Sebanyak 10 pasal dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana berpotensi mengkriminalkan jurnalis dan media. Pasal-pasal tersebut bisa mengancam kebebasan berekspresi dan kebebasan pers.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
Pemerintah dan DPR diminta tidak memaksakan mengesahkan RKUHP akhir bulan ini. Pasalnya, ada 10 pasal di draf RKUHP yang berpotensi mengkriminalkan jurnalis dan media.
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 10 pasal dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana berpotensi mengkriminalkan jurnalis dan media. Pasal-pasal tersebut bisa mengancam kebebasan berekspresi dan kebebasan pers.
Kesepuluh pasal tersebut termuat dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tanggal 28 Agustus 2019. Pasal-pasal itu meliputi Pasal 219 tentang penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden; Pasal 241 tentang penghinaan terhadap pemerintah; Pasal 247 tentang hasutan melawan penguasa; Pasal 262 tentang penyiaran berita bohong; Pasal 263 tentang berita tidak pasti; Pasal 281 tentang penghinaan terhadap pengadilan; Pasal 305 tentang penghinaan terhadap agama; Pasal 354 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara; Pasal 440 tentang pencemaran nama baik; dan Pasal 444 tentang pencemaran orang mati.
Selama ini, berbagai kalangan masyarakat sipil telah melayangkan banyak kritik terhadap pasal-pasal di atas. Namun, DPR dan pemerintah cenderung mengabaikan masukan-masukan publik.
”DPR dan Pemerintah menghidupkan lagi pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden yang sudah dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006. Selain itu, mereka juga menambah pemidanaan baru yang akan berdampak besar bagi jurnalis dan media, yaitu dengan adanya pasal penghinaan terhadap pengadilan,” kata Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan di Kantor AJI, Jakarta, Senin (2/9/2019).
DPR dan Pemerintah menghidupkan lagi pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden yang sudah dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006.
Kritik terhadap pembahasan RKUHP menjadi semakin mendesak mengingat DPR dan Pemerintah menyatakan akan segera mengesahkan RKUHP sebelum masa jabatan DPR periode 2014-2019 berakhir bulan ini. Harapannya, pasal-pasal yang berpotensi mengancam kebebasan berekspresi dan kebebasan pers segera dicabut dari draf tersebut.
Pernyataan sikap
Menanggapi perkembangan pembahasan RKUHP, AJI melayangkan pernyataan sikap kepada Pemerintah dan DPR. ”Kami mengecam DPR dan Pemerintah yang masih mempertahankan pasal-pasal yang bisa mengkriminalkan jurnalis. Sikap DPR dan Pemerintah ini tidak menghormati sistem demokrasi yang menempatkan media sebagai pilar keempat dalam negara demokrasi setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif,” tambah Ketua Bidang Advokasi AJI, Sasmito Madrim.
Karena itulah AJI mendesak DPR dan Pemerintah agar tidak memaksakan diri untuk mengesahkan RKUHP dalam waktu singkat. Pembahasan yang terburu-buru tidak akan menghasilkan KUHP yang sesuai dengan semangat demokratisasi, tetapi justru sebaliknya malah mengabaikan aspirasi masyarakat sipil, organisasi jurnalis dan media.
AJI juga meminta DPR dan Pemerintah mengubah soal pencemaran nama baik dari ranah pidana ke perdata sesuai dengan perkembangan di dunia internasional yang mendorong penyelesaian semacam itu melalui jalur perdata. ”Memasukkan soal pencemaran nama baik dalam ranah pidana akan memberikan efek menakutkan yang tidak sejalan dengan semangat demokrasi dan Undang-Undang Pers yang mengamanatkan agar pers melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum,” ujar Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) Ade Wahyudin.
AJI juga meminta DPR dan Pemerintah mengubah soal pencemaran nama baik dari ranah pidana ke perdata sesuai perkembangan di dunia internasional yang mendorong penyelesaian semacam itu melalui jalur perdata.
AJI dan LBH Pers sepakat mendesak DPR dan Pemerintah mencabut Pasal 281 soal penghinaan terhadap pengadilan. Sebab, pasal itu dengan mudah bisa dipakai untuk menjerat jurnalis dan media yang selama ini sering menulis berita-berita putusan sidang dan jalannya peradilan.
”Pasal itu bisa dipakai oleh para penegak hukum yang buruk untuk membungkam media yang menulis berita bernada kritik atas putusannya atau karena mengungkap perilakunya yang tak sesuai undang-undang,” tambah Ade.
Sebelumnya, masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi Kitab Undang-undang Hukum Pidana juga meminta DPR dan Pemerintah agar tak memaksakan diri mengesahkan rancangan KUHP yang dinilai memuat banyak masalah. RKUHP itu diharapkan ditarik kembali dan dikaji lagi dengan berbasis data dan pendekatan lintas disiplin ilmu.
Menurut Peneliti Institute for Criminal Justice Reform, Maidina Rahmawati, pengkajian ulang itu diperlukan untuk mencegah RKUHP sekadar jadi produk hukum yang menjadi ”capaian” pemerintah, tetapi justru menjadi sumber masalah baru hukum pidana.
Meskipun masih banyak pasal problematik, DPR dan pemerintah tetap akan mengejar pembahasan RKUHP. Ketua Badan Legislasi DPR dari Fraksi Partai Gerindra Supratman Andi Agtas mengatakan, itu merupakan komitmen DPR dan pemerintah.
Pada Rabu (28/8/2019), Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly bertemu dengan pimpinan DPR dan meminta agar RKUHP sudah disahkan di rapat paripurna pada 24 September 2019. ”Kelihatannya RKUHP akan tetap selesai (di akhir masa jabatan ini). Pemerintah sudah meminta agar segera diparipurnakan,” kata Supratman. (RINI KUSTIASIH/AGNES THEODORA)