Rumah Reformasi Kebijakan (Institute for Policy Reform) akan meneruskan riset terkait evaluasi mengenai sejumlah kebijakan terkini yang dikeluarkan pemerintah.
Oleh
Ingki Rinaldi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rumah Reformasi Kebijakan (Institute for Policy Reform) akan meneruskan riset terkait evaluasi mengenai sejumlah kebijakan terkini yang dikeluarkan pemerintah. Hal ini menyusul paparan terbuka kepada publik yang sebelumnya dilakukan terkait dengan kondisi di Papua dan Papua Barat, keputusan Presiden Joko Widodo memindahkan ibu kota ke Kalimantan Timur, serta kabinet Joko Widodo-Ma’ruf Amin pada 2019-2024.
Direktur Rumah Reformasi Kebijakan (RRK) Firrean Suprapto, Selasa (3/9/2019), di Jakarta, mengatakan, riset lanjutan tersebut akan segera dilakukan dalam waktu dekat. Sehari sebelumnya, RRK menggelar dialog media yang didasarkan atas hasil riset dengan metode wawancara tak berstruktur yang dilakukan terhadap pakar, praktisi pemerintahan senior, dan tokoh masyarakat dengan tiga topik tersebut.
Total sebanyak 45 orang menjadi responden dengan rentang waktu pengumpulan data pada Juli-Agustus 2019. Terkait isu pemindahan ibu kota, misalnya, terdapat dua tantangan yang ada dalam dimensi gagasan dan eksekusi gagasan.
Tantangan dalam dimensi gagasan terkait dengan perlunya ”penyegaran total” sistem politik Indonesia dengan cara berbeda. Hal itu menyusul kondisi selama ini ketika politik Indonesia yang hanya berpusat dan berpusar di Jakarta cenderung menciptakan ”produk politik” yang berbeda dengan kebutuhan bangsa Indonesia.
Adapun tantangan dalam dimensi eksekusi terkait dengan tiga hal dasar, yakni kesiapan kebijakan, kesiapan manajemen, dan kesiapan manusia.
Sementara isu kabinet Joko Widodo-Ma’ruf Amin pada 2019-2024 berhubungan dengan politik orkestrasi menjelang 2024. Hal ini terkait dengan penguatan partai-partai pengusung terbesar Presiden, yakni PDI-P, Gerindra, dan Golkar.
Selain itu, isu kabinet terkait juga dengan persoalan seputar tokoh-tokoh muda dan senior yang akan mengisi sejumlah posisi. Adapun persoalan berikutnya berhubungan dengan kultur kerja dalam kabinet 2019-2024 serta persoalan untuk memberikan wujud tertentu pada dimensi pembangunan manusia yang bersifat tak benda.
Perlu utusan khusus
Khusus untuk penyelesaian krisis di Papua dan Papua Barat, dalam dialog media pada Senin, yang menghadirkan Ketua RRK Riant Nugroho dan Ketua Pusat Studi Ketahanan Energi Universitas Pertahanan Donny Yoesgiantoro, disimpulkan perlunya kehadiran utusan khusus yang memahami persoalan secara komprehensif. Hal ini menyusul kurang efektifnya metode sebelumnya, seperti Opsus Papua, Otsus Papua, dan Desk Papua.
Riant mengatakan, kehadiran seorang utusan khusus (special envoy) merupakan terobosan yang dibutuhkan saat ini untuk menyelesaikan krisis Papua dan Papua Barat. Hal itu menyusul keberadaan aktor yang terlalu tersebar dan membuatnya lebih sulit dibandingkan dengan krisis Aceh.
Pengendalian dengan pendekatan keaktoran, yang lazim dipergunakan Indonesia dan sejumlah negara, dengan demikian relatif kurang efektif. Riant menyebutkan, diperlukan seorang tokoh nasional untuk bertugas menjadi utusan khusus tersebut.
Utusan khusus tersebut, lanjut Riant, merupakan pejabat setingkat menteri yang mengombinasikan pendekatan budaya, ekonomi, keamanan, dan hukum. Tugas yang diberikan kepadanya bersifat ad hoc serta jangka panjang, misalnya selama lima tahun.
Sementara itu, Donny mengingatkan agar jangan sampai terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam penanganan krisis Papua. Hal ini karena relatif ampuhnya isu tersebut untuk dipergunakan pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan pisahnya Papua dari wilayah Indonesia.
Donny juga menyoroti pentingnya memperhatikan aspek keadilan ekonomi dan politik yang terjadi. Ini termasuk dengan relatif sedikitnya kelompok masyarakat lokal yang menikmati kue ekonomi tersebut ketimbang masyarakat yang dominan.
Pada sisi lain, Donny juga membahas ihwal aspek kultural keberadaan bendera bintang kejora bagi masyarakat Papua. Menurut dia, bintang kejora bukan berarti keinginan merdeka dari orang Papua.
Bintang kejora, lanjutnya, merupakan simbol atas keadilan yang didambakan. Simbol itu, ujar Donny, ada di setiap rumah orang Papua.
Adapun Firrean menyebutkan, saat ini diperlukan pakar-pakar antropologi dan sosiologi untuk lebih dilibatkan dalam penyelesaian krisis Papua. Ia menambahkan, Papua memiliki keunikan karena keputusan dipegang oleh kepala suku.
Ia menuturkan, manajemen distribusi anggaran pembangunan, seperti untuk pendidikan hingga otsus, cenderung menjadi tantangan tersendiri. Firrean menuturkan, persoalan manajemen distribusi membuat hal-hal tertentu kerap hanya sampai tingkat kepala suku.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.