Usia Tak Memutus Asa Mereka
Keterbatasan akses pendidikan dan usia yang sudah dewasa tak membuat mereka kehilangan asa untuk meraih cita-cita mulia. Para siswa yakin, melalui pendidikan, mereka bisa membangun kampung halaman.
Albert Asmorom menyimak pertanyaan gurunya, Adolfina Atrian (26), dalam bahasa Inggris. Sambil meraba dahi, pemuda asli Papua itu terdiam hampir 10 detik hingga akhirnya kata ”dokter” terucap dari bibirnya. Pertanyaan Adolfina tentang apa cita-citanya itu dijawab Albert dengan suara pelan.
Adolfina, pengasuh mata pelajaran Bahasa Inggris itu, kembali melontarkan pertanyaan lanjutan, menggali alasan Albert ingin menjadi dokter. Kali ini, Albert terdiam lebih lama sambil mengelus-elus jenggot dan cambangnya. ”Saya ingin rawat orang-orang di saya punya kampung. Dari dulu tidak ada orang kesehatan. Banyak orang yang sakit sampai meninggal,” jawabnya serius.
Cita-cita itulah yang mendorong Albert masih bertahan duduk di bangku sekolah menengah atas meski dirinya sudah berusia 21 tahun. Di tengah kemudahan akses pendidikan di perkotaan yang memudahkan menyelesaikan studi lebih cepat, kebanyakan anak-anak di pedalaman Papua terlambat sekolah.
Salah satu faktornya adalah tidak ada sekolah di kampung. Saat masih kecil, mereka tidak berani berjalan kaki jauh melewati hutan belantara dan menyeberangi sungai yang penuh risiko. Mereka baru diizinkan kalau sudah remaja. ”Ada saya punya teman tidak mau sekolah karena malu umur sudah tua. Saya tetap mau sekolah,” ujarnya.
SMA Negeri Tembuni di Distrik Tembuni, Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat, yang baru berdiri enam tahun lalu membuka jalan bagi Albert dan anak-anak pedalaman lainnya menggapai cita-cita. Bertahun-tahun, kebanyakan anak di pedalaman sekitar 40 kilometer dari Bintuni, ibu kota kabupaten, itu paling mentok tamat SMP. Jika ingin lanjut SMA, mereka harus mencari tumpangan keluarga di kota atau pihak gereja.
Tak heran jika lebih dari separuh jumlah siswa di sekolah itu sudah berumur. Selain Albert, ada Xaverius Iboro (27). Pemuda asli Papua yang bercita-cita menjadi pegawai distrik (setingkat kecamatan) itu usianya lebih tua dibandingkan Adolfina dan guru Sejarah-nya, Wendi Tamaela (25). ”Angkatan sebelumnya itu bahkan ada yang seumuran dengan saya,” kata Kepala SMA Negeri Tembuni Elihut Warsu (43).
Sejak berdiri, sekolah itu sudah menamatkan tiga angkatan dengan jumlah alumnus 32 orang yang tersebar di sejumlah perguruan tinggi di Papua, Jawa, dan Sulawesi. Para siswa berasal dari sejumlah kampung di Distrik Tembuni, seperti Mogoi dan Membera, yang ditempuh dengan jalan kaki paling cepat dua jam. Kini, jumlah siswa di sana 20 orang, yaitu kelas I sebanyak 5 orang, kelas II sebanyak 6 orang, dan kelas III sebanyak 9 orang.
Kendati sudah enam tahun berdiri, sekolah itu belum memiliki gedung. Kegiatan belajar-mengajar dilangsungkan di gedung SMP Negeri Tembuni. Otomatis tidak ada perpustakaan dan fasilitas lain. Jumlah guru delapan orang, hanya satu yang berstatus pegawai negeri sipil, yakni Elihut. Beberapa mata pelajaran pokok tidak ada pengajarnya sehingga jurusan yang tersedia hanya ilmu pengetahuan sosial. Tidak ada jurusan bahasa dan ilmu pengetahuan alam.
Elihut, penduduk asli Papua dari Serui itu, mengatakan sudah berulang kali mendatangi Kantor Dinas Pendidikan Papua Barat di Manokwari, yang berjarak sekitar 300 kilometer dari Tembuni. Ongkos angkutan yang dikeluarkan untuk pergi-pulang sekitar Rp 1,5 juta. Namun, belum ada jawaban. Sejak pengelolaan SMA diserahkan ke provinsi, urusan pendidikan di pedalaman semakin ribet dan tidak optimal.
Pengabdian anak muda
Keberadaan SMA Negeri Tembuni tidak lepas dari pengabdian guru-guru muda yang berasal dari luar Papua, seperti Adolfina dari Toraja, Sulawesi Selatan, dan Wendi dari Ambon, Maluku. Dua gadis milenial dan beberapa guru lain meninggalkan kenyamanan di kota untuk mengabdi di pedalaman dengan status pekerja honor daerah. Satu bulan mereka digaji Rp 2,3 juta.
Jika dibandingkan, gaji itu tidak sebanding dengan pengabdian mereka. Untuk mencapai tempat tugas, mereka menggunakan mobil atau sepeda motor melewati jalan rusak. Di tempat tugas, listrik hanya menyala 12 jam dan lebih sering padam. Tak ada sinyal telepon, apalagi jaringan internet. Harga beras medium Rp 15.000 per kilogram dan bensin Rp 20.000 dalam wadah 1,5 liter.
Padahal, guru-guru muda itu bisa mengabdi di tempat lain. Adolfina, perempuan lulusan Universitas Kristen Indonesia Toraja, tahun 2015, itu bisa saja membuka kursus bahasa Inggris di ibu kota provinsi atau kabupaten dengan honor lebih besar.
”Saya senang berada di kampung untuk mengajar mereka yang masih sulit mendapat pengetahuan. Di sini banyak yang lebih berumur, tetapi mereka sangat menghargai guru,” kata Adolfina.
Meski senang menjadi guru di pedalaman, mereka merasa prihatin. Sebab, banyak murid yang masih sulit keluar dari kebiasaan, misalnya tidak masuk sekolah tanpa izin pada musim tanam atau musim panen sehingga mereka absen selama berminggu-minggu. Pendekatan kepada orangtua, tokoh adat, dan tokoh agama terus dilakukan. Ada yang berubah, namun tidak banyak.
Wajah SMA Negeri Tembuni hanyalah titik kecil dari banyaknya masalah pendidikan dan keterbelakangan pembangunan di daerah itu. Padahal, Distrik Tembuni sejak zaman Belanda merupakan ladang minyak.
Pipa untuk mengalirkan minyak, jembatan besi, tangki, dan pompa minyak peninggalan Belanda menjadi bukti kayanya wilayah ini. Selain minyak, di Kabupaten Teluk Bintuni terdapat eksploitasi gas alam terbesar di Indonesia. Seharusnya sudah ada kemajuan yang berarti di tengah sumber daya yang melimpah.
”Yang penting adalah membangun sumber daya manusia lewat pendidikan,” kata Pastor Paroki St Yohanes Bintuni P Yohanes Damasenus Satu SVD, yang sudah 12 tahun mengabdi di daerah itu.
Damasenus melihat banyak anak asli Papua tidak patah semangat di tengah keterbatasan. Albert, Xaverius, dan beberapa siswa yang sudah berumur pun terus bersekolah. Mereka punya keyakinan bahwa sekolah merupakan jalan mereka mencari ilmu demi cita-cita membangun kampung halaman. (FRANSISKUS PATI HERIN)