Anda boleh percaya atau tidak. Pada 2012, Stadion Utama Riau yang menjadi lokasi pembukaan dan penutupan Pekan Olahraga Nasional ke-17 pernah dinobatkan menjadi lima stadion terbaik dunia versi situs Stadiumdb.com.
Oleh
SYAHNAN RANGKUTI
·4 menit baca
Anda boleh percaya atau tidak. Pada 2012, Stadion Utama Riau yang menjadi lokasi pembukaan dan penutupan Pekan Olahraga Nasional ke-17, pernah masuk kategori lima stadion terbaik dunia versi situs S,tadiumdb.com. Keanggunan arena di tengah Pulau Sumatera itu hanya kalah dari Stadion Arena do Gremio di Brasil, Stadion Norodowy di Polandia, Grand Stade Lille-Metropole di Perancis, dan Friends Arena di Swedia.
Namun, gelar stadion terbaik dunia itu kini tinggal cerita. Hanya tujuh tahun sejak diresmikan, Stadion Utama Riau sudah mengalami metamorfosis, terutama di lanskap pendukungnya.
Arena seluas 67 hektar yang dulunya rapi dan indah dipandang mata kini menjadi semak belukar. Bahkan, stadion itu pernah menjadi sarang penyamun. Kelompok Geng Motor XTC pimpinan Klewang yang terkenal sadis bermarkas di sana. Banyak cerita seram terbongkar setelah Klewang ditangkap polisi.
Pembangunan stadion yang pernah menjadi kebanggaan warga Riau itu memang sudah bermasalah sejak awal. Biaya pembangunannya membengkak dari rencana Rp 900 miliar menjadi Rp 1,1 triliun.
Penambahan biaya sebesar Rp 200 miliar ternyata dilakukan tanpa persetujuan dan payung hukum dari DPRD Riau. Maklum, pembangunan gedung dan segala sarana prasarananya dilakukan dengan sistem tahun jamak dan dibukukan dalam peraturan daerah.
Melakukan berbagai cara
Untuk mengambil jalan pintas, Gubernur Riau Rusli Zainal melakukan berbagai cara untuk memuluskan rencana. Namun, akhirnya Komisi Pemberantasan Korupsi turun tangan dan menghukum Rusli atas keterlibatannya dalam karut marut pembiayaan arena PON 2012.
Ketika jabatan gubernur berganti, urusan pembiayaan pembangunan stadion tadi menjadi terbengkalai. Pemerintah Provinsi Riau memiliki utang sebesar Rp 264 miliar kepada kontraktor pelaksana dari konsorsium PT Adhi Karya, PT Pembangunan Perumahan, dan PT Wijaya Karya.
Utang itu akhirnya dibayarkan di era Gubernur Arsyadjuliandi Rachman pada 2017 lewat perintah pengadilan. Sejak saat itu, pengelolaan stadion sudah diserahkan kepada Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi Riau. Namun, dengan pengelolaan yang ala kadarnya akibat minim biaya, stadion itu tidak semakin membaik.
Kepala Kejaksaan Tinggi Riau Uung Abdul Syukur dalam pertemuan dengan Gubernur Riau Syamsuar pada Senin (2/9) menyampaikan keprihatinan terhadap bangunan gedung atau properti pemerintah provinsi yang terbengkalai tanpa perawatan. Banyak gedung yang dibangun dengan dana rakyat yang sangat besar dibiarkan teronggok tidak terpakai.
Syamsuar pun menyadari hal itu. Gubernur yang baru menjabat selama enam bulan ini sudah melirik beberapa bangunan yang akan direhab dan difungsikan dengan melibatkan swasta. Secara khusus, Syamsuar menyebut perusahaan pulp dan kertas PT Riau Andalan Pulp and Paper (PT RAPP) untuk merehabilitasi dan mengelola Stadion Utama Riau.
Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Riau Doni Aprialdi menjelaskan, kerja sama dengan swasta yang dimaksud gubernur adalah melalui kontrak pembangunan dengan sistem BOT (build, operate, and transfer). Swasta diberi hak untuk untuk membangun sarana dan prasarana pendukung di areal Stadion Utama seluas 67 hektar sembari memelihara dan mengelola stadion utama selama 30 tahun. Setelah kontrak selesai, seluruh bangunan diserahkan kembali kepada pemerintah provinsi.
”Dengan sistem BOT swasta diberi waktu 30 tahun pengelolaan dan dimungkinkan untuk diperpanjang 30 tahun lagi atau total 60 tahun. Swasta dapat membangun hotel, mal, kolam renang, restoran, atau sarana pendukung pariwisata olahraga di sana,” papar Doni.
Doni mengatakan, gubernur sangat serius menawarkan pengelolaan Stadion Utama Riau kepada swasta. Saat ini, gubernur tengah menyiapkan konsep surat kepada petinggi PT RAPP.
Sebenarnya, kata Doni, sudah ada swasta lain yang melirik pengelolaan Stadion Utama Riau. Pihak tersebut sudah melihat langsung kondisi riiil di lapangan dan berjanji menjajaki pengembangan pengelolaan. Hanya saja, belum ada penawaran yang disampaikan.
Dengan sistem BOT, swasta diberi waktu 30 tahun pengelolaan dan dimungkinkan untuk diperpanjang 30 tahun lagi atau total 60 tahun. Swasta dapat membangun hotel, mal, kolam renang, restoran atau sarana pendukung pariwisata olahraga di sana.
Tanpa keterlibatan swasta, aset daerah Riau itu pasti akan semakin memburuk dan hancur. Dana pemeliharaan untuk gedung semegah itu, kata Doni, hanya Rp 100 juta setahun. Uang sebegitu pasti tidak mencukupi, bahkan hanya untuk membabat rumput stadion dan menggaji penjaga keamanan.
Pada Selasa (3/9), Kompas melihat langsung kondisi Stadion Utama Riau. Pemandangan luar arena memang sangat memprihatinkan. Sekeliling arena sudah ditumbuhi semak belukar yang tumbuh tinggi. Dari luar, pemandangan bangunan yang pernah megah itu sudah tampak kusam.
Bangunan gerbang masuk pintu utara dan selatan relatif sudah rusak. Pintu pagar sudah tidak berfungsi sempurna. Berbagai ornamen pendukung stadion juga sudah rusak.
Namun, di bagian dalam stadion, kondisinya masih cukup lumayan. Rumput di tengah lapangan masih cukup baik dan dirawat. Lintasan atletik yang mengitari lapangan sepak bola di stadion masih terlihat baik. Hanya saja, warna cat kursi yang dulunya mentereng kini sudah memudar.
Untuk dapat memfungsikan stadion itu seperti awalnya, jelas membutuhkan dana yang tidak kecil. Pemerintah Provinsi Riau tampaknya tidak memprioritaskan membiayai sendiri perbaikan stadion melalui dana APBD dan lebih berharap kepada swasta.
Pertanyaannya, kalau swasta tidak bersedia, seperti apakah stadion itu kelak? Entahlah.