Pemerintah Akan Turunkan PPh Badan Jadi 20 Persen
Potensi pajak yang tidak masuk ke kas negara akibat penurunan tarif PPh badan diperkirakan Rp 87 triliun. Jika sesuai rencana, potensi pajak yang tak masuk ke kas negara pada tahun 2021 mencapai Rp 54 triliun.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berencana menurunkan Pajak Penghasilan atau PPh badan secara bertahap dari 25 persen menjadi 20 persen dalam dua tahun. Kebijakan yang ditargetkan efektif tahun 2021 itu diharapkan mendorong perekonomian melalui pertumbuhan investasi dan perdagangan.
Kebijakan itu akan dituangkan dalam bentuk undang-undang. Selain penurunan PPh badan, pemerintah juga berencana memberikan sejumlah relaksasi dan insentif perpajakan. Menjelang finalisasi, Presiden Joko Widodo didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla memimpin rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (3/9/2019).
Hadir 11 menteri Kabinet Kerja dalam rapat itu. Mereka antara lain Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno, dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Thomas Trikasih Lembong. Hadir pula Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan dan Direktur Jenderal Bea Cukai Heru Pambudi.
”Rapat membahas reformasi perpajakan untuk peningkatan daya saing ekonomi. Bukan hanya untuk mempercepat terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tetapi juga meningkatkan daya saing ekonomi, terutama dalam hal investasi dan ekspor, sehingga daya tahan ekonomi negara semakin kuat dalam menghadapi ketidakpastian perekonomian global,” tutur Presiden pada pidato pengantar.
Reformasi perpajakan harus terus dilakukan secara menyeluruh. Hal ini mencakup aspek regulasi, administrasi, sistem teknologi informasi perpajakan, penguatan basis data pajak, sistem informasi perpajakan, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia di bidang perpajakan.
Dengan demikian, Presiden berharap negara pada akhirnya memiliki sistem pemungutan pajak yang tepercaya sekaligus memiliki sistem administrasi perpajakan yang lebih efisien, terintegrasi, dan selalu mutakhir terhadap perkembangan teknologi informasi.
Berkaitan dengan daya saing ekspor dan investasi, Presiden meminta agar kebijakan pemberian insentif perpajakan diluncurkan. Bentuknya, misalnya, perluasan tax hioliday, perubahan tax allowance, insentif investment allowance, insentif superdeduction untuk pengembangan kegiatan vokasi dan penelitian-pengembangan, serta di industri padat karya.
”Betul-betul dikawal implementasinya sehingga terarah dan betul-betul bisa memberikan tendangan yang besar bagi para pelaku usaha. Artinya (kebijakannya) bisa nendang,” kata Presiden.
Presiden mengingatkan, insentif perpajakan bukan satu-satunya penentu peningkatan investasi. Faktor penting lainnya antara lain adalah perbaikan ekosistem usaha, seperti kualitas infrastruktur, serta penyederhanaan dan percepatan perizinan. Faktor penting lainnya adalah kepastian hukum, termasuk undang-undang di bidang perpajakan.
Insentif perpajakan bukan satu-satunya penentu peningkatan investasi.
”Karena itu, saya minta reformasi regulasi perpajakan segera dituntaskan sehingga betul-betul menunjang penguatan daya saing ekonomi negara kita,” kata Presiden.
Dalam keterangan pers seusai rapat, Sri Mulyani menyatakan, penyusunan rancanga undang-undang (RUU) di bidang ketentuan dan fasilitas perpajakan untuk penguatan perekonomian nasional tersebut filosofinya adalah untuk membuat ekonomi Indonesia kompetitif. Apalagi, ketika perekonomian global tengah lesu sebagaimana tengah terjadi saat ini.
”Kami harus yakinkan bahwa ekonomi Indonesia masih punya daya dorong dan daya tahan. Konsumsi kita jaga, investasi kita naikkan, dan ekspor kita jaga. Kami juga harapkan seluruh halangan investasi akan dikurangi atau dihilangkan,” kata Sri Mulyani.
RUU yang tengah difinalisasi tersebut, kata Sri Mulyani, melengkapi berbagai langkah yang telah dan sedang dilakukan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. ”Presiden meminta supaya kita lakukan kebijakan yang mempermudah investasi dan ekspor. Semua hal yang menghalangi harus dihilangkan. Filosofinya, buat ekonomi Indonesia menjadi kompetitif,” kata Sri Mulyani.
Saat ini, tarif PPh badan di Indonesia adalah 25 persen. Pemerintah berencana menurunkannya secara bertahap dalam dua tahun menjadi 20 persen, dimulai per 2021. Bahkan, untuk perusahan yang sudah maupun yang akan go public, penurunan tarif direncanakan sampai 17 persen alias sama dengan tarif PPh badan di Singapura.
”Kami sudah hitung dampaknya. Presiden dan Wapres sudah memberikan arahan bagaimana ini bisa dilakukan dengan tetap menjaga APBN agar tidak mengalami tekanan,” kata Sri Mulyani.
Soal kerangka waktu penyusunan RUU, Sri Mulyani berkomitmen segera melakukan finalisasi dan konsultasi publik. Secara paralel, Kementerian Keuangan juga segera menyelesaikan naskah akademiknya sehingga bisa secepatnya dibawa ke DPR. Harapannya, RUU sudah selesai dan disetujui pemerintah dan DPR pada 2020 sehingga 2021 bisa efektif diterapkan sebagaimana rencana.
Potensi hilang
Robert Pakpahan menambahkan, potensi pajak yang tidak masuk ke kas negara akibat penurunan tarif PPh badan tersebut diperkirakan Rp 87 triliun. Nilai ini dengan perhitungan bahwa tarif diturunkan langsung dari 25 persen ke 20 persen. Jika bertahap sesuai rencana, potensi pajak yang tidak masuk ke kas negara pada 2021 adalah Rp 54 triliun.
Menurut Robert, Direktorat Jenderal Pajak akan mengelola penerimaan negara sebaik-baiknya. Dengan demikian, potensi penerimaan yang tidak masuk ke kas negara tersebut tidak akan menggoyahkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Potensi pajak yang tidak masuk ke kas negara akibat penurunan tarif PPh badan diperkirakan Rp 87 triliun.
Selain menurunkan tarif PPh badan, RUU juga menghapuskan PPh final atas deviden dari dalam negeri dan luar negeri. Selama ini, deviden dari dalam dan luar negeri kepada pemilik saham di atas 25 persen tidak dikenai PPh final. Namun, bagi pemilik saham di bawah 25 persen, dikenai PPh badan final dengan tarif normal sebesar 25 persen. Adapun PPh orang pribadi, tarifnya 10 persen.
Dalam RUU, semua ketentuan pajak PPh dividen tersebut dihapuskan. Syaratnya, dividen ditanamkan dalam investasi di Indonesia, baik dividen dalam ataupun luar negeri. Periodenya adalah selama dividen diinvestasikan di dalam wilayah Indonesia.
RUU juga mengatur sejumlah insentif perpajakan dalam satu bagian. Bentuk insentifnya antara lain adalah tax holiday, super deduction, fasilitas PPh untuk kawasan ekonomi khusus, dan PPh untuk surat berharga negara di pasar internasional.
Sebagai langkah antisipasi atas maraknya perusahaan digital transnasional, seperti Amazon dan Google, RUU juga akan menetapkan perusahaan-perusahaan digital transnasional sebagai subyek pajak yang bisa memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ini adalah usaha pemerintah agar tidak terjadi penghindaran pajak. Tarif PPN normal, yakni 10 persen.
Selama ini, perusahaan semacam itu tidak bisa dikenai pajak. Salah satu alibinya adalah tidak ada kehadiran fisik perusahan di Indonesia sehingga tak bisa ditetapkan sebagai badan usaha tetap (BUT). Sebagaimana kajian OECD yang sudah menjadi komitmen negara-negara G-20 dalam Komunike bersama Pertemuan Puncak G-20 di Osaka, beberapa waktu lalu, dasar penetapan BUT kini tidak lagi didasarkan atas kehadiran fisik perusahaan.
”Walau mereka tak punya kantor cabang di Indonesia, kewajiban pajak tetap ada karena mereka memiliki significant economic presence. Tentu saja tujuannya supaya ada level playing field terhadap kegiatan digital terutama perusahaan besar yang selama ini beroperasi lintas batas negara. Tarifnya akan ditetapkan dalam PPh dan PPN dalam RUU ini,” tutur Sri Mulyani.
Baca juga: Insentif Pajak Berdampak Positif ke Properti