JAKARTA, KOMPAS – Para pengungsi masih bertahan di tempat penampungan Kalideres, Daan Mogot, Jakarta Barat hingga Selasa (3/9/2019). Mereka memutuskan di sana karena tidak ada kepastian masa depan mereka. Untuk sementara, pemindahan pengungsi ke tempat lain belum berjalan efektif.
Pengungsi berharap Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) memberikan kejelasan tempat tinggal dan bantuan uang sebelum mereka mendapatkan pekerjaan seperti yang dijanjikan. Muhammad Ali (25), pengungsi asal Afghanistan menolak pergi karena sejumlah alasan, salah satunya terkait dengan jaminan uang santunan. Padahal, Pemprov DKI memberi batas waktu hingga 31 Agustus 2019.
Ali merasa, UNHCR tidak serius dan dinilai lambat dalam penanganan pengungsi yang semakin hari hidup dalam ketidakpastian. Selain itu, juga karena para pengungsi hanya mendapat Rp 1 juta per orang dan Rp 1,3 juta bagi yang sudah berkeluarga.
”Uang itu tentu kecil dan tidak cukup untuk hidup selama satu bulan. Setelah dapat uang, kami diminta untuk cari kamar atau sewa. Itu tidak mungkin, uangnya tidak akan cukup. Masalah lainnya setelah bulan ini, apakah kami akan mendapat jaminan bantuan uang lagi? Kami tidak tahu dan UNHCR juga tidak memberikan kejelasan,” kata Ali.
Selain itu, kata Ali, pihak UNHCR juga pernah mengatakan, mereka akan memberikan bantuan berupa rumah, makan, dan jaminan kesehatan. Namun, sampai sekarang para pengungsi tidak mendapatkan bantuan tersebut. Kalaupun tersedia bantuan kesehatan, tidak semua pengungsi bisa mendapatkannya karena alasan yang tidak jelas.
Ali yang meninggalkan negaranya karena perang itu berharap UNHCR serius dan memberikan jalan bagi para pengungsi untuk hidup mandiri sehingga tidak perlu lagi bergantung kepada UNHCR. ”Saya mencari kedamaian, tidak peduli di negara mana itu. Jika Indonesia mau menampung, saya sangat berterima kasih karena masyarakat di sini begitu baik dan rendah hati. Atau negara mana saja, yang penting saya bisa hidup normal dan bekerja,” ujar Ali yang sudah 3,5 tahun menetap di Indonesia.
Pengungsi lainnya, Hasan (41), pengungsi asal Afghanistan, menunjukkan bukti pemberian uang yang diberikan pihak UNHCR kepada Kompas. Dalam kuitansi itu tertulis biaya akomodasi selama satu bulan sebesar Rp 1,3 juta untuk satu keluarga dengan jumlah 2-4 orang.
Di bagian bawah kuitansi terdapat tulisan yang menyebutkan, ”Saya setuju untuk menerima bantuan satu kali ini untuk akomodasi dan tidak akan kembali ke Gedung Pemda di Kalideres.” Hasan menambahkan, uang Rp 1,3 juta tidak cukup untuk memenuhi keperluan sehari-hari, mulai dari menyewa kontrakan hingga makan dan minum. Apalagi, biaya yang diberikan itu bukan untuk orang per orang, melainkan untuk satu keluarga.
”Satu juta sangat tidak cukup untuk hidup di Jakarta. Kami juga punya keluarga, punya anak dan istri. Setelah uang itu habis, kami ke mana lagi,” ucap lelaki yang sudah tiga tahun di Indonesia itu.
Menanggapi keluhan pengungsi, UNHCR berencana mencarikan pekerjaan untuk para pengungsi asing. Hal itu diungkapkan Kepala Perwakilan UNHCR Indonesia Thomas Vargas saat mendatangi dan melakukan perundingan dengan pengungsi.
“Pihak UNHCR akan memberikan bantuan dengan menyalurkan para pengungsi kepada perusahaan-perusahaan Indonesia. Hal ini dilakukan agar para pengungsi tidak terus menerus bergantung pada bantuan orang dan mampu mengembangkan keahlian mereka. Kami akan berusaha maksimal membantu mereka,” kata Thomas.
Melalui bantuan ini, kata Thomas, UNHCR berharap bisa bekerjasama dalam sebuah proyek dengan pemerintah dan perusahaan agar para pengungsi bisa merawat diri dan mandiri tanpa bantuan orang lain.
“Kami harus melakukan itu untuk menghormati hukum yang berlaku di Indonesia. Alasan rencana pemberian peluang kerja di perusahaan Indonesia, karena para pengungsi memiliki keahlian. Sayang apabila tidak dikembangkan atau digunakan. Keahlian dan talenta mereka bisa menguntungkan juga untuk perusahaan," kata Thomas.
Bantuan itu merupakan solusi jangka pendek yang diusulkan oleh UNHCR. Sedangkan, untuk solusi jangka panjang sampai saat ini masih akan disusun.
Sementara itu, Ketua Harian Satuan Tugas Penanganan Pengungsi Luar Negeri Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Brigadir Jenderal (Pol) Chairul Anwar mengatakan, pemerintah Indonesia terus membantu agar UNHCR melaksanakan tanggungjawab untuk segera menangani dan menyelesaikan nasib para pengungsi di penampungan Kalideres.
“Berdasarkan data yang diterima ada sekitar 571 pengungsi yang sudah menerima bantuan dari UNHCR. Jika dilihat dari lapangan masih ada sisa 300 orang yang belum mendapatkan bantuan,” ujar Chairul.
Chairul meminta, pengungsi untuk mematuhi peraturan yang sudah diberikan oleh pemerintah Indonesia. Salah satunya mau bekerjasama untuk pendataan identitas agar mempermudah pihak UNHCR dalam memberikan bantuan.
Chairul mengatakan, UNHCR harus serius dan tetap memperhatikan, serta memberikan kejelasan nasib para pengungsi. Hal itu penting diperhatikan, karena banyak keluhan dari para pengungsi yang mengatakan UNHCR tidak serius menangani nasib para pengungsi, mulai dari ketidakjelasan bantuan uang hingga pelayanan kesehatan.
Seperti yang diungkapkan oleh Kazi Arafatuzzaman (28), pengungsi asal Bangladesh. Ia begitu susah mendapat pelayan kesehatan dari UNHCR. Setiap kali ingin berobat ia selalu ditolak. Sudah hampir dua bulan terakhir batuk dan sesak Arafat tidak kunjung sembuh.
“Hanya karena belum menikah dan belum punya anak, saya tidak bisa berobat. Ini masalah kemanusiaan bukan masalah saya single atau belum punya anak. Saya sakit dan ingin berobat, itu saja,” kata pria yang akrab disapa Arafat itu.