Ada Potensi Konflik, Pemindahan agar Dilakukan Hati-hati
Pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur memiliki potensi menimbulkan konflik masyarakat. Mitigasi terkait hal ini perlu dimatangkan serta dilakukan dialog-dialog partisipatif sampai pada tingkat tapak.
Oleh
Ichwan Susanto
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur memiliki potensi menimbulkan konflik masyarakat. Mitigasi terkait hal ini perlu dimatangkan serta dilakukan dialog-dialog partisipatif sampai pada tingkat tapak, yaitu melibatkan komunitas lokal atau masyarakat adat sejak dini.
Menurut data survei penduduk data antarsensus (SupasS, 2015) yang dimiliki Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, komposisi etnisitas (menurut provinsi kelahiran) di Kalimantan Timur, penduduk lokal yang lahir di Kalimantan Timur sebanyak 67 persen, disusul Jawa Timur (11 persen), Sulawesi Selatan (8 persen), dan daerah lain. Komposisi di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara hampir serupa dengan provinsi.
Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional per Agustus 2018, Bappenas menunjukkan tingkat pendidikan pekerja di Kaltim sejumlah 38 persen merupakan lulusan SMA, 18 persen SD, 16 persen SMP, dan 13 persen pendidikan tinggi. Dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas, Maret 2018), pendapatan penduduk asli lebih rendah daripada pendatang di kabupaten-kabupaten di Kaltim, kecuali di Samarinda.
Di sisi lain, Kalimantan Timur memiliki beberapa konflik kekerasan terkait identitas dengan jumlah tertinggi di Pulau Kalimantan, yaitu 13 konflik dari total 24 konflik (Survei Nasional Pemantauan Kekerasan, 2014). Dari sisi konflik kekerasan terkait sumber daya alam, jumlah kasus di Kaltim nomor dua, yaitu 19 konflik, setelah Kalimantan Tengah (23 konflik) dari total 66 konflik.
Kalimantan Timur memiliki sejumlah konflik kekerasan terkait identitas dengan jumlah tertinggi di Pulau Kalimantan.
Yekti Maunati, antropolog Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang pernah meneliti suku Dayak setempat, Selasa (3/9/2019), di Jakarta, mendorong agar pemindahan ibu kota negara tidak menjadi inklusif terhadap masyarakat lokal. Ia pun berpesan agar masyarakat lokal setempat tak termarjinalkan akibat dampak pemindahan ibu kota.
”Masyarakat Dayak punya kearifan lokal terhadap tanah. Itu harus digali karena bisa menjadi sumber konflik,” ucapnya dalam diskusi terbatas itu.
Cegah disintegrasi
Yekti pun mengatakan, penguasaan tanah oleh komunitas masyarakat atau masyarakat adat setempat dimiliki komunal atau beberapa keluarga serta potensi klaim atas ulayat atau hak atas tanah. Ia pun mengingatkan, lebih dari 10 tahun lalu pernah terjadi konflik berdampak serius antara pendatang dan masyarakat lokal di Nunukan (dulu Kaltim, kini Kalimantan Utara).
Agar tak terjadi disintegrasi, ia mencontohkan yang dilakukan Singapura dengan mewajibkan apartemen agar dihuni oleh etnis berbeda-beda. Karena itu, ia menilai riskan menimbulkan risiko konflik apabila aparat sipil negara (ASN) dari Jakarta yang pindah ke Kaltim menempati hunian tersendiri.
Herry Yogaswara, Kepala Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, mengatakan, pemindahan ibu kota juga perlu memetakan aktor-aktor atau organisasi setempat yang berbasis etnis. Ia mengatakan, organisasi seperti ini memiliki pengaruh besar yang bisa memengaruhi secara sosial ataupun politik di masyarakat.
Pemindahan ibu kota juga perlu memetakan aktor-aktor atau organisasi setempat yang berbasis etnis.
Kasmita Widodo, Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), mengatakan, di Kalimantan teregistrasi 4,6 juta hektar di 391 wilayah adat. Luasan tersebut berdasarkan respons klaim masyarakat adat setempat.
Ia mengatakan, registrasi tersebut belum menyentuh lokasi ibu kota baru di Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara. ”Belum ada registrasi di PPU dan Kukar, tetapi bukan berarti tidak ada (wilayah adat),” ujarnya.
Kasmita menyarankan agar keberpihakan berupa pengakuan dan perlindungan masyarakat adat beserta kearifan lokalnya menjadi bagian awal dalam proses pemindahan ibu kota. Karena, apabila hal ini dilakukan di akhir dan telanjur menjadi masalah, upaya mengurai konflik tenurial menjadi rumit.
Direktur Perencanaan Kependudukan dan Perlindungan Sosial Bappenas Maliki mengatakan, pembahasan dari sisi sosial antropologi ini menjadi masukan dalam proses pemindahan ibu kota. Ia mengakui, konflik sosial bisa dipicu oleh ketimpangan ekonomi. Di sisi lain, ia mengatakan konflik kekerasan di Kaltim relatif rendah karena konflik kekerasan tertinggi berada di Sumatera Utara sejumlah 1.200 konflik.
Pembahasan dari sisi sosial antropologi ini menjadi masukan dalam proses pemindahan ibu kota.
Rivani Noor Machdjoeri, Koordinator Nasional Poros Hijau Indonesia, mendorong agar resiliensi warga lokal ditingkatkan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dari sisi ekonomi, pemindahan ibu kota ini juga diiringi program-program perhutanan sosial ataupun reforma agraria yang bisa meningkatkan perekonomian setempat serta melibatkan warga lokal dalam pemenuhan kebutuhan warga ibu kota.
Martua Sirait, antropolog kehutanan, berharap agar proses daerah menjadi ibu kota negara dijalankan secara baik dan sehat. ”Berharap tidak ada cerita-cerita buruk yang dituturkan kepada anak cucu, tetapi sebuah kebanggaan,” ucapnya.
Ia memberi contoh baik, pemindahan ibu kota Kabupaten Tambrauw di Papua Barat dari Sausapor di daerah pantai ke Fef di daerah gunung. Itu dilakukan dengan persiapan sosial matang dengan menggelar sidang-sidang adat. Hal sensitif, seperti kepemilikan ulayat tanah, dibicarakan secara tuntas dan mengikuti tata cara adat agar hasilnya bisa diterima secara adat dan tak menjadi masalah pada kemudian hari.