JAKARTA, KOMPAS Ibu kota negara Republik Indonesia yang baru, yaitu di Kalimantan Timur, direncanakan menjadi kota yang bisa mengikuti kebutuhan hingga 100 tahun ke depan. Kota ini akan kompak, efisien, cerdas, humanis, polusi dan emisi karbon sangat rendah, serta minim bencana.
Pembangunan kota baru itu juga mesti dipastikan tidak menimbulkan konflik di masyarakat. Karena itu, dialog partisipatif yang melibatkan komunitas lokal atau masyarakat adat perlu dilakukan sejak awal di pembangunan kota tersebut.
Dalam pertemuan dengan pemimpin redaksi sejumlah media di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (3/9/2019), Presiden Joko Widodo menjelaskan, desain tata ruang dan tata wilayah ibu kota yang baru akan dilakukan melalui lomba agar mendapat desain terbaik dan semua transparan. Ibu kota baru itu akan menjadi kota pemerintahan, tetapi juga menjadi tempat tumbuhnya industri kreatif dan berbasis digital. ”Menjadi seperti Silicon Valley,” kata Presiden.
Silicon Valley adalah kawasan di California, Amerika Serikat, tempat lahirnya industri berbasis digital. Banyak dari industri itu yang lalu menjadi perusahaan kelas dunia. Dari areal 180.000 hektar lahan milik negara yang disiapkan sebagai area ibu kota baru, hanya akan dibangun 40.000 ha. Pusat pemerintahan akan 10.000 ha dan tahap pertama dibangun 4.000 ha. Masjid jadi yang pertama dibangun, lalu istana kepresidenan, dan kantor pemerintahan.
Mengenai pendanaan pembangunan ibu kota baru, akan dicarikan cara agar tidak mengganggu APBN. Salah satunya dengan melepas sebagian dari lahan seluas 30.000 ha yang ada di luar kawasan pemerintahan ke masyarakat secara perorangan dengan syarat dalam dua tahun sudah harus dibangun. Lahan itu tidak akan diberikan kepada pengembang swasta ataupun BUMN. Segala hal mengenai administrasi ibu kota baru ini akan dikelola oleh badan otorita.
Yekti Maunati, antropolog Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), berharap, masyarakat lokal tidak termarjinalkan akibat pemindahan ibu kota di daerah mereka. ”Masyarakat Dayak punya kearifan lokal terhadap tanah. Itu harus digali karena bisa menjadi sumber konflik,” kata Yekti, kemarin, dalam diskusi terbatas di Kantor Staf Presiden yang mengambil tema ”Pemindahan Ibu Kota Negara: Sudut Pandang Ekologi dan Kearifan Lokal (Sosial Politik)”.
Kondisi penduduk
Menurut data Survei Penduduk Antar Sensus (Supas) 2015 yang dimiliki Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), komposisi etnisitas (menurut provinsi kelahiran) di Kaltim, penduduk lokal yang lahir di Kaltim sebanyak 67 persen, disusul Jawa Timur (11 persen), Sulawesi Selatan (8 persen), dan daerah lain. Komposisi di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara yang menjadi lokasi ibu kota negara yang baru hampir serupa.
Data Survei Angkatan Kerja Nasional per Agustus 2018, Bappenas menunjukkan tingkat pendidikan pekerja di Kaltim 38 persen lulusan SMA, 18 persen SD, 16 persen SMP, dan 13 persen pendidikan tinggi. Dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2018, pendapatan penduduk asli lebih rendah daripada pendatang di kabupaten-kabupaten di Kaltim, kecuali di Samarinda.
Herry Yogaswara, Kepala Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, mengatakan, pemindahan ibu kota juga perlu memetakan aktor atau organisasi setempat yang berbasis etnis. Organisasi seperti ini bisa punya pengaruh besar di masyarakat, baik secara sosial maupun politik.
Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat Kasmita Widodo mengatakan, di Kalimantan teregistrasi 4,6 juta ha lahan di 391 wilayah adat. Luasan ini berdasarkan respons klaim masyarakat adat setempat. Registrasi itu belum menyentuh lokasi ibu kota baru di Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara. Namun, ini bukan berarti tak ada wilayah adat di dua kabupaten itu.
Kasmita menyarankan, pengakuan dan perlindungan masyarakat adat beserta kearifan lokalnya menjadi bagian awal dalam proses pemindahan ibu kota untuk mencegah adanya masalah di kemudian hari. Direktur Perencanaan Kependudukan dan Perlindungan Sosial Bappenas Maliki mengatakan, berbagai saran itu jadi masukan dalam proses pemindahan ibu kota. (ICH/NMP)