JAKARTA, KOMPAS – Dewan Perwakilan Rakyat tiba-tiba kembali berencana merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Rancangan legislasi yang dibahas secara tertutup dari publik itu akan mengubah poin terkait kedudukan dan kewenangan lembaga antirasuah tersebut. DPR berharap bisa merampungkan revisi sebelum pimpinan KPK berganti pada Desember 2019 ini.
Revisi Undang-Undang KPK diputuskan dalam rapat pleno Badan Legislasi pada Selasa, 3 September 2019. Dalam rapat yang diadakan pada malam hari dan tertutup dari publik itu, seluruh fraksi menyetujui agar UU KPK direvisi. Wakil Ketua Baleg dari Fraksi Partai Hanura Sudiro Asno pun langsung menyurati pimpinan DPR agar RUU itu dibawa ke rapat paripurna untuk diputuskan sebagai usul inisiatif DPR.
Anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi PDI-Perjuangan Masinton Pasaribu saat dihubungi di Jakarta, Rabu (4/9/2019) mengatakan, rencana revisi UU KPK sudah bergulir lama, tetapi sempat terhenti karena kesibukan anggota DPR menghadapi Pemilu 2019. Setelah pemilu, pembahasan itu pun dilanjutkan.
Ia membenarkan, perancangan revisi UU KPK dibahas dalam rapat-rapat yang tertutup dari publik. “DPR itu ada berbagai jenis rapat. Tentu yang diketahui publik adalah rapat terbuka. Sementara, rapat-rapat tertutup itu cukup di Baleg saja,” kata Masinton, yang ikut hadir dalam rapat.
Revisi UU KPK sengaja dimunculkan sekarang karena bertepatan dengan proses seleksi calon pimpinan KPK periode 2019-2023 yang saat ini sedang berlangsung. Dengan demikian, pimpinan KPK yang baru nanti bisa bekerja dengan mengacu pada undang-undang KPK yang baru.
“Ini, kan, sebenarnya bukan barang baru. Kenapa dibahas sekarang, itu karena bertepatan dengan adanya seleksi pimpinan KPK, agar pimpinan yang baru nanti bisa bekerja dengan undang-undang yang baru juga,” katanya.
Ia meyakini, revisi UU KPK dapat dibahas dengan cepat. Pasalnya, tidak ada penolakan dari sepuluh fraksi di DPR. Pemerintah juga diyakini tidak akan menolak karena ini hanya meneruskan wacana revisi yang sudah bergulir selama bertahun-tahun. “Ini sesuatu yang sebenarnya sudah matang, setelah nanti disetujui di rapat paripurna, maka bisa langsung dibahas oleh Baleg DPR bersama pemerintah,” katanya.
Adapun substansi revisi yang disepakati menyangkut enam poin perubahan kedudukan dan kewenangan KPK. Secara garis besar, isinya tidak jauh berbeda dengan materi revisi pada 2017 lalu. Pertama, kedudukan KPK disepakati berada pada cabang eksekutif atau pemerintahan yang dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, bersifat independen. Pegawai KPK ke depan juga akan berstatus aparatur sipil negara.
Kedua, penyadapan oleh KPK baru dapat dieksekusi setelah mendapat izin dari Dewan Pengawas KPK. Ketiga, KPK ditegaskan menjadi bagian tidak terpisahkan dari sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia yang harus bersinergi dengan lembaga penegak hukum lainnya.
Keempat, kinerja KPK di bidang pencegahan akan ditingkatkan, sehingga setiap instansi, kementerian dan lembaga wajib menyelenggarakan pengelolaan laporan harta kekayaan terhadap penyelenggaraan negara sebelum dan sesudah berakhir masa jabatan. Kelima, munculnya Dewan Pengawas KPK yang berjumlah lima orang yang bertugas mengawasi KPK.
Keenam, kewenangan KPK untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara korupsi yang tidak selesai dalam jangka waktu satu tahun atau SP3. Penghentian itu harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas dan diumumkan ke publik.
Timbul-tenggelam
Catatan Kompas, revisi UU KPK muncul di setiap tahun persidangan DPR periode ini. Namun, wacana itu timbul dan tenggelam karena selalu mendapat penolakan luas dari publik.
Pada 2015, RUU itu diusulkan masuk Prolegnas 2015 oleh 45 anggota DPR dari enam fraksi yang berbeda. Saat itu, revisi UU KPK ditengarai menjadi poin barter terkait seleksi calon pimpinan KPK yang sempat diproses dengan lambat oleh DPR. Namun, saat itu, rencana revisi saat akhirnya batal dibahas.
Pada 2016, revisi UU KPK diusulkan lagi masuk ke Prolegnas 2016. Meski akhirnya ditunda, rencana revisi UU KPK sempat disebut sebagai ”tukar guling” dengan RUU Pengampunan Pajak, yang saat itu sangat dibutuhkan pemerintah untuk meningkatkan pemasukan negara dari sektor pajak.
Pada 2017, di tengah gencarnya KPK membongkar kasus korupsi KTP-el yang diduga juga melibatkan politisi dari sejumlah partai, termasuk Ketua DPR Setya Novanto, wacana revisi UU KPK lagi-lagi berembus dari meja pimpinan DPR.
Pada 2018, wacana revisi UU KPK sempat muncul sebagai salah satu poin rekomendasi Panitia Angket DPR terhadap KPK, meski pada akhirnya dihapus dari daftar rekomendasi. Revisi UU KPK pun disepakati tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas 2019. Namun, meski saat ini tidak ada di Prolegnas prioritas, revisi UU KPK tidak pernah benar-benar dicabut dari daftar prolegnas jangka menengah lima tahunan.
Penggodokan revisi UU KPK tetap dilakukan DPR melalui pusat perancangan undang-undang yang ada di bawah Badan Keahlian DPR. Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar mengatakan, rencana revisi UU KPK adalah salah satu dari sejumlah RUU yang terus dievaluasi dan digodok oleh DPR melalui tim perancang perundang-undangan.
“Bukan hanya revisi UU KPK, ada banyak RUU lain juga sebenarnya yang terus kami godok. RUU ini juga baru akan disahkan menjadi usul inisiatif, masih sangat panjang proses ke depannya,” kata Indra.
Revisi UU KPK menambah panjang daftar regulasi yang berpotensi mengganggu semangat pemberantasan korupsi. Sebelum ini, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang sedaang dibahas di Komisi III DPR bersama pemerintah juga meringankan ancaman pidana untuk koruptor, melalui memasukkan pasal-pasal inti tipikor ke dalam RKUHP, di tengah penolakan dari KPK dan pegiat antikorupsi.
Selain itu, ada pula RUU Pemasyarakatan yang sedang bergulir dan berencana meringankan syarat bebas bersyarat dan asimilasi untuk para napi korupsi. RUU yang juga dibahas di Komisi III itu berencana meniadakan syarat rekomendasi lembaga penegak hukum untuk pertimbangan bebas bersyarat napi korupsi, sebagaimana yang diatur selama ini dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99/2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.