masyarakat sipil dua sudah ada orang tersangka, Tri Susanti dan Syaiful. Keduanya kena UU Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 28, karena menyebarkan kebencian berlatar belakang SARA.
Wiranto mengatakan, pemerintah juga sudah menindak tegas para pelaku tindakan anarkis yang telah merusak fasilitas publik. Saat ini, di Jayapura sudah ada 28 tersangka dari 62 yang telah dimintai keterangan. Di Manokwari ada 10 tersangka, di Sorong ada 7 tersangka dan di Fakfak ada satu tersangka. Semuanya dikenai pasal 170 ayat 1 KUHP tentang pencurian dan kekerasan.
“Gubernur minta penyelesaian kasus hukum dan ini sedang dilakukan,” kata Wiranto.
Adriana mengingatkan, dalam proses hukum ini, Polri jangan sampai menimbulkan masalah baru. Ia meminta agar aparat berhenti melakukan sweeping-sweeping anak-anak Papua yang ada di luar Papua. Ia mendapat informasi, ada anak-anak SMA asal Papua di Jateng dan Jatim yang didatangi polisi lalu diminta telepon genggamnya. Setelah diperiksa, mereka disuruh teriak “hidup NKRI”.
“Tindakan-tindakan seperti ini sangat disesalkan. Apalagi Kapolri sudah menekankan untuk aparat persuasive. Hal-hal seperti ini yang bikin orang-orang Papua jadi tawar hati – sulit untuk percaya,” kata Adriana.
Informasi harus diperjelas
Adriana juga menekankan agar aparat teliti dalam melakukan proses hukum. Ia mengatakan, ada beberapa orang yang dijemput dari RS di Deiyai. Masalahnya, jangan sampai kalau mereka korban malah dijadikan tersangka. Menurut Adriana, Polri seharusnya jeli. Pasalnya, banyak juga peserta demonstrasi yang hanya ikut-ikutan. Ia khusus menyoroti informasi adanya demonstran yang tewas di Deiyai.
“Informasi itu harus diperjelas oleh pemerintah, dan kalau ada yang bener meninggal, pelakunya harus diproses hukum,” tandasnya.
Wiranto dalam konferensi pers juga menyatakan, ada penyebaran hoax agar kekacauan di Papua terus berlanjut. Pemerintah berupaya untuk menetralisir hal ini. Berita tersebut ditujuan untuk adu domba antara masyarakat Papua dan pendatang. Hoax tersebut juga ingin menunjukkan kalau pemerintah tidak peduli pada masyarakat Papua dan Papua Barat. Ia juga menyebut nama Benny Wenda sebagai bagian dari konspirasi kerusuhan.
Adriana juga mendeteksi adanya potensi konflik antara orang Papua asli dan pendatang. Ia menyambut baik tindakan berbagai pihak, termasuk gereja, gubernur dan Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Sekolah di Jayapura juga sudah diliburkan seminggu.
Akan tetapi menurut Adriana, setelah proses hukum yang transparan dan proporsional itu, dibutuhkan dialog antara orang-orang Papua. Pasalnya, mereka terdiri dari beberapa faksi. Setelah itu, perlu diadakan dialog antara orang Papua Asli dan orang Non Papua yang ada di Papua. Pasalnya, mereka sebenarnya saling tergantung secara ekonomi. “Baru setelah itu dialog antar sektoral dengan pemerintah. Ini penting minimal untuk kanalisasi,” kata Adriana.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.