Ruang Memuliakan Pengungsi
Di tengah segala keterbatasan, tantangan, dan ketiadaan harapan, ada kesempatan untuk menjawab ketidakpastian yang dihadapi pengungsi. Ada ruang untuk meningkatkan kapasitas mereka.
Meskipun utusan khusus Amerika Serikat untuk perundingan AS-Taliban, Zalmay Khalilzad, optimistis kedua pihak berada di ambang kesepahaman tentang perdamaian, situasi Afghanistan tetap panas.
Taliban, Minggu (1/9/2019), menyerang kota Puli Khumri, di Baghlan, sehari setelah kelompok bersenjata itu menyerang Kunduz, salah satu kota besar di Afghanistan. Puluhan orang, warga sipil, dan anggota keamanan tewas dalam serangan-serangan itu.
Sejak belasan tahun lalu, buruknya situasi Afghanistan memicu pengungsian besar-besaran warga negeri itu. Salah satunya Hussain Nazari (31) asal Jaghori, Afghanistan. Anak ketiga dari lima bersaudara—sehari-hari bekerja sebagai sopir yang mengantar buku-buku untuk sejumlah sekolah—itu terpaksa melarikan diri karena menjadi target Taliban.
Saat ditemui di tempat penampungan sementara di gedung ex-Kodim Jakarta Barat, dua pekan lalu, Hussain mengatakan, kegiatan belajar-mengajar di sekolah dilarang oleh Taliban. Oleh karena itu, menurut dia, siapa pun yang pekerjaannya berhubungan dengan sekolah akan menjadi sasaran Taliban. Ia melarikan diri dari Afghanistan pada 2013. Sempat berada di Kabul dan New Delhi di India, Hussain kini ”terjebak” di Jakarta.
Belum pulihnya situasi keamanan di negaranya tidak memungkinkannya kembali. Sementara itu, belum ada kesempatan baginya untuk diterima di negara ketiga. Indonesia, lokasi saat ini dia berada, hanyalah negara transit yang tidak memiliki kebijakan mengintegrasikan pengungsi menjadi warga negara.
Situasi serupa dialami Mohamed Abdirahman Aden (20) dan Abdulkadir (34), pengungsi asal Somalia. Mereka meninggalkan negara mereka karena tidak ada kedamaian. ”Somalia tidak aman, ada perang dan teroris,” kata Mohamed. ”Sekarang, kami memiliki kedamaian, tetapi kami tidak punya kehidupan,” kata Mohamed.
Menurut dia, hidup di pengungsian sangat memprihatinkan. Persoalan makanan bisa memicu keributan. Jika diberi kesempatan, mereka ingin dikirim ke negara ketiga. Mereka tidak mempermasalahkan negara ketiga mana yang akan menerima mereka karena yang terpenting bagi mereka adalah kedamaian, pekerjaan, dan pendidikan.
Namun, sayang, sejauh ini pintu menuju negara ketiga sangat sempit. Menurut catatan Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), dari total 70 juta pengungsi yang ada di dunia, hanya 1 persen pengungsi yang dapat dikirim ke negara ketiga.
”Kami terus berupaya untuk memberikan resettlement. Namun, setiap negara mempunyai kebijakannya masing-masing, dan kami harus menghormati kebijakan tersebut,” kata Thomas Vargas, perwakilan UNHCR di Indonesia, saat ditemui di kantornya, Senin pekan lalu.
Dalam situasi seperti itu, dan di tengah keterbatasan dana yang dimiliki, UNCR, kata Vargas, terus menjalin kerja sama dengan pemerintah dan mitra- mitra lainnya untuk memenuhi kebutuhan mendesak para pengungsi.
Namun, menurut dia, UNHCR juga terus berupaya agar para pengungsi tidak bergantung pada bantuan reguler dan bisa memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Pernyataan itu menegaskan pernyataannya pada pertengahan Juli lalu bahwa pengungsi, sebagaimana manusia lain, perlu hidup mandiri.
Alternatif
Direktur Jesuit Refugee Service Indonesia Peter Angelo Devantara SJ mengatakan, penting memberi ruang atau kesempatan bagi pengungsi untuk bekerja. Ia memahami bahwa ada ketentuan yang membatasi pengungsi untuk tidak boleh bekerja atau terlibat dalam aktifitas apa pun yang terkait dengan upah.
Namun, menurut dia, kemampuan—khususnya dana— dari lembaga-lembaga kemanusiaan sangat terbatas. Pemerintah, kata Devantara, perlu membuka paradigma baru yang lebih humanis terkait dengan penanganan pengungsi. Pelibatan mereka dalam ekonomi dapat memberi dukungan positif pada kinerja ekonomi lokal.
Hal senada sebelumnya dikatakan Thomas Vargas. ”Mereka mempunyai keterampilan, talenta, dan pengetahuan yang bisa dibagi dengan negara penampung. Kami bekerja dengan pemerintah dan partner lainnya dengan pendekatan yang mulia? Yang mengizinkan pengungsi berbagi talenta dan keterampilan sehingga bisa membantu ekonomi komunitas lokal,” kata Vargas.
Dalam satu kesempatan saat dihubungi pada bulan lalu, Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan, Sosial, dan Kemanusiaan LIPI, Tri Nuke Pudjiastuti, berpendapat, memang ada beberapa negara transit yang berupaya memanfaatkan pengungsi sehingga terjadi integrasi lokal, seperti pelibatan pengungsi di dunia bisnis.
Akan tetapi, hal ini tidak berlaku di Indonesia. Indonesia tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk menangani pengungsi. Dalam beberapa kasus, keberadaan pengungsi justru menjadi beban. Menurut Nuke, UNHCR harus menggandeng lembaga- lembaga PBB lainnya, seperti UNDP dan UNICEF, dalam membuat proposal alternatif, seperti penyediaan lapangan pekerjaan yang inovatif.
Hal ini sudah diterapkan Kanada yang membuat new immigration policy. Selain itu, forum-forum bisnis juga dapat digalakkan untuk meningkatkan kapasitas pengungsi lewat program CSR, yang memudahkan mereka berintegrasi di negara ketiga.
Namun, solusi-solusi ini tak berlaku di Indonesia karena belum ada aturan yang memungkinkan. Malaysia dan Thailand, kata Nuke, mulai mendesain ketentuan yang mengatur hal tersebut. Mungkin, saat ini Indonesia perlu memikirkannya.... (*)