Bangladesh Larang Dua Lembaga Bantuan Bertemu Pengungsi
Pemerintah Bangladesh melarang dua lembaga bantuan untuk masuk ke dalam kamp pengungsi Rohingnya di Cox’s Bazar, Bangladesh.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
DHAKA, KAMIS — Pemerintah Bangladesh melarang dua lembaga bantuan untuk masuk ke dalam kamp pengungsi Rohingnya di Cox’s Bazar, Bangladesh. Kedua lembaga tersebut dinilai menghasut pengungsi agar tidak kembali ke Myanmar.
Dua lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang menerima larangan adalah Badan Pengembangan dan Bantuan Advent (ADRA) dari Amerika Serikat dan Al Markazul Islami dari Bangladesh. Adapun sekitar 130 LSM bekerja di Cox’s Bazar untuk membantu penanganan 1 juta pengungsi Rohingya.
”Dhaka telah mengeluarkan pemberitahuan bagi LSM tersebut untuk segera menghentikan kegiatan mereka di seluruh negeri. Pemerintah mengambil tindakan sesuai dengan perintah yang telah dikeluarkan,” kata pejabat Pemerintah Distrik Cox’s Bazar, Kamal Hossain, Kamis (5/9/2019).
Biro pemerintah yang mengurus LSM juga telah meminta bank membekukan transaksi keuangan ADRA dan Al Markazul Islami. Kedua LSM tersebut dituding menghasut para pengungsi Rohingya untuk menolak upaya repatriasi yang dilakukan Bangladesh dan Myanmar.
Bangladesh dan Myanmar menandatangani perjanjian repatriasi pada November 2017. Keberadaan pengungsi mulai meresahkan warga lokal dan memengaruhi dinamika masyarakat Bangladesh.
Sejak Agustus 2019, Bangladesh kembali berupaya melakukan repatriasi pengungsi Rohingya. Upaya ini merupakan kali kedua setelah upaya pertama gagal pada November 2018. Waktu itu, pengungsi khawatir untuk kembali karena belum adanya jaminan keamanan dan kewarganegaraan bagi mereka dari Pemerintah Myanmar.
Belakangan, atmosfer kamp pengungsi di Cox’s Bazar kembali tegang setelah para pengungsi memperingati dua tahun eksodus dari Myanmar pada 25 Agustus 2019.
Pekan lalu, Menteri Luar Negeri Bangladesh AK Abdul Momen menuding Myanmar tidak memiliki niat untuk melakukan repatriasi Rohingya. Keengganan tersebut terlihat dari kegagalan Naypyidaw untuk membongkar kamp pengungsi internal yang berada di Rakhine dan memulangkan mereka ke rumah asal.
”Hal itu merupakan manifestasi yang jelas dari kurangnya keinginan pihak Myanmar untuk memulangkan dan mengintegrasikan orang-orang yang dianiaya ini,” ujar Momen, melalui pernyataan tertulis.
Situasi Myanmar
Pendiri Fortify Rights, Matthew Smith, mengatakan, otoritas Myanmar memaksa warga Rohingya untuk menerima kartu verifikasi nasional (NVCs). Pemaksaan terjadi hingga pada titik tentara militer menyiksa dan menodongkan senjata ke pengungsi.
”Kartu NVCs akan mengidentifikasi Rohingya sebagai orang asing. Pemerintah Myanmar mencoba menghancurkan warga Rohingya melalui proses administrasi yang secara efektif melepaskan hak-hak dasar mereka,” tuturnya.
Pemerintah Myanmar mencoba menghancurkan warga Rohingya melalui proses administrasi yang secara efektif melepaskan hak-hak dasar mereka.
Juru bicara Pemerintah Myanmar tidak merespons permintaan respons atas laporan Fortify Rights. Sementara juru bicara dari militer Myanmar, Mayor Jenderal Tun Tun Nyi, membantah warga Rohingnya dipaksa menerima kartu tersebut hingga disiksa.
Berita pemaksaan dan intimidasi tersebut dapat memengaruhi upaya repatriasi pengungsi Rohingya yang berada di Bangladesh secara negatif.
Pada Agustus 2017, sekitar 750.000 warga Rohingya melarikan dari Rakhine, Myanmar, akibat persekusi. Eksodus ini terjadi setelah ratusan ribu warga lainnya lebih dulu meninggalkan Myanmar beberapa tahun sebelumnya.
Pengungsi Rohingya akhirnya tinggal tersebar di sejumlah negara, antara lain Bangladesh, Indonesia, Malaysia, dan Pakistan.
Persekusi terjadi akibat Pemerintah Myanmar menyatakan mereka sebagai imigran ilegal dari Bangladesh. Padahal, catatan sejarah menunjukkan, beberapa generasi warga Rohingya telah lama menempati Rakhine. (AFP/REUTERS)