Liburan musim panas tahun lalu, tingkat kunjungan di Museum Vatikan, Roma, mencapai 37.000 orang per hari.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
Liburan musim panas tahun lalu, tingkat kunjungan di Museum Vatikan, Roma, mencapai 37.000 orang per hari. Di Eropa, publik begitu antusias berkunjung ke museum. Tapi di Indonesia, kebanyakan museum justru sepi pengunjung. Bahkan, museum kadang dikonotasikan sebagai gudang atau (amit-amit) ”tempat buangan”.
Anggapan ini bukan mengada-ada. Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Fitra Arda mengakui bahwa di Indonesia museum masih dicitrakan sebagai tempat yang sepi, gudang benda-benda kuno, dan tempat untuk ”mengasingkan” orang.
”Banyak yang beranggapan museum sepi, tidak ada aktivitas, dan hanya menyimpan benda-benda lama. Ada pula yang bilang, kalau macam-macam kita akan dimuseumkan, kalau ada pejabat yang aneh-aneh akan dimuseumkan. Kita akan menghilangkan anggapan-anggapan demikian,” ujarnya saat membuka pameran bersama Museums Go To Campus yang diselenggarakan Museum Kepresidenan RI Balai Kirti, Senin (26/8/2019), di Kampus Universitas Diponegoro, Kota Semarang, Jawa Tengah.
Senada dengan Fitra, dosen FIB Undip Nurhayati juga mengungkapkan, mau tidak mau, suka tidak suka, anggapan masyarakat terhadap museum memang masih seperti dulu, sebagai bangunan yang kaku dan tidak menarik.
Karena itulah tantangan terberat museum-museum di Indonesia saat ini adalah mengubah citranya agar menjadi lebih positif dan tentu saja menarik bagi publik. Untuk itu, museum mesti hadir secara proaktif menginformasikan diri kepada masyarakat.
Tantangan terberat museum-museum di Indonesia saat ini adalah mengubah citranya agar menjadi lebih positif dan tentu saja menarik bagi publik.
Berbagai upaya untuk membentuk citra diri yang lebih positif kini mulai dilakukan museum-museum di Indonesia. Langkah ini pula yang dilakukan 17 museum dan Unit Pelaksana Teknis di lingkungan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama museum-museum di wilayah Semarang dan sekitarnya, Unit Pengelola Museum Seni DKI Jakarta, serta Museum Perjuangan Rakyat Jambi. Museum-museum tersebut menggelar pameran bersama di tengah-tengah kampus.
”Pameran Bersama Museums Go To Campus adalah jawaban dari tantangan kita bersama. Ini terobosan untuk mengajak kaum milenial melihat museum di zaman sekarang,” papar Nurhayati.
Saat ini, masyarakat memanfaatkan berbagai macam teknologi dan inovasi-inovasi baru untuk menggairahkan museum. Harapannya, museum makin ramai dikunjungi dan menjadi sumber inspirasi.
”Museum adalah sumber informasi dan sumber data penelitian yang tak ternilai. Kami berharap para mahasiswa dan sivitas akademika bisa memanfaatkannya untuk melakukan kajian-kajian budaya,” katanya.
Belajar langsung
Berbagai macam koleksi museum dihadirkan dalam pameran bersama di Kampus Undip. Pada hari pertama pembukaan, ratusan mahasiswa antusias mengunjungi stan-stan pameran.
Anak-anak muda rupanya sangat tertarik dengan stan-stan yang menyediakan petugas pemandu. Untuk mengetes pengetahuan para mahasiswa, para pemandu memancing mereka dengan sejumlah pertanyaan terkait koleksi yang dipamerkan. Mahasiswa yang bisa menjawab pertanyaan kemudian diberi bingkisan.
”Setelah menjawab berkali-kali, saya baru berhasil menemukan jawaban bahwa Candi Sewu dibangun pada abad ke-8. Akhirnya dapat hadiah juga,” kata Ratna, salah satu mahasiswa sembari tertawa.
Dalam pameran bersama, mahasiswa tidak sekadar melihat koleksi museum yang dipamerkan, tetapi mereka bisa belajar langsung tentang sejarah setiap koleksi, langsung kepada para edukator museum. Berbagai macam koleksi dihadirkan dalam Pameran Bersama Museums Go To Campus di Undip, mulai dari replika tongkat komando Presiden Soekarno, replika Candi Sewu, hingga biola WR Supratman.
Kurator Pameran Bersama Museums Go To Campus, Prof Singgih Tri Sulistiyono dari Undip, mengatakan, museum merupakan satu lembaga yang menyimpan memori kolektif atau kenangan-kenangan bersama sebagai suatu komunitas bangsa. Pengetahuan terhadap ingatan bangsa ini merupakan faktor yang penting untuk membangun kohesivitas sebagai suatu bangsa.
Museum merupakan satu lembaga yang menyimpan memori kolektif atau kenangan-kenangan bersama sebagai suatu komunitas bangsa.
”Memori kolektif sangat penting sebagai pengingat untuk membangun kebersamaan sebagai suatu bangsa. Apalagi, di tengah kondisi konflik berbau SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) yang akhir-akhir ini sering kita hadapi,” ujarnya.
Oleh karena itu, tema yang diangkat dalam pameran bersama ini menjadi sangat aktual, yaitu ”Merawat Kebinekaan, Memajukan Kebudayaan”. ”Tema ’Merawat Kebinekaan, Memajukan Kebudayaan’ diterjemahkan dan disusun menjadi sebuah garis cerita untuk menampilkan materi pameran.”
Selama pameran, diselenggarakan pula beberapa kegiatan, seperti seminar tokoh presiden, diskusi STOVIA, workshop (lokakarya) fotografi, lokakarya membatik, lokakarya membuat gerabah, pemutaran bioskop keliling, lokakarya seni mural, dan kampanye pelestarian cagar budaya,” kata Koordinator Pameran sekaligus Kepala Museum Kepresidenan RI Balai Kirti Amurwani Dwi Lestariningsih.
Terus gali inovasi
Agar tetap menarik bagi publik, museum mesti tak jemu-jemu memutar otak untuk menggali inovasi-inovasi baru. Artscience Museum di Marina Bay Sands, Singapura, misalnya, museum ini berinisiatif menggandeng restoran Black Tap untuk membuat menu milkshake dengan nama khusus ”The Wonderland Shake” yang sekaligus ikut mempromosikan pameran interaktif Wonderland yang digelar 13 April 2019 hingga 22 September 2019.
Beberapa museum swasta di Indonesia juga mulai berkolaborasi dengan agen-agen daring untuk memasarkan paket-paket tiket. Seperti halnya perusahaan-perusahaan besar, mereka juga berani mempekerjakan tenaga-tenaga pemasaran yang aktif melakukan canvasing kepada calon-calon pengunjung museum yang potensial.
Pada akhirnya, kemauan untuk mau ”jemput bola” kepada publik dengan segala inovasi baru serta kajian-kajian koleksi yang mendalam menjadi sebuah langkah yang mesti dilakukan museum-museum di Indonesia agar tetap dilirik masyarakat. Jangan sampai, anggapan miring bahwa museum adalah ”tempat buangan” terus-menerus dibiarkan melekat.