Lebih dari 100 pakar hubungan internasional, perwakilan lembaga pemikiran global serta resolusi konflik, dan pengambil kebijakan publik di Korea Selatan memadati ruang konferensi Demilitarized Zone (DMZ) International Forum on the Peace Economy di Seoul, Korea Selatan, Kamis (29/8/2019).
Oleh
Antony Lee dari Seoul, Korea Selatan
·4 menit baca
”Golae ssaum-e saeu deung teojinda (Ketika paus bertarung, punggung udang yang hancur)”. Peribahasa Korea, yang lebih kurang bermakna pihak tak bersalah yang jadi korban dari pertikaian kekuatan besar, ini bisa menjadi bahan refleksi untuk bangsa Indonesia.
Lebih dari 100 pakar hubungan internasional, perwakilan lembaga pemikiran global serta resolusi konflik, dan pengambil kebijakan publik di Korea Selatan memadati ruang konferensi Demilitarized Zone (DMZ) International Forum on the Peace Economy di Seoul, Korea Selatan, Kamis (29/8/2019). Beberapa mantan kepala negara dan kepala pemerintahan juga hadir untuk memberikan masukan soal perdamaian dan reunifikasi Korea, di antaranya Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri, mantan Kanselir Jerman Gerhard Shroder, dan mantan Perdana Menteri Jepang Yukio Hatoyama.
”Ada banyak hal yang perlu dibenahi dalam realisasi perdamaian. Acara ini diharapkan bisa menjadi ajang pakar negara-negara untuk berbagi masukan dalam penciptaan perdamaian di Semenanjung Korea,” tutur Seong Kyoung Ryung, Chair of the Organizing Committee for DMZ International Forum on Peace Economy dalam sambutannya.
Berbagai masukan muncul dari para pembicara utama terkait upaya menjaga perdamaian Semenanjung Korea. Ada yang menekankan kepatuhan pada hukum, pentingnya komunikasi di antara kedua Korea, dan proses denuklirisasi Semenanjung Korea. Ada pula gagasan menggunakan pengelolaan lingkungan hidup lintas negara untuk membangun kepercayaan dan kerja sama.
Sementara itu, di konferensi tersebut Megawati menawarkan salah satu esensi Pancasila untuk dijadikan sarana mempercepat proses reunifikasi, yakni musyawarah mufakat. Melalui musyawarah, tema-tema yang sudah ditentukan dibahas dalam posisi para pihak yang setara sebagai sesama saudara sehingga tidak ada dominasi satu pihak atas pihak lainnya.
Sehari sebelum konferensi, sebagian peserta menyambangi beberapa titik di DMZ, yang menjadi garis pembatas Korea Utara dan Korea Selatan. DMZ sepanjang 250 kilometer ini membelah Semenanjung Korea menjadi dua. DMZ juga kerap disebut ”Paralel 38”, yakni titik yang dipilih Amerika Serikat dan Uni Soviet sebagai perbatasan militer kedua negara tersebut dalam Konferensi Postdam, jelang berakhirnya Perang Dunia II (Britannica.com).
Berbagai upaya dan dialog diupayakan Korsel dan Korut untuk membahas perdamaian di antara kedua negara. Perang Korea (1950-1953) hanya terhenti karena gencatan senjata, tetapi saat itu belum ada penandatanganan perjanjian damai. Prospek perdamaian dan penyatuan kembali kedua Korea memasuki babak baru setelah Presiden Korsel Moon Jae-in dan Pemimpin Korut Kim Jong Un menandatangani Deklarasi Panmunjeom pada April 2018. Mereka menyatakan tidak akan ada lagi perang di Semenanjung Korea serta era baru perdamaian dimulai.
Peta jalan menuju bersatunya kembali Korut dan Korsel sepertinya masih berliku. Padahal, kedua negara itu memiliki etnis, bahasa, dan budaya yang sama. Bangsa Korea juga sudah lebih dari 1.300 tahun bersatu dalam kerajaan yang sama, sebelum pendudukan Jepang pada tahun 1910.
Mudah dipecah belah
Menurut Megawati, kerapuhan persatuan yang menyebabkan Korea dan Jerman (Jerman Barat dan Jerman Timur) terpecah disebabkan sangat mudahnya pihak-pihak di pecah belah. Megawati juga menyaksikan hal itu pada saat ia menjabat wakil presiden dan saat itu diminta Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur untuk menyelesaikan konflik di kawasan timur Indonesia.
”Karena itu, saya bisa rasakan sebetulnya rakyat sendiri sering sangat tidak tahu kenapa jadi begitu (konflik). Sebetulnya yang harus sangat menentukan adalah kalangan elite. Kalau elite dapat segera mengambil ruang (musyawarah), sangat memungkinkan persatuan dan persaudaraan itu bisa menyelesaikan persoalan,” kata Megawati saat ditanya tentang refleksi yang bisa dipetik bangsa Indonesia dari perpecahan Korea.
Refleksi yang disampaikan Megawati itu sedikit banyak kontekstual dengan peribahasa kuno Korea mengenai pihak yang tak bersalah yang kerap menjadi korban pertarungan kekuatan besar. Kekuatan besar itu bisa saja berupa elite lokal ataupun internasional.
Don Oberdorfer dan Robert Carlin dalam The Two Koreas: A Contemporary History (2014) menuturkan, konflik Korea merupakan prototipe perang terbatas, dengan kekuatan besar sama-sama tidak menggunakan senjata nuklir yang mereka miliki. Dalam Perang Korea (1950-1953), Korea Selatan mendapat dukungan Amerika Serikat, sedangkan Korea Utara didukung Uni Soviet dan China. Dua negara adidaya, AS dan Uni Soviet, berikut blok pendukungnya, saat itu memperebutkan daerah pengaruh dan ideologi.
Selain menimbulkan banyak korban jiwa dan kerusakan fisik di Semenanjung Korea, Perang Korea juga mempertebal garis perbedaan ideologi dan politik di antara Utara dan Selatan. Hal ini juga menjadi salah satu variabel yang ikut membuat proses reunifikasi di antara kedua Korea berjalan lambat.
Masuknya pengaruh AS dan Uni Soviet tidak terlepas dari konteks berakhirnya Perang Dunia II. Pada tahun 1910, Jepang menganeksasi Korea yang saat itu di bawah naungan Kerajaan Joseon. Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II, dua kekuatan pemenang perang masuk ke Korea. Uni Soviet masuk ke Pyongyang di Utara dan Amerika Serikat masuk ke Seoul di Selatan. Kedua negara itu membangun jejaring dengan elite-elite lokal di daerah yang mereka ”duduki”.
Wartawan dan sastrawan Mochtar Lubis (1922-2004) dalam Catatan Perang Korea yang diterbitkan kembali tahun 2010 menuturkan, penyebab Perang Korea tidak tunggal. Penyebabnya banyak dan saling bertentangan. Narasi pro dan kontra juga banyak muncul dari hasil peliputan Mochtar Lubis di Semenanjung Korea. Setiap pihak yang bersengketa memiliki sudut pandang yang berbeda dan saling bertentangan.
Hanya, dalam pendahuluan buku yang terbit pertama tahun 1951 itu, Mochtar Lubis berpesan, ”Dari kisah Korea, kita di Indonesia dapat belajar jika kita mau, terutama jika kita hendak belajar, bagaimana suatu negeri bisa hancur, jika pemimpin-pemimpin tiada dapat menolak pengaruh-pengaruh luar yang sedang bertentang-tentangan di dunia ini.”
Lebih dari setengah abad setelah Mochtar Lubis menuliskan pandangan itu, pesan yang disampaikannya masih relevan hingga kini bagi bangsa Indonesia. Persatuan itu terkadang mudah dipecah, tetapi butuh waktu yang lama dan energi besar untuk membuat ”pecahan” itu kembali menyatu….