JAKARTA, KOMPAS - Solusi terhadap permasalahan di Papua memerlukan pendekatan baru yang berbeda dari yang selama ini diterapkan pemerintah. Alih-alih menempuh pendekatan keamanan yang militeristik, dialog kemanusiaan dengan tokoh setempat perlu terus didorong untuk mencari solusi yang tepat terhadap berbagai persoalan mendasar di Papua yang selama ini kurang mendapat perhatian.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2004-2009, yang juga tokoh masyarakat Papua, Simon Patrice Morin saat dihubungi dari Jakarta, Senin (2/9/2019) mengatakan, persoalan di Papua tidak bisa diselesaikan dengan solusi instan. Permasalahan di Papua yang berujung pada rangkaian aksi unjuk rasa dan kericuhan akhir-akhir ini menyimpan akar persoalan yang mendalam dan luput dari perhatian.
Untuk itu, dialog terbuka dan tanpa rasa curiga perlu terus didorong antara pemerintah Indonesia dengan tokoh setempat di Papua. Kedua pihak perlu duduk bersama untuk mendudukkan berbagai persoalan dan kebutuhan masyarakat Papua, lalu mencari solusi yang tepat.
Terlebih, perlu ada kesediaan dari pemerintah untuk mengevaluasi ulang pendekatan keamanan yang selama ini ditempuh pemerintah dengan menjadikan Papua sebagai daerah operasi militer. Simon mengatakan, pendekatan keamanan tidak efektif dan bisa membuat Papua semakin jauh dari Indonesia. Sebab, pendekatan keamanan itu mencederai martabat orang Papua.
“Mari cari jalan tengah, supaya membangun sikap saling percaya. Sebagai satu bangsa, tidak bisa yang besar menguasai yang lemah, perlu ada dialog untuk saling memahami satu sama lain, bukan soal siapa menang dan kalah. Tidak bisa terus-menerus orang-orang Papua berteriak di satu sisi, lalu Jakarta bertahan di sisi lain. Keduanya harus saling mendengarkan,” kata politisi Partai Golkar itu.
Hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada 2009 dan 2017 memetakan empat akar konflik Papua-Jakarta. Pertama, sejarah dan status integrasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang masih kontroversial. Kedua, pelanggaran hak asasi manusia dan kekerasan oleh aparat negara yang belum diselesaikan secara adil.
Ketiga, marginalisasi dan diskriminasi terhadap orang asli Papua. Terakhir, kegagalan pembangunan di Papua, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Sampai hari ini, ujar Simon, pendekatan yang ditempuh tidak tepat dan persoalan-persoalan itu belum terpecahkan.
Ia menyontohkan, berbagai proyek pembangunan yang dilakukan pemerintahan Joko Widodo selama lima tahun terakhir. Menurutnya, pembangunan itu tidak selalu menyentuh kebutuhan masyarakat Papua secara tepat, sehingga akar permasalahan tetap dibiarkan tanpa solusi. Ada kecenderungan persoalan mendasar di Papua justru dikesampingkan.
Pemerintah menggelontorkan biaya hingga triliunan rupiah untuk membangun jalan Trans Papua, tetapi luput memperhatikan fasilitas pendidikan dan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat Papua.
“Yang kami butuh pendidikan dan kesehatan yang lebih baik, serta jalan-jalan yang menghubungkan antarkabupaten. Jalan-jalan besar hingga triliunan rupiah seharusnya bisa diganti dengan pembangunan sekolah dan rumah sakit yang lebih gencar,” ujar Simon.
Hal-hal seperti ini lah yang menurutnya perlu dibahas antara pemerintah Indonesia dengan tokoh-tokoh Papua. Dialog antara kedua belah pihak pun diharapkan berlangsung dengan dasar kemanusiaan, bukan politik. “Kita butuh dialog untuk mengetahui di mana rasa sakit itu dan bersama mencari obat untuk mengobatinya,” katanya.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.