Indonesia Negara Maritim, tetapi Ilmu Kemaritiman Masih Terpinggirkan
Sejarah bangsa Indonesia adalah sejarah maritim. Namun, bidang-bidang ilmu kemaritiman, mulai dari arkeologi maritim, arkeologi nautika, hingga arkeologi bawah air kurang ditangani secara holistik.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejarah bangsa Indonesia adalah sejarah maritim. Namun, bidang-bidang ilmu kemaritiman, mulai dari arkeologi maritim, arkeologi nautika, hingga arkeologi bawah air kurang ditangani secara holistik dari sisi kebijakan, pengembangan ilmu, sumber daya manusia, fasilitas, ataupun tata kelembagaannya.
Bukankah Indonesia negara kelautan atau kepulauan dan negara ini menggalakkan konsep ”tidak memunggungi laut” lagi? Demikianlah pertanyaan yang disampaikan budayawan sekaligus mantan Direktur Purbakala Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional (sekarang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) Nunus Supardi.
”Mengapa dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan serta instansi yang mengurus kearkeologian tidak merespons dan menggaungkan konsep tersebut? Saat saya bertanya tentang nasib arkeologi bawah air di beberapa universitas, selalu dijawab tidak ada ahlinya. Ilmu, kan, bisa dipelajari, kenapa, kok, kita justru mandek,” tutur Nunus, Selasa (3/9/2019), di Jakarta.
Nunus menangkap kesan bahwa Indonesia ketinggalan atau lengah terhadap bidang ilmu arkeologi maritim. Pengalaman kelam datangnya pemburu harta karun asing, Michael Hatcher, yang menggasak isi bekas kapal De Geldermalsen senilai 17 juta dollar AS pada 1986 di perairan Kepulauan Riau dan 43 kontainer berisi keramik China, kepeng uang logam China, dan gading dari Selat Gelasa, Perairan Bangka, pada 1999-2000 menegaskan kurangnya perhatian kita terhadap kekayaan laut Nusantara.
Nunus menangkap kesan bahwa Indonesia ketinggalan atau lengah terhadap bidang ilmu arkeologi maritim.
Dalam peta ”harta karun” di dunia, nama perairan Indonesia memang tercatat sebagai salah satu lokasi penting. Dari catatan buku The Nanking Cargo (1987) karya Antony Thorncroft, soal biografi dan tindak tanduk Michael Hatcher, tercatat perairan di sekitar Selat Malaka ini sudah diincar Hatcher sejak tahun 1972 (Kompas, 5 Juni 2000). Upaya Hatcher mengambil benda-benda muatan kapal karam akhirnya dilaksanakan beberapa tahun kemudian. Setidaknya ada dua peristiwa pengambilan benda muatan kapal oleh Hatcher yang terendus, yaitu pada 1985-1986 dan 1990-2000.
”Waktu heboh Michael Hatcher jilid II itu, saya sempat kaget dan heran mendengar orang berbisik-bisik ’yang di darat saja kewalahan, kok, ngurusi tinggalan bawah air’. Lho, kasus itu terjadi di depan kita dan menjadi tanggung jawab kita, masa kita diam saja? Kita tidak boleh memunggungi laut lagi,” tuturnya.
Malaysia sudah mengangkat beberapa kapal tenggelam sesuai kaidah arkeologi, seperti Kapal Desaru, Turiang, dan Wan Lie. Demikian pula Brunei Darussalam sebagai negara kecil juga berhasil mengangkat beberapa kapal yang tenggelam di perairannya. Oleh karena itu, sangat ironis jika Indonesia sebagai bangsa maritim justru menyerah.
Oleh karena itulah, Nunus pernah mengusulkan ke sejumlah universitas, seperti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta; Universitas Udayana, Bali; dan Universitas Hasanuddin, Makassar, agar memberikan bahan mata kuliah khusus terkait arkeologi maritim atau arkeologi bawah air. Kebutuhan ahli-ahli arkeologi maritim kian mendesak karena sampai saat ini masih sangat banyak benda arkeologis bernilai sejarah tinggi yang masih terpendam di tanah ataupun karam di dalam perairan Indonesia.
Penanganan khusus
Arkeolog bawah air Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) Shinatria Adhityatama mengungkapkan, penanganan benda-benda muatan bawah laut, baik kapal maupun segala benda di dalamnya yang tenggelam, membutuhkan proses konservasi yang cukup rumit. Ia mencontohkan bagaimana perawatan kapal Batavia di Australia Barat butuh waktu yang cukup lama dan persiapan yang cukup matang.
Dalam konservasi, proses pembiayaan, pengadaan fasilitas, dan ketersediaan ahli harus mengikuti prosedur yang ketat. Selain itu, konsistensi perawatan pada obyek juga harus dilakukan secara berlanjut sehingga kapal Batavia sekarang dapat terpajang dengan apik di Museum Shipwreck Gallery Freemantle di Australia Barat dan masih tetap bisa dipelajari.
”Sudah siapkah kita? Jangan sampai temuan-temuan, seperti perahu kuno di Situs Lambur, Desa Lambur 1, Kecamatan Muara Sabak Timur, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi, malah rusak karena kita tidak siap melakukan konservasi. Sayang sekali jika kita kehilangan data-data arkeologi ini karena mungkin hanya sekali dalam hidup kita dapat menemukan situs perahu yang sebagus ini,” tutur Adhit mencontohkan.
Perahu kuno di Situs Lambur merupakan artefak yang rapuh karena dibuat dari bahan organik yang sangat mudah rusak dan hancur karena udara dan sinar matahari. Untuk konservasi lebih lanjut, situs tersebut sebaiknya ditangani instansi yang tepat. Di Indonesia, penanganan artefak semacam ini dilakukan oleh Balai Konservasi Borobudur di Magelang.
Menurut Agni Mochtar, peneliti arkeologi maritim dari Balai Arkeologi Yogyakarta, di Asia Tenggara tidak banyak ditemukan situs perahu dari tradisi kupingan-pengikat (lashed-lugs) dengan kondisi yang cukup lengkap seperti di Situs Lambur. Secara sekilas, tampak bagian-bagian perahu yang menunjukkan keunikan dibandingkan dengan perahu-perahu lain dari tradisi yang sama, misalnya bentuk papan lambung (ketebalannya, susunan antarpapan, bentuk tambuku) dan juga wing end (bagian ujung perahu) yang menjadi salah satu ciri khas tradisi rancang bangun perahu ini.
Tali pengikat dari ijuk (Arrenga pinnata) kapal ini juga menjadi bagian penting. Sayangnya, beberapa ijuk terlihat sudah dilepas dari konteksnya. ”Situs ini memiliki nilai penting, tidak hanya untuk Indonesia, tetapi juga untuk kawasan Asia Tenggara sehingga sangat disayangkan jika sampai terjadi perlakuan yang salah,” ujarnya.