Kalah di Mongolia, Jepang Mengincar Indonesia
Perang Dunia II menciptakan wajah dan tatanan baru geopolitik dunia menjadi seperti saat ini, termasuk kelahiran dan kelangsungan Republik Indonesia.
Secara umum umat manusia mengingat Perang Dunia II pecah tanggal 1 September 1939, yakni ketika Nazi Jerman menyebarkan berita bohong (hoaks) bahwa tentara Polandia menyerang pos perbatasan Jerman. Jerman kemudian melakukan serangan "balik" ke wilayah Polandia yang kemudian memicu perang.
Pada waktu yang sama sedang berlangsung pertempuran berdarah di daratan Asia, tepatnya di Mongolia, yakni antara Angkatan Darat Jepang (Rikugun) melawan Angkatan Darat Uni Soviet yang akhirnya dimenangkan pihak Soviet pimpinan Giorgi Zhukov yang ketika itu berusia 42 tahun.
Jenderal Zhukov kelak di penghujung Perang Dunia II di Eropa, memimpin Tentara Merah memasuki Berlin menjelang kekalahan Jerman, Mei 1945. Pertempuran di Kalkhin Gol berlangsung sejak 28 Mei 1939 hingga tanggal 16 September 1939 yang diakhiri gencatatan senjata.
Pihak Soviet dan Mongolia kehilangan lebih dari 28.000 prajurit gugur, sedangkan pihak Jepang serta Manchukuo kehilangan lebih dari 18.000 orang serdadu. Meski demikian, Jepang menjadi pihak yang kalah dalam pertempuran yang berlangsung selama empat bulan itu.
Kekalahan Jepang di Mongolia dalam pertempuran Kalkhin Gol yang oleh Jepang disebut Nomonhan Jikken (Insiden Nomonhan), mengakibatkan Jepang banting setir dari semula ingin menguasai wilayah daratan Asia sehingga harus berhadapan dengan hegemoni Uni Soviet, berganti sasaran ke Asia Tenggara.
Tujuan utama ekspansi Jepang ke Asia Tenggara adalah menguasai sumber daya alam Hindia Belanda (Indonesia di masa penjajahan). Hal ini diungkapkan John Colvin, penulis buku "Nomonhan" yang juga seorang diplomat Inggris.
Sejarah mencatat, akibat serangan Jepang ke Pearl Harbour, Hawaii tanggal 8 Desember 1941 Perang Dunia II di Pasifik pun pecah! Beberapa jam sebelumnya, Jepang mendaratkan serdadunya ke Kota Bharu, di Kelantan, British Malaya, kini Malaysia.
Secara hampir bersamaan, Jepang menyerang Hong Kong, Guam, Filipina, dan berbagai sasaran di Asia Tenggara dengan tujuan akhir Pulau Jawa, jantung dari wilayah kaya sumber daya alam Hindia Belanda.
Dampak geopolitik
Sebelum pecah pertempuran di Nomonhan, terjadi persaingan sengit antara Uni Soviet, kini Federasi Rusia, dengan Jepang di timur laut Asia Timur. Sepanjang tahun 1931 – 1945, terjadi 1.000 insiden perbatasan antara Kekaisaran Jepang dengan Uni Soviet di daratan sepanjang 3.000 mil yang membatasi wilayah timur Uni Soviet dengan kekuasaan Jepang di Manchukuo, kini wilayah Timur Laut China atau disebut Dong Bei.
Hal ini diungkapkan sejarawan Stuart D Goldman saat acara bedah bukunya yang berjudul Nomonhan 1939, Red Army Victory That Shaped World War II yang bertempat di Kedutaan Besar Mongolia di Washington DC pada tahun 2012.
Kondisi China setelah era kekaisaran dalam keadaan lemah sehingga pada tahun 1931, Jepang berhasil mendirikan negara boneka Manchukuo. Berakhirnya era kekaisaran ditandai dengan tumbangnya Dinasti Qing dan digantikan Republik China (Zhong Hua Min Guo).
Hal yang menarik, menurut Stuart D Goldman, tentara Jepang di Manchukuo yang dikenal sebagai Kwantung Army, sering bertindak bebas di luar kendali Pemerintah Tokyo dan Markas Besar Angkatan Darat. Kwantung Army dikuasai para perwira menengah yang bertindak sesuka hati dan kerap membangkang perintah dengan melakukan operasi atas inisiatif sendiri.
Langkah serampangan Kwantung Army berlanjut. Pada tahun 1937 terjadi insiden Jembatan Marco Polo di dekat Peking yang mengakibatkan perang terbuka antara China dengan Jepang yang berlangsung hingga tahun 1945.
Merasa di atas angin, Kwantung Army mengincar daerah sengketa perbatasan mereka dengan Mongolia yang bersekutu dengan Uni Soviet. Motor dari manuver militer Kwantung Army di kawasan tersebut adalah Mayor Tsuji.
Mayor Tsuji dan kawan-kawan yang berkekuatan 15.000 orang prajurit infanteri dan 70 tank memperkirakan hanya akan menghadapi 1.000 prajurit Soviet dan Mongolia di Nomonhan. Ternyata Jenderal Zhukov mempunyai 8.000 prajurit dan 300 tank serta kendaraan lapis baja. Serangan awal Jepang akhir Mei 1939 pun gagal di Nomonhan.
Adu siasat diplomasi
Selain situasi lapangan yang memanas di Nomonhan, Jepang terus melancarkan berbagai agresi di Asia untuk meluaskan pengaruh. Percaturan politik dunia juga tengah bergolak. Di Eropa, Nazi Jerman mulai mencaplok wilayah Ceko, terjadinya penyatuan Austria, serta Italia yang berperang di Afrika untuk mengembalikan kejayaan Imperium Romawi.
Pemimpin Uni Soviet Joseph Stalin (Stalin berarti Manusia Besi) membaca dunia yang terbagi dalam tiga blok, yakni demokrasi borjuis dengan Inggris dan Prancis sebagai motor. Saat itu, Amerika Serikat masih menerapkan politik isolasionis yang mengasingkan diri. Untuk blok komunis, Uni Soviet memegang peranan sebagai motor, sedangkan blok fasis dimotori Jerman, Italia, dan Jepang.
Semasa itu, pihak Inggris – Prancis berunding diam-diam dengan Moskow untuk membuat pakta persekutuan guna menghadapi Jerman dan kekuatan fasis. Di sisi lain, Jerman Nazi juga diam-diam berunding dengan Uni Soviet.
Akhirnya, Joseph Stalin memutuskan membuat Pakta Non-Agresi antara Menteri Luar Negeri Nazi Joachin von Ribbentrop dengan Menteri Luar Negeri Soviet Molotov yang ditandangani 23 Agustus 1939, atau seminggu sebelum Nazi Jerman menyerbu Polandia.
Pihak Inggris – Prancis kemudian menyatakan akan mendukung Polandia jika Jerman menyerang, setelah Hitler secara sepihak meninggalkan perjanjian Munich di bulan Maret 1939.
Ada fakta menarik, Wakil Menlu Nazi Walther Hewel memberikan informasi tentang nilai strategis dan kekayaan alam Nusantara (Indonesia). Dalam buku Petualangan Hitler di Asia karya Henri Horst Geerken, Hewel disebut pernah tinggal di Jawa tahun 1926 – 1936 dan menjadi penasehat utama Adolf Hitler soal Asia.
Pakta Non-Agresi Nazi Jerman – Uni Soviet itu memungkinkan Joseph Stalin berfokus menghadapi Jepang di Nomonhan. Bahkan setelah gencatan senjata dengan Jepang tanggal 16 September 1939, Tentara Merah Soviet pun melancarkan serangan ke Polandia dari timur yang di sisi barat sedang diserbu Nazi Jerman. Tepat tanggal 17 September 1939, Uni Soviet menyerang Polandia. Polandia dibagi dua, di bawah kekuasaan Nazi Jerman dan pendudukan Uni Soviet.
Sepintas kejam langkah yang diambil Stalin, tetapi dengan adanya wilayah Polandia yang diduduki Tentara Merah, Stalin sekaligus menciptakan jarak antara Jerman dengan wilayah asli Uni Soviet .
Stuart D Goldman menyatakan, Stalin memilih menandatangani Pakta Non-Agresi dengan Nazi Jerman setelah menimbang fakta posisi Soviet yang terjepit antara agresi Jepang di timur dan kekuatan Nazi Jerman di barat yang siap mencaplok Polandia dan langsung berbatasan dengan Uni Soviet.
Berdasarkan jaringan mata-mata Uni Soviet di Tokyo yang dipimpin koresponden Richard Sorge, terungkap Jepang berusaha mementahkan pakta Soviet – Jerman agar Uni Soviet terjepit. Stalin pun memutuskan membangun Pakta Non-Agresi (walau sementara waktu) dengan Nazi Jerman. Terbukti pada 22 Juni 1941, Nazi Jerman menyerbu Uni Soviet dalam Operasi Barbarossa.
Jepang mengincar Indonesia
Setelah memastikan permainan diplomasi dan geopolitik berhasil diamankan, Uni Soviet dapat fokus menghadapi Jepang. Setelah serangan yang gagal tanggal 28 – 29 Mei, pada awal Juli 1939 Jepang kembali melancarkan serangan dengan sandi “memotong ayam”. Mereka meyakini akan menggilas Tentara Soviet dan Mongolia dengan mudah di Nomonhan.
Serangan tanggal 1 – 3 Juli 1939 kembali menjadi kegagalan Jepang. Jenderal Zhukov memusatkan pasukan infanteri dan artileri lapangan di pusat serangan ke arah Jepang. Lalu Zhukov mengerahkan tank dan kendaraan lapis baja dalam jepitan berganda (double envelope), yakni mengurung pasukan Jepang dari samping dengan dua lapis pasukan lapis baja. Zhukov dikenal sebagai ahli pertempuran mekanis yang menggabungkan infanteri dengan kavaleri. Stuart D Goldman mencatat, dalam pertempuran tersebut, hampir 75 persen kekuatan Jepang musnah!
Pihak Jepang kalah dalam segalanya karena keliru menilai cuaca, medan, dan musuh atau cumemu. Jepang menilai posisi mereka yang hanya berjarak 50 mil dari rel kereta api Manchuria akan memudahkan pengiriman logistik dan bantuan dibandingkan posisi Uni Soviet yang berjarak 400 mil dari rel kereta api Trans Siberia untuk pengiriman logistik Tentara Merah.
Jepang juga sangat percaya diri dengan adanya 800 truk pengangkut logistik. Namun, mereka tidak menyadari ada 4.200 truk logistik Uni Soviet yang siang hari bergerak ke arah barat karena terkesan meninggalkan atau mundur dari Nomonhan. Padahal, sebetulnya pada malam hari Soviet kembali dengan membawa logistik dan pasukan bantuan ke Nomonhan dengan konvoi yang bergerak dalam kegelapan.
Pada pertempuran akhir tanggal 20 – 30 Agustus 1939, Jepang kehilangan 23.000 personil tewas di Nomonhan atau 75 persen dari kekuatan yang tersisa. Kondisi itu mendorong gencatan senjata.
Uni Soviet berhasil mengamankan sisi timur negerinya dan Jepang mengalihkan perhatian yang menurut John Colvin di tahun 1941, fokus diarahkan ke Asia Tenggara sekaligus berusaha menghindari konfrontasi dengan Amerika Serikat di Filipina dan Hawaii.
Akan tetapi benturan dengan Amerika Serikat ternyata tidak mungkin dihindari. Sejarah mencatat, Uni Soviet bersama Sekutu kelak mengalahkan Jerman di front Eropa dan di Asia Tenggara.
Adapun negara-negara koloni termasuk Hindia Belanda memperoleh peluang merdeka seperti dilakukan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 setelah Jepang mengalahkan Belanda namun kemudian terjadi kekosongan kekuasaan ketika Jepang dikalahkan Sekutu. Perang Dunia II menciptakan wajah dan tatanan baru geopolitik dunia menjadi seperti saat ini, termasuk kelahiran dan kelangsungan Republik Indonesia!