HONG KONG, KAMIS - Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam mengklaim China mendukung keputusannya untuk menarik rancangan undang-undang ekstradisi. Dukungan tersebut menunjukkan perubahan strategi China dalam menangani krisis politik di Hong Kong.
"Sepanjang proses, pemerintah pusat mengerti mengapa kami harus melakukannya. Mereka mengerti, menghormati, dan mendukung saya," kata Lam, dalam konferensi pers, Kamis (5/9/2019).
Lam melanjutkan, Pemerintah Hong Kong juga akan membuka platform dialog guna mengatasi persoalan yang membuat adanya rasa ketidakpuasan di masyarakat. Pemerintah akan menyoroti permasalahan yang ada di bidang ekonomi, sosial, dan politik serta tantangan yang dihadapi kaum muda.
Klaim bahwa Beijing mendukung Lam berbeda dengan hasil laporan Reuters pada 30 Agustus 2019. Tiga pejabat dari Hong Kong dan China, dengan syarat identitas mereka tetap anonim, mengatakan, China telah menolak usulan Lam untuk menarik RUU Ekstradisi pada sekitar Juni 2019.
Dalam konferensi pers, Lam berulang kali menolak menjawab secara langsung mengapa penarikan RUU Ekstradisi baru terwujud sekarang. Padahal, aksi protes telah berlangsung selama tiga bulan dan kerap berakhir dengan kekerasan sehingga membuat Pemerintah Hong Kong menunda proses amendemen RUU Ekstradisi pada pertengahan Juni 2019.
"Tidak tepat untuk menggambarkan keputusan ini sebagai perubahan pikiran pemerintah. Sejauh yang diketahui, tidak ada rencana untuk melanjutkan RUU itu,” tutur Lam.
Pemerintah Hong Kong secara resmi menarik RUU Ekstradisi yang sebelumnya ditunda pada Rabu (4/9/2019). Penarikan RUU Ekstradisi membuat indeks Hang Seng naik 0,4 persen pada pertengahan hari Kamis (5/9/2019).
Keputusan itu memenuhi satu dari lima tuntutan utama para pengunjuk rasa pro-demokrasi. Tuntutan lainnya adalah penarikan sebutan perusuh kepada para pengunjuk rasa, pembebasan ribuan pengunjuk rasa yang ditahan polisi, penyelidikan independen terhadap kekerasan polisi, dan pemberian hak memilih pemimpin bagi warga Hong Kong.
Media China, China Daily melalui tajuk rencana menuliskan, penarikan RUU Ekstradisi seharusnya membuat pengunjuk rasa tidak lagi melanjutkan aksi kekerasan. Adapun Beijing kerap merujuk unjuk rasa sebagai aksi kekerasan.
Aksi berlanjut
Sejumlah pihak menilai keputusan tersebut merupakan langkah yang terlambat untuk meredakan situasi di Hong Kong. Ribuan pengunjuk rasa tetap melakukan aksi pasca pengumuman penarikan RUU Ekstradisi. Mereka meneriakkan “Lima tuntutan utama, tidak kurang dari itu”.
Para pelajar juga melakukan aksi protes di luar sejumlah sekolah pada Kamis (5/9/2019). Mereka berpegangan tangan membentuk rantai manusia untuk menunjukkan dukungan kepada pengunjuk rasa yang ditahan pemerintah.
Ribuan pengunjuk rasa tetap melakukan aksi pasca pengumuman penarikan RUU Ekstradisi. Mereka meneriakkan “Lima tuntutan utama, tidak kurang dari itu”.
Para pengunjuk rasa kembali berencana untuk melakukan aksi unjuk rasa di Bandara Internasional Hong Kong, Sabtu (7/9/2019). Mereka ingin semua tuntutan dipenuhi pemerintah, terutama mengenai penyelidikan independen dari kekerasan polisi.
Lebih dari 1.100 pengunjuk rasa ditahan sejak aksi unjuk rasa berlangsung pada Juni 2019. “Kami semua menderita akibat bencana kemanusiaan yang disebabkan oleh pemerintah dan kepolisian," kata Wong, salah satu pengunjuk rasa di Hong Kong University.
Dalam konferensi pers, Lam menyatakan, penyelidikan independen tidak diperlukan karena Hong Kong memiliki Komisi Pengawas Kepolisian (IPCC). IPCC dinyatakan akan bersikap tidak memihak.
Aksi unjuk pro-demokrasi selama tiga bulan terakhir menjadi tantangan terbesar bagi Presiden China Xi Jinping sejak menjabat pada 2012. Hong Kong diserahkan ke China oleh Inggris pada 1997. Dalam kesepakatan penyerahan, Hong Kong menganut sistem pemerintahan yang berbeda dengan China selama 50 tahun ke depan.
Namun, pengaruh Beijing dalam pemerintahan Hong Kong dinilai terus menguat selama beberapa tahun terakhir. Mereka semakin khawatir ketika Pemerintah Hong Kong mengusulkan RUU Ekstradisi yang dapat mengirim warga ke China jika disetujui Dewan Legislatif. (REUTER/AP)