UNHCR Didesak Segera Kirim Pencari Suaka ke Negara Tujuan
Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) didesak segera mengirim dan menempatkan para pencari suaka di Jakarta ke negara ketiga atau negara tujuan. Pemprov DKI Jakarta sudah tak ingin berlama-lama menampung mereka.
Oleh
Aguido Adri/Nikolaus Harbowo
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) didesak segera mengirim dan menempatkan para pencari suaka di Jakarta ke negara ketiga atau negara tujuan. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah tidak ingin berlama-lama menampung para pengungsi asing itu.
Pemprov DKI Jakarta meminta UNHCR segera mengurus nasib para pencari suaka atau pengungsi asing yang saat ini masih bertahan di penampungan Kalideres, Daan Mogot, Jakarta Barat. Seruan yang sama disampaikan Satuan Tugas Penanganan Pengungsi Luar Negeri Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan RI.
Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) DKI Jakarta Taufan, Selasa (3/9/2019), di Jakarta, mengatakan, hingga kini masih ada sekitar 300 pencari suaka atau pengungsi asing yang bertahan di penampungan Kalideres.
Pemprov DKI Jakarta memberikan kelonggaran kepada mereka untuk tinggal di lahan tersebut sampai ada keputusan rapat bersama Sekretaris Daerah DKI Jakarta dan antarsatuan kerja perangkat daerah, Selasa (3/9/2019).
”Pada 31 Agustus lalu dianggap fleksibel. Sebetulnya, kami tak bisa berlama-lama menangani mereka, tetapi ada surat UNHCR untuk meminta agar ada fleksibilitas waktu, ya sudah kami berikan,” kata Taufan.
Taufan menjelaskan, ada sejumlah hal yang akan dibahas dalam rapat, salah satunya kepastian tempat penampungan bagi pencari suaka itu. Kemungkinan besar Pemprov DKI Jakarta akan mencarikan lahan baru bagi mereka di tanah aset pemda. Sebab, di lahan eks Kodim yang sekarang itu ternyata banyak warga yang merasa terganggu oleh kehadiran para ”tamu” asing tersebut.
”Misalnya, digeser dan dicarikan tempat lain. Tetapi, nanti harus dilihat dari aspek sosiologis dan keamanan, bagaimana. Jangan sampai bermasalah dengan warga sekitar di kemudian hari. Keputusan ada di pimpinan,” ujar Taufan.
Pemerintah lebih berhati-hati dalam pencarian lahan baru karena bisa saja mengundang para pencari suaka lain. Di kawasan Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi saja, menurut catatan Kesbangpol DKI, ada sekitar 5.400 pengungsi.
”Kalau ada lahan yang permanen, bisa datang semua. Sebab, yang ada sekarang saja sudah sekitar 1.000 pengungsi di sini (Jakarta), sisanya bisa masuk nanti,” tutur Taufan.
Ketua Harian Satuan Tugas Penanganan Pengungsi Luar Negeri Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Brigadir Jenderal (Pol) Chairul Anwar menegaskan, Indonesia tidak memiliki kewajiban menerima pengungsi.
Menurut Chairul, Pemprov DKI Jakarta pun terus mendesak UNHCR agar mempercepat penempatan para pengungsi asing itu di negara ketiga atau negara tujuan. Indonesia tidak meratifikasi Konvensi Internasional 1951 dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi. Bantuan yang diberikan Jakarta merupakan bantuan dari sisi kemanusiaan.
Berdasarkan laman UNHCR (unchr.org), UNHCR berperan mencarikan satu atau tiga solusi panjang yang memungkinkan, yaitu penempatan di negara ketiga, pemulangan sukarela (jika konflik di negara asal berakhir), dan integrasi lokal.
Namun, kewenangan untuk menerima atau menolak pengungsi sepenuhnya menjadi kewenangan penuh negara yang ditinggali pencari suaka. UNHCR juga tidak mudah menempatkan pengungsi ke negara ketiga atau penerima pengungsi asing karena setiap negara menerapkan pembatasan atau kuota dalam jumlah tertentu saat menerima pencari suaka.
Minta kejelasan
Seharusnya para pencari suaka sudah harus meninggalkan penampungan sementara pada 31 Agustus 2019. Namun, mereka tak mau pergi karena sejumlah alasan. Salah satunya terkait dengan jaminan uang santunan.
Nasib para pengungsi masih tidak menentu dan menunggu langkah UNHCR. Sejumlah pengungsi menolak kebijakan UNHCR karena perbedaan perjanjian dalam kepastian jaminan tempat tinggal dan santunan uang.
Muhammad Ali (25), pengungsi asal Afghanistan, merasa UNHCR tidak serius dan dinilai lambat dalam penanganan pengungsi yang semakin hari hidup dalam ketidakpastian. Selain itu, juga karena para pengungsi hanya mendapat Rp 1 juta per orang dan Rp 1,3 juta bagi yang sudah berkeluarga.
”Uang itu tentu kecil dan tidak cukup untuk hidup selama satu bulan. Setelah dapat uang, kami diminta untuk cari kamar atau sewa. Itu tidak mungkin, uangnya tidak akan cukup. Masalah lainnya setelah bulan ini, apakah kami akan mendapat jaminan bantuan uang lagi? Kami tidak tahu dan UNHCR juga tidak memberikan kejelasan,” kata Ali.
Selain itu, kata Ali, pihak UNHCR juga pernah mengatakan, mereka akan memberikan bantuan berupa rumah, makan, dan jaminan kesehatan. Namun, sampai sekarang para pengungsi tidak mendapatkan bantuan tersebut. Kalaupun tersedia bantuan kesehatan, tidak semua pengungsi bisa mendapatkannya karena alasan yang tidak jelas.
Ali yang meninggalkan negaranya karena perang itu berharap UNHCR serius dan memberikan jalan bagi para pengungsi untuk hidup mandiri sehingga tidak perlu lagi bergantung kepada UNHCR.
”Saya mencari kedamaian, tidak peduli di negara mana itu. Jika Indonesia mau menampung, saya sangat berterima kasih karena masyarakat di sini begitu baik dan rendah hati. Atau negara mana saja, yang penting saya bisa hidup normal dan bekerja,” ujar Ali yang sudah 3,5 tahun menetap di Indonesia.
Saat ini, pihak UNHCR masih mendata para pengungsi asing. Mereka mengidentifikasi asal negara serta pengklasifikasian tingkat kerentanan dari pengungsi. Kategori rentan adalah anak-anak tanpa orangtua, wanita lajang, dan ibu yang memiliki anak tetapi tanpa suami.