Polisi Tahan Tersangka Penghasutan dan Penyebaran Hoaks dalam Pengepungan Asrama Papua
Penyidik Kepolisian Daerah Jawa Timur menahan TS, tersangka kasus penyebaran hoaks, penghasutan, diskriminasi, dan provokasi dalam peristiwa pengepungan massa terhadap Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS – Tim penyidik Kepolisian Daerah Jawa Timur menahan TS, tersangka kasus penyebaran hoaks, penghasutan, diskriminasi, dan provokasi dalam peristiwa pengepungan massa terhadap Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya. Penahanan tahap awal dilakukan selama 24 jam.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jatim Komisaris Besar Frans Barung Mangera saat dikonfirmasi pada Selasa (3/9/2019) siang membenarkan TS ditahan untuk sementara. Penahanan berlaku satu kali 24 jam terhitung mulai Selasa pukul 00.00 WIB.
Penahanan itu dilakukan setelah sebelumnya TS ditetapkan sebagai tersangka. Perempuan ini dijerat pelanggaran Pasal 45 juncto Pasal 28 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Selain itu, pelanggaran Pasal 4 UU 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan pelanggaran Pasal 15 dan Pasal 160 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Tersangka diyakini merupakan koordinator aksi massa saat pengepungan Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan, Surabaya, Jumat (16/8) dan Sabtu (17/8). Dalam peristiwa itu terjadi kericuhan akibat persekusi dan ujaran kebencian bernada rasial terhadap penghuni asrama yang hampir seluruhnya adalah mahasiswa asal Papua.
Peristiwa ini diyakini sebagai pemantik protes keras, kecaman, diikuti gelombang demonstrasi bahkan kerusuhan di Papua dan Papua Barat. Menurut tim penyidik, TS disangka menyebarkan hoaks dan menghasut orang lain untuk berbuat ujaran kebencian dalam pengepungan itu.
Sahid, selaku anggota Tim Kuasa Hukum TS mengatakan, penahanan terhadap kliennya ditempuh tim penyidik setelah pemeriksaan “maraton” selama 12 jam. Pemeriksaan terakhir aalah yang ketiga kali dijalani tersangka.
Terkait penahanan itu, menurut Sahid, kuasa hukum kecewa meski penahanan untuk sementara berlaku 1x24 jam. Langkah tim penyidik dianggap tidak sesuai dengan UU 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Regulasi ini menyebutkan, penahanan bukan merupakan suatu keharusan.
Sahid menyatakan, jerat pelanggaran pasal-pasal yang dituduhkan kepada TS dianggap cuma membawa ancaman di bawah lima tahun penjara. Kliennya diyakini tidak berpotensi menghilangkan barang bukti atau melarikan diri apalagi berbuat tindak pidana lainnya.
“Penyidik tidak beralasan kuat untuk menahan klien kami,” kata Sahid. Kuasa hukum masih menimbang langkah untuk mengajukan penangguhan penahanan.
Pegawai Negeri Sipil
Sejauh ini, tim penyidik Polda Jatim telah menetapkan dua tersangka kasus persekusi dan rasialisme terhadap penghuni Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan. Seorang lagi merupakan pegawai Pemerintah Kota Surabaya berinisial SA.
Tersangka dijerat kasus rasialisme dengan tuduhan melakukan ujaran kebencian bernada rasialisme saat pengepungan lokasi. SA dituduh melanggar UU 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Kuasa hukum SA, Ari Hans Simalea mengatakan, kliennya mengakui adanya pernyataan (rasialisme) terhadap penghuni asrama. Pengakuan itu keluar dalam pemeriksaan di hadapan tim penyidik Polda Jatim.
Namun, menurut Ari Hans, kliennya dalam peristiwa pengepungan itu tidak bermaksud menghina, merendahkan, dan atau mendiskriminasi ras dan etnis penghuni asrama. Ucapan itu spontan terlontar karena kemarahan.
Ari Hans justru meminta tim penyidik memperkarakan orang-orang yang merekam dan menyebarluaskan rekaman video peristiwa pengepungan yang berakhir dengan kericuhan di asrama itu.
SA dan TS merupakan bagian dari enam orang yang menurut Polda Jatim dalam status cekal. Pencekalan ditempuh untuk kepentingan penyidikan kasus persekusi dan rasialisme.
Sebelumnya, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Amiruddin Al Rahab meminta pengusutan tuntas kasus persekusi dan rasialisme itu. Pengusutan tuntas harus bisa dipenuhi karena bukti-bukti ada di depan mata anggota Polri yang ketika peristiwa terjadi berada di lokasi. “Persekusi dan rasialisme merupakan pelanggaran HAM,” kata Amiruddin.
Koordinator Kontras Surabaya Fatkhul Khoir mengatakan, peristiwa pengepungan itu mengakibatkan penangkapan terhadap 43 orang penghuni asrama. Penangkapan didahului laporan kepolisian terhadap dugaan pelanggaran UU 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
”Kami meyakini telah terjadi kesalahan prosedur dalam penangkapan yang juga menimbulkan kekerasan terhadap mahasiswa Papua,” ucap Fatkhul.
Dugaan kesalahan prosedur itu antara lain, seharusnya petugas menindaklanjuti laporan kepolisian dengan panggilan 1, 2, 3 dan jika diperlukan secara paksa.
Penangkapan tanpa adanya panggilan pemeriksaan sebelumnya mengindikasikan petugas menyalahi ketentuan soal penanganan perkara. ”Belum jelas status mereka (mahasiswa) langsung ditangkap sehingga kami meyakini ada kesalahan prosedural,” ujar Fatkhul.