Rantai Pasok Material dan Peralatan Konstruksi Perlu Dibenahi
Program pembangunan infrastruktur yang tetap jadi fokus pemerintah perlu jaringan rantai pasok material maupun peralatan yang andal. Perlu keterbukaan informasi antarpihak agar pasokan dengan permintaan jalan seimbang.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Program pembangunan infrastruktur yang tetap jadi fokus pemerintah di masa mendatang memerlukan jaringan rantai pasok material dan peralatan yang andal. Perlu keterbukaan informasi antarpihak agar pasokan dengan permintaan berjalan seimbang.
Direktur Jenderal Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Syarif Burhanuddin, di Jakarta, Selasa (3/9/2019), mengatakan, di banyak wilayah terjadi ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan material ataupun peralatan konstruksi. Hal itu terjadi karena ketidakpastian permintaan, persediaan, dan informasi antarpihak di sektor konstruksi.
”Anggaran infrastruktur tahun 2020 pun lebih besar dibandingkan tahun ini, yakni Rp 419,2 triliun, dan diharapkan akan ada peningkatan pada 2024. Isu lainnya adalah pemindahan ibu kota negara yang butuh Rp 466 triliun. Lantas, apakah kebutuhan rantai pasok sudah siap,” kata Syarif dalam ”Workshop Pembinaan Rantai Pasok Material dan Peralatan Konstruksi”.
Pembangunan infrastruktur tidak hanya dilakukan dengan anggaran pemerintah, tetapi juga melalui investasi swasta. Sebab, untuk memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur dari proyek Kementerian PUPR saja, ada kekurangan material dan peralatan di beberapa daerah.
Sebagai contoh, perbandingan suplai nasional dengan kebutuhan proyek Kementerian PUPR tahun 2019 di Jawa defisit pasokan aspal minyak sebesar 316.239 ton. Sementara di Kalimantan kekurangan baja mencapai 74.197 ton, aspal buton 1.262 ton, serta beton pracetak dan prategang 647.272 ton.
Adapun di Sulawesi mengalami defisit baja 84.010 ton dan beton pracetak dan prategang 324.549 ton. Angka defisit itu semakin parah di Papua yang mengalami defisit, baik untuk aspal minyak, aspal buton, baja, beton pracetak dan prategang, hingga alat berat konstruksi 651 unit.
Meskipun terdapat kekurangan beberapa jenis material, di sisi lain produsen mengalami kelebihhan produksi. Seperti semen, kapasitas produksi terpasang dari 13 produsen sudah mencapai 109,971 juta ton per tahun dan mengalami kelebihan pasokan 40,9 juta ton atau 37,2 persen.
Demikian pula kapasitas baja konstruksi nasional sebesar 18,8 juta ton atau 20 persen lebih besar dari proyeksi konsumsi baja tahun 2019 sebesar 15,14 juta ton. Parahnya, impor baja yang sebagian besar berasal dari China mencapai 30-40 persen dari konsumsi baja nasional. Sementara untuk beton pracetak dan prategang terkendala terbatasnya pasokan batu pecah dan pasir serta kendala mobilisasi produk ke lokasi.
Menurut Syarif, berbagai permasalahan tersebut bermuara pada belum terbangunnya rantai pasok konstruksi yang baik di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah akan terus mendorong penggunaan material dalam negeri untuk mengurangi impor, seperti aspal buton. Selain itu diperlukan informasi yang terintegrasi tentang pasokan dan permintaan material konstruksi.
”Ini menandakan informasi antarpemangku kepentingan belum merata. Demikian juga distribusi logistik yang belum merata mengakibatkan harga material menjadi mahal,” ujar Syarif.
Berbagai permasalahan bermuara pada belum terbangunnya rantai pasok konstruksi yang baik di Indonesia.
Ketua Dewan Pengurus Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Nasional Ruslan Rivai mengatakan, sampai hari ini belum ada informasi yang jelas mengenai ketersediaan serta permintaan material dan peralatan konstruksi. Oleh karena itu, yang diperlukan adalah membangun sistem informasi rantai pasok material dan peralatan konstruksi.
Selain itu, lanjut Ruslan, sejak perencanaan juga mesti memperhitungkan ketersediaan material dan peralatan di lokasi proyek. Dengan demikian, kemudahan mendapatkan pasokan material dan peralatan akan turut menekan harga. Pekerjaan rumah lainnya adalah memastikan material sesuai standar nasional Indonesia.
”Banyak material, terutama material baja, tidak sesuai standar nasional Indonesia. Sementara bagi penyedia jasa, material yang ada di pasar itulah yang dibeli, apalagi dengan harga yang sedikit miring,” ujar Ruslan.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Masyarakat Baja Indonesia Ken Pangestu mengatakan, produsen baja dalam negeri telah mampu dan memiliki kapasitas yang cukup untuk memproduksi kebutuhan baja untuk konstruksi dalam negeri. Namun, karena informasi ataupun data permintaan baja tidak tersedia, pasokan baja dianggap kurang dan berakibat impor dari luar negeri.
Dia berharap ke depan tidak ada lagi impor baja dari luar negeri. ”Jembatan itu semua komponen bajanya bisa diproduksi di dalam negeri. Jadi, memang tidak ada alasan lagi impor baja,” kata Ken. (NAD)