Pengungkapan temuan keberadaan manusia yang semakin tua ini berpotensi memudarkan teori pendaratan pertama Homo erectus di Jawa berdasarkan teori migrasi ”Out of Africa”.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
Berbicara soal asal-usul manusia selalu menarik. Hingga sekarang, diskursus tentang hal ini masih terus bergulir.
Dalam penelitian di Bumiayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, 17 Juni-4 Juli 2019, Tim Penelitian Balai Arkeologi Yogyakarta di bawah pimpinan Prof Harry Widianto menemukan fosil tulang Homo erectus yang diperkirakan berusia 1,8 juta tahun. Selang sebulan, pada 12-27 Agustus 2019, Tim Penelitian Puslit Arkenas yang juga diketuai Prof Harry kembali menemukan fragmen tulang manusia di daerah Ngampon dan Mlandingan, Desa Sangiran, Kecamatan Sragen, Jawa Tengah, yang diperkirakan berusia 1,7 juta tahun.
Dilihat dari stratigrafi atau susunan lapisan batuan dalam kulit bumi, peneliti mengonfirmasi fosil tulang manusia di Bumiayu berasal dari bagian paling bawah lapisan formasi Kaliglagah yang menunjuk pada angka 1,8 juta tahun lalu. Sementara itu, fragmen tulang manusia di Sangiran ditemukan pada lapisan endapan lempung hitam formasi Pucangan yang diyakini menunjukkan usia 1,7 juta tahun.
Melihat masanya, fosil dan fragmen tulang yang ditemukan di dua tempat itu diduga merupakan tulang belulang Homo erectus atau manusia berjalan tegak. Keduanya memunculkan pertanyaan tentang teori migrasi ”Out of Africa” yang menggariskan Homo erectus berasal dari Afrika sejak 1,8 juta tahun lalu dan kemudian bermigrasi ke Pulau Jawa pada 1,5 juta tahun silam.
”Selama ini, orang mengatakan Homo erectus berasal dari Afrika 1,8 juta tahun lalu yang kemudian menyebar ke Eropa, Asia Tengah, China, dan mengembara sampai Pulau Jawa (Sangiran) sekitar 1,5 juta tahun lalu, yang ditemukan pada lapisan formasi Pucangan berupa lempung hitam. Namun, penemuan di Bumiayu menunjukkan fakta lain bahwa Homo erectus ternyata sudah ada sejak 1,8 juta tahun lalu,” papar Harry.
Penemuan di Bumiayu menunjukkan fakta lain bahwa Homo erectus ternyata sudah ada sejak 1,8 juta tahun lalu.
Selanjutnya, kepurbaan manusia di Sangiran yang semakin mendekati usia Homo erectus di Bumiayu antara 1,7 juta dan 1,8 juta tahun lalu bisa jadi merupakan masa kemunculan Homo erectus di Pulau Jawa.
Pengungkapan temuan keberadaan manusia yang semakin tua ini berpotensi memudarkan teori pendaratan pertama Homo erectus di Jawa berdasarkan teori migrasi ”Out of Africa”. Teori ini menyebutkan Homo erectus berasal dari Afrika, yang bermigrasi sejak 1,8 juta tahun lalu dan mencapai Pulau Jawa pada 1,5 juta tahun silam.
”Nyatanya, mereka hadir di tanah tua Pulau Jawa jauh lebih awal dibandingkan dengan teori ’Out of Africa’ itu. Boleh jadi, mereka bukanlah para migran dari Afrika, melainkan merupakan cikal-bakal lokal, yang tumbuh dan berkembang pada masing-masing habitat mereka di Pulau Jawa, sejak 1,8-1,7 juta tahun lalu, dan mengalami evolusi lokal, sesuai dengan teori Multi-Regional. Bukan ’Out of Africa’, tetapi Multi-Regional,” tutur Harry.
Sebelumnya, dalam jurnal pnas.org (2016), ahli evolusi dan genetika Australian Research Centre for Human Evolution Griffith University, David Lambert, mengungkapkan bahwa genetik orang Aborigin berasal dari Afrika berdasarkan hasil pengurutan DNA yang dilakukan. Ia memastikan bahwa data mitokondria kontemporer yang ia teliti konsisten dengan teori ”Out of Africa”.
Arkeolog Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Daud Aris Tanudirjo, mengatakan, munculnya teori ”Out of Africa” membutuhkan rangkaian penelitian yang lama dan perdebatan yang panjang. ”Afrika diteliti oleh banyak ahli sehingga temuannya berlimpah dan mereka bisa menyusun rangkaian evolusi manusia secara agak lengkap. Karena itu, setelah muncul satu temuan, mesti ditunggu dulu apakah ada temuan-temuan lain lagi berikutnya. Karena teori ’Out of Africa’ didukung dengan bukti-bukti yang banyak, maka klaim itu tidak muncul secara tiba-tiba,” ucap Daud.
Setelah Eugene Dubois menemukan atap tengkorak dan gigi geraham manusia bercorak primitif pada 1891, banyak ahli berdatangan ke Indonesia. Akan tetapi, sejak 1940, minat peneliti menguak keberadaan manusia purba bergeser ke Afrika karena intensitas penemuan fosil di benua tersebut sangat tinggi dan beragam sehingga para peneliti bisa menyusun tahapan-tahapan evolusi.
Diuji terus-menerus
Dalam memastikan kesahihan sebuah temuan, konteks dari temuan harus dipastikan terlebih dulu. ”Apakah pengendapannya memang terjadi di lapisan tertentu ataukah justru temuan sempat tertransportasi (terbawa proses tertentu sehingga berpindah tempat)? Inilah yang perlu diyakinkan. Bisa jadi, tulang yang ditemukan di lapisan tua berasal dari lapisan yang lebih muda karena proses penetrasi atau transportasi,” papar Daud.
Selain itu, hasil pertanggalan dari temuan juga mesti menggunakan pertanggalan absolut agar lebih valid. Sebab, apabila pertanggalannya masih relatif, tingkat ketepatan umurnya kurang pasti atau justru malah bisa berkurang.
Untuk sementara, perkiraan usia fosil Homo erectus Bumiayu masih menggunakan sistem pertanggalan relatif. Beberapa sampel akan menjalani tes pertanggalan argon-argon 40 dan 39 di Perancis serta vission track di China yang hasilnya akan keluar sekitar enam bulan mendatang.
Untuk sementara, perkiraan usia fosil Homo erectus Bumiayu masih menggunakan sistem pertanggalan relatif.
Dalam dunia arkeologi sering kali muncul istilah, ”satu pertanggalan itu bukan pertanggalan”. Apabila seseorang menemukan artefak, kemudian di situ ada arang dan langsung di-dating dengan umur tertentu begitu saja, bisa jadi kepastian umur artefak tersebut belum ditemukan karena keberadaan arang di situ belum tentu semasa dengan artefak yang ada. Karena itu, setiap penemuan wajib dicek dan dicek lagi. Arkeolog mesti berhati-hati dan waspada dalam menyimpulkan hasil-hasil temuannya.
Jadi, benarkah manusia Indonesia berasal dari Afrika? Diskursus ini masih terus berlanjut. Di sinilah terbuka lebar panggung bagi para peneliti untuk saling membantah dan saling menyempurnakan.