ASN Pemkot Surabaya Terlibat Ujaran Bernada Rasisme
Pemerintah Kota Surabaya, Jawa Timur, menyesalkan keterlibatan Samsul Arifin, aparatur sipil negara yang menjadi tersangka kasus ujaran bernada rasisme di Asrama Mahasiswa Papua, Surabaya.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Pemerintah Kota Surabaya, Jawa Timur, menyesalkan keterlibatan Samsul Arifin, aparatur sipil negara yang menjadi tersangka kasus ujaran bernada rasisme di asrama mahasiswa Papua, Surabaya. Pemkot Surabaya menyerahkan semua proses hukum kepada kepolisian.
”Kami menyesalkan dan menyerahkan proses hukum kepada kepolisian untuk mengusut tuntas kasus yang menjerat SA. Kami akan mematuhi proses hukum yang berlaku,” kata Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Pemkot Surabaya Muhammad Fikser, Selasa (3/9/2019), di Surabaya.
Pemkot Surabaya, lanjutnya, akan membantu proses penyelidikan yang melibatkan salah satu aparatur sipil negara (ASN) jika diperlukan. Pihaknya tidak akan menghalang-halangi dan menutupi segala proses penyelidikan terhadap Samsul Arifin.
Melanggar etika
Menurut dia, ujaran bernada rasisme yang dilontarkan saat berada di asrama mahasiswa Papua di Surabaya merupakan tindakan yang melanggar etika sebagai seorang ASN. Sikap yang ditunjukkan kepada mahasiswa Papua merupakan bentuk yang tidak profesional sebagai penyelenggara negara.
Kami menyesalkan dan menyerahkan proses hukum kepada kepolisian untuk mengusut tuntas kasus yang menjerat SA. Kami akan mematuhi proses hukum yang berlaku.
”Siapa pun dan dengan alasan apa pun, rasisme itu tidak dibenarkan. Terlebih ASN yang bertugas sebagai pelayan publik seharusnya menjadi perekat masyarakat,” ucap Fikser.
Sebelumnya, Polda Jatim menetapkan dua tersangka dalam kasus ujaran bernada rasisme di asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Kedua tersangka, yakni Tri Susanti dan Samsul Arifin, ditahan sejak Selasa.
Tri dijerat dengan Pasal 45A Ayat (2) juncto Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal 160 KUHP, Pasal 14 Ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 15 UU No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Sementara Samsul disangkakan pasal yang sama dengan Tri, ditambah dengan UU No 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Rasis dan Etnis, dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 500 juta.
Kuasa hukum Samsul, Ari Hans Simalea, mengatakan, kliennya mengaku ikut melontarkan ujaran bernada rasisme saat peristiwa di asrama mahasiswa Papua, Jumat, 16 Agustus. Saat itu, Samsul yang bertugas sebagai anggota staf Linmas di Kecamatan Tambaksari ikut mendatangi asrama bersama massa dari organisasi masyarakat dan TNI.
”Ujaran itu hanya spontanitas sebagai umpatan kemarahan, bukan sengaja melakukan rasisme,” ujar Ari.
Kliennya juga meminta maaf kepada seluruh warga Papua dengan menuliskannya di secarik kertas bertuliskan:
”Saya atas nama personal dan mewakili warga Surabaya, meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada saudara-saudara Papua di tanah air Indonesia atas perbuatan yang saya lakukan.
Bukan maksud dan tujuan saya untuk melecehkan atau merendahkan bahkan bertindak rasisme kepada saudara-saudara Papua di tanah air.
Melainkan bentuk kekecewaan saya atas pelecehan harga diri bangsa kita berupa simbol negara bendera merah putih yang telah dimasukkan dalam selokan.
Bagi saya NKRI harga mati.
Surat pernyataan ini saya buat tanpa ada unsur paksaan dan tekanan dari pihak manapun.”