OTT Bupati Muara Enim, Diduga Terkait Suap Proyek Infrastruktur
KPK menangkap Bupati Muara Enim, Ahmad Yani beserta tiga lainnya, Senin (2/9/2019) malam. Dalam operasi tangkap tangan atau OTT itu, KPK menyita uang sebanyak 35.000 dollar AS atau setara dengan Rp 497,78 juta.
Oleh
Sharon Patricia
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK menangkap Bupati Muara Enim, Ahmad Yani beserta tiga lainnya di wilayah Palembang dan Muara Enim, Sumatera Selatan, Senin (2/9/2019) malam. Dari kejadian ini, KPK menyita uang sebanyak 35.000 dollar AS atau setara dengan Rp 497,78 juta.
“KPK telah membawa 4 orang ke Jakarta dari kegiatan tangkap tangan yang dilakukan kemarin. Kami duga terdapat transaksi antara pihak pejabat pemerintah kabupaten dan swasta terkait proyek pembangunan di sana,” ujar Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan, Selasa (3/9/2019).
Empat orang tersebut berasal dari unsur kepala daerah yaitu Bupati Muara Enim Ahmad Yani, pejabat pengadaan, dan rekanan swasta.
Uang sejumlah 35.000 dollar AS yang disita oleh KPK diduga terkait dengan proyek di dinas pekerjaan umum setempat.
“Pihak yang diamankan dalam kegiatan ini sedang dalam proses pemeriksaan intensif di kantor KPK," tambahnya.
Disegel
Selain itu, KPK telah menyegel sejumlah ruangan pasca-penangkapan tersebut. "Kami konfirmasi juga ada sejumlah ruangan yang disegel di Sumatera Selatan. Kami ingatkan agar pihak-pihak di lokasi tersebut tidak merusak atau memasuki zona tersebut,” ujar Basaria.
Sesuai hukum acara pidana, KPK diberikan waktu maksimal 24 jam untuk menentukan status empat orang yang tengah diperiksa. Rencananya, hari ini juga KPK akan menggelar jumpa pers terkait penangkapan itu.
Untuk diketahui, ditangkapnya pimpinan daerah karena korupsi bukan kali ini saja. Mengacu data Anti-Corruption Clearing House, pada 2004-2018, kepala/wakil kepala yang korupsi mencapai 101 orang.
Biaya politik tinggi
Ahli Hukum Pidana dari Universitas Diponegoro Pujiono melihat adanya korelasi antara tingginya biaya politik yang harus dikeluarkan agar bisa terpilih di pemilihan kepala daerah (pilkada) dengan banyaknya pimpinan daerah yang korupsi. Sebab, tingginya biaya politik membuat pimpinan daerah seringkali korupsi agar biaya tinggi yang dikeluarkannya saat pilkada, bisa kembali.
Oleh karena itu, untuk mencegah adanya lagi pimpinan daerah yang korupsi, sistem pilkada harus dibenahi supaya tidak berbiaya tinggi.
Selain itu, dia mendorong agar sistem pencegahan korupsi dibangun. Sistem ini abai dibangun selama ini sehingga korupsi terus berulang.
“Eliminasi faktor-faktor korupsi dengan membangun sistem pencegahan yang kuat. Ini yang seolah kita tutup mata, pokoknya hukum menyelesaikan (masalah), kenyataannya tidak bisa seperti itu,” katanya.