Kolaborasi Mengubah Desa
Desa-desa memiliki potensi besar menyejahterakan penduduknya. Di tengah tumbuhnya ekosistem digital, kemampuan beradaptasi dan berkolaborasi menentukan masa depan desa.
JAKARTA, KOMPAS Beragam hasil desa menyuplai kebutuhan masyarakat perkotaan, bahkan diekspor. Kolaborasi desa, termasuk beradaptasi dengan ekosistem digital, menghadirkan kesejahteraan meskipun belum semuanya sesuai harapan.
Melalui pemasaran secara digital, jangkauan pasar memperbesar profit dan investasi, seperti desa-desa wisata di Jawa Tengah dan Yogyakarta, pertanian di desa produsen sayur, dan kopi lokal yang diserap jejaring kedai kopi global.
Di sisi lain, tidak sedikit produk desa-desa yang puluhan tahun dikembangkan, tetapi cenderung stagnan. Itu di antaranya terjadi di sentra mainan kayu Desa Blanceran, Kecamatan Karanganom, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Sebanyak 80 usaha rumahan mengandalkan pasar konvensional. ”Ekspor 2.000 buah per tiga bulan,” ujar Sofyan Hadi (39), Wakil Ketua Paguyuban Perajin Karya Maju Bersatu, di rumahnya, akhir Agustus 2019.
Mainan kayu limbah industri mebel jati itu diekspor ke Australia dan Thailand melalui pihak lain. Sebagian besar dikirim ke toko suvenir atau ditampung pengepul di Yogyakarta dan Klaten, yang di antaranya dijual di selasar Malioboro. Para perajin belum mengenal pemasaran daring. ”Kami siap jika dilatih,” kata Sofyan. Satu mainan sepanjang 15 sentimeter dijual Rp 15.000. Rantai pasar membuat harganya bisa melonjak tiga kali lipat.
Kepala Desa Blanceran Bambang Heri Novianto mengatakan, kerajinan tersebut menyerap 500 tenaga kerja. Pelatihan peningkatan mutu produk, manajemen, dan pemasaran di antaranya melibatkan mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) Universitas Gadjah Mada (UGM).
Potensi lokal lain yang diserap pasar adalah melon alisha di Sendangharjo, Lamongan, Jawa Timur. Hasil petani setempat dikirim ke daerah lain, termasuk Jakarta. Tengkulak membeli melon petani Rp 10.000 per kilogram, yang dijual dua kali lipat lebih mahal.
”Tengkulak saya bilang sudah ekspor melon kami ke Singapura,” kata Qamaruzzaman, pembudidaya melon di atas lahan 1 hektar. Ada 12 kelompok tani di desa itu. Menurut Ketua Kelompok Tani Mulya Makmur Khoiru Rohim, pertanian di Sendangharjo menghadapi tiga hal, yakni air, hama, dan pemasaran. Petani berharap ada terobosan sistem pemasaran yang bisa memotong rantai pasar, termasuk tengkulak. Selama ini, sekitar 300 petani di sana sangat bergantung kepada tengkulak.
Aplikasi desa
Secara umum, perdesaan berkutat pada produk pertanian, perikanan, dan peternakan. Namun, masalah di bidang itu seperti tak pernah habis. Pada saat bersamaan, tenaga penyuluh pertanian kian menua dan tidak bertambah. Merespons itu, tahun 2014 Fakultas Pertanian UGM mengembangkan Desa Apps, aplikasi penyuluhan pertanian digital.
Aplikasi berbasis Android itu diunggah gratis dan petani/peternak/pembubidaya ikan bisa berinteraksi dengan para ahli dari perguruan tinggi. ”Dengan diskusi secara digital, kami turun ke lapangan sudah bawa solusi,” kata penggagas Desa Apps yang juga Dekan Fakultas Pertanian UGM Jamhari.
Saat ini, sekitar 20.000 petani telah mengunduh aplikasi itu. Diskusi intens dan beragam persoalan coba diatasi tanpa harus bertemu. Jika diperlukan, baru para ahli ke lokasi. Beberapa persoalan yang ditangani di antaranya bibit padi lambat tumbuh, pertanian ramah musuh hama alami, hingga pengenalan jamur pembantu perakaran tanaman kedelai.
Diskusi lain termasuk keluhan harga komoditas dan masalah nonteknis pertanian. ”Revolusi industri 4.0 ini bisa jadi solusi. Aplikasi ini jalan pintas mempertemukan masalah dengan solusi secara efektif dan efisien,” katanya.
Saat ini kerja sama dilakukan dengan sejumlah pemda di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Maluku. Keberlanjutan dan perluasan dampaknya masih menunggu kerja sama lagi. Di sejumlah daerah, konektivitas digital antardaerah mulai terbentuk. Di Banyuwangi, Jawa Timur, 189 desa di sana sudah terhubung serat optik.
Desa-desa didorong membuat inovasi digital. ”Tinggal bagaimana infrastruktur ini digunakan untuk layanan publik dan menyejahterakan warga,” kata Kepala Dinas Komunikasi, Informatika, dan Persandian Banyuwangi Budi Santoso.
(RWN/BRO/GER/GSA)