Lokasi Pengungsian Tidak Aman Bagi Perempuan
JAKARTA, KOMPAS – Pasca bencana alam di Sulawesi Tengah, sejumlah perempuan dan anak korban bencana mengalami berbagai kekerasan berbasis jender di lokasi pengungsian. Bentuknya mulai dari pemerkosaan, percobaan pemerkosaan, pemerkosaan beramai-ramai, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, kekerasan fisik, kekerasan dalam rumah tangga, hingga praktik perkawinan anak, kawin paksa, sunat perempuan, dan dugaan tindak pidana perdagangan orang.
Demikian hasil Penilaian Cepat Kekerasan Berbasis Gender (KBG) di Masa Tanggap Darurat di 10 tempat pengungsian di Sulawesi Tengah (Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Kabupaten Donggala) yang dilakukan United Nations Population Fund (UNFPA).
Penelitian di lapangan yang berlangsung mulai minggu ketiga November 2018 hingga minggu kedua Desember 2018, dengan 304 responden (79 laki-laki dan 225 perempuan), menemukan sejumlah para perempuan di kamp-kamp pengungsian atau hunian sementara (huntara) sangat berisiko tinggi mengalami KBG. Perempuan tersebut adalah perempuan (termasuk remaja perempuan) kepala keluarga, janda, maupun perempuan dan remaja perempuan yang hidup melajang.
Laporan Hasil Penilaian Cepat KBG yang berjudul “Mendengar Suara Perempuan” disampaikan Ita Fatia Nadia, National Konsultan untuk Gender Based Violence (GBV) in Humanitarian, UNFPA, pada Seminar “Perempuan dalam Kemanusiaan” yang dilaksanakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) bekerja sama dengan UNFPA dan UN Women, Senin (2/9/2019) di Jakarta. Seminar tersebut juga dalam rangka memperingati Hari Kemanusiaan Internasional, yang jatuh pada 19 Agustus 2019.
Selain Ita, pada seminar tersebut juga disampaikan hasil kajian jender di Sulawesi Tengah yang disampaikan Sinta Ratna Dewi (Konsultan UN Women), Nyimas Aliah (Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan dalam Situasi Darurat dan Kondisi Khusus, KPPPA), dan Ihsan Basir (Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Sulteng). Seminar tersebut juga mendengarkan pengalaman dari penyintas perempuan dan remaja dari Sulteng.
Menurut Ita, selama periode penilaian cepat ada 57 kasus KBG yang dilaporkan ke Ruang Ramah Perempuan (RRP) antara lain kasus penganiayaan fisik, pemerkosaan, pelecehan seksual, dan eksploitasi seksual.
Pemerkosaan terjadi di lokasi pengungsian, seperti di fasilitas mandi-cuci kakus, di area-area yang gelap dan terisolir di sekitar ladang/perkebunan tempat para perempuan melakukan kegiatan pertanian dan di hutan dekat tempat-tempat pengambilan air, di dalam kamp, dan tenda-tenda. Adapun pelakunya, adalah laki-laki yang merupakan tetangga di kamp pengungsian, paman/saudara laki-laki dari orangtua, ayah, kakek, pemuka komunitas/masyarakat, dan laki-laki yang tidak diketahui identitasnya.
Para perempuan korban pemerkosaan merasa tabu untuk melapor karena takut dipermalukan masyarakat, kehilangan hormat, dan dituduh berperilaku buruk. “Remaja perempuan yang hamil setelah diperkosa berusaha menggugurkan kandungan dengan cara-cara yang tidak aman. Dalam grup diskusi terarah menemukan dua kasus remaja perempuan yang meninggal karena aborsi yang tidak aman,” kata Ita.
Para perempuan korban pemerkosaan merasa tabu untuk melapor karena takut dipermalukan masyarakat, kehilangan hormat, dan dituduh berperilaku buruk.
Beberapa korban pemerkosaan yang bertahan hidup rentan menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO), bahkan beberapa perempuan dewasa dan remaja yang menjadi korban pemerkosaan ada yang memilih lari dari rumah. Ada juga yang memilih diam, karena takut dipukuli dan dipaksa menikah dengan pelaku.
“Temuan kasus KBG yang ditemukan dalam asesmen ini hanyalah puncak gunung es dari kasus KBG yang sebenarnya terjadi di lokasi pengungsian pasca bencana,” tutur Ita.
Jumlah korban KBG yang ditemukan diperkirakan jauh lebih besar, karena jumlah responden dalam penilaian cepat tersebut baru sekitar 300 orang. Padahal jumlah pengungsi di Sulteng saat ini sebanyak 172.969 jiwa.
Huntara tak aman
Dari kajian jender 6 bulan pasca bencana Sulteng yang dilakukan UN Women dari sejumlah organisasi, kata Sinta Ratna Dewi, menemukan hunian sementara dan pengungsian belum memenuhi standar minimal hunian layak dan perlindungan khususnya perempuan dan remaja perempuan.
“Seluruh responden perempuan menyebutkan bahwa kamar mandi tidak dipisahkan antara perempuan dan laki-laki, dan pintu tidak bisa dikunci. Pengintipan di kamar mandi, di tenda dan melubangi MCK/tenda seringkali terjadi,” kata Sinta.
Desain huntara dan fasilitas MCK yang tanpa sekat dan privasi, membuat perempuan dewasa dan remaja perempuan merasa tidak nyaman dan aman menggunakan fasilitas publik. Kondisi tersebut juga dikeluhkan oleh Okta, remaja korban bencana dari Sulteng. “Kalau mau ganti pakaian di tenda pengungsian enggak nyaman, karena ada ayah saya dalam tenda,” kata Sinta mengutip Okta.
Desain huntara dan fasilitas MCK yang tanpa sekat dan privasi, membuat perempuan dewasa dan remaja perempuan merasa tidak nyaman dan aman menggunakan fasilitas publik.
Selain audit keamanan, peningkatan kesadaran komunitas tentang perlindungan perempuan, penyediaan ruang ramah perempuan, dan mendorong pelibatan semua pihak dalam mencegah KBG menjadi rekomendasi dari penilaian cepat tersebut.
Untuk melindungi pengungsi perempuan dan anak, sudah ada Keputusan Gubernur tentang Tim Perlindungan Hak Perempuan Dalam Penanggulangan Bencana Di Prov Sulteng. Kendati demikian, dia mengakui selama ini mendapat laporan tentang berbagai kasus yang dialami oleh perempuan dan anak perempuan. Soal desain huntara yang tidak aman bagi perempuan dan anak perempuan, dia mengungkapkan desain tersebut adalah desain dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
“Saat ini jumlah pengungsi bencana di Sulteng sebanyak 172.969 jiwa yang terdiri 53.172 kepala keluarga di 400 titik pengungsian. Tidak lama lagi mereka akan pindah ke hunian tetap,” katanya.
Nyimas Aliah mengungkapkan, hasil penilaian cepat tentang KBG yang dialami perempuan dan anak perempuan di lokasi pengungsian di Sulteng akan disampaikan kepada Menteri PPPA agar bisa diteruskan kepada kementerian/lembaga yang terkait.
Saat membawa sambutan mewakili Deputi Perlindungan Hak Perempuan KPPPA Vennetia R Dannes, Nyimas menegaskan dampak dari kekerasan berbasis jender relatif lebih banyak dirasakan oleh perempuan dan anak perempuan, dari pada laki-laki dan anak laki-laki. Meskipun demikian laki-laki dan anak laki-laki juga bisa rentan menjadi korban kekerasan berbasis jender.
KBG yang terjadi dalam situasi darurat atau bencana umumnya jarang dilaporkan, dan akan sulit bahkan tidak mungkin untuk memperoleh ukuran yang akurat seberapa besar jumlah kasus dalam keadaan darurat.