Divonis 8 Tahun Penjara, Khamami Tak Akui Kesalahan
Bupati Mesuji nonaktif Khamami divonis hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 5 bulan kurungan. Salah satu hal yang memberatkan karena Khamami tidak mengakui perbuatannya.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Provinsi Lampung menjatuhkan vonis kepada Bupati Mesuji nonaktif Khamami dengan hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 5 bulan kurungan. Salah satu hal yang memberatkan karena Khamami tidak mengakui perbuatannya.
Selain vonis 8 tahun penjara, hak politik Khamami juga dicabut selama empat tahun dan diwajibkan membayar uang pengganti Rp 300 juta. Vonis tersebut dibacakan Ketua Majelis Hakim Siti Insirah dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Provinsi Lampung, di Bandar Lampung, Kamis (5/9/2019).
“Terdakwa sebagai kepala daerah dengan kewenangan yang dimiliki seharusnya berperan aktif mencegah praktik korupsi. Namun, terdakwa justru terlibat dalam praktik korupsi,” kata Siti.
Hal lain yang memberatkan, terdakwa tidak mendukung upaya pemerintah dalam memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Selain itu, terdakwa juga tidak mengakui perbuatannya. Adapun hal-hal yang meringankan, terdakwa bersikap sopan selama persidangan dan masih mempunyai tanggungan.
Hal lain yang memberatkan, terdakwa tidak mendukung upaya pemerintah dalam memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Selain itu, terdakwa juga tidak mengakui perbuatannya.
Majelis hakim menilai, Khamami terbukti melanggar Pasal 12 Huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1991 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 65 Ayat 1 KUHP. Putusan itu sesuai dengan tuntutan jaksa KPK.
Terhadap putusan itu, Khamami dan tim kuasa hukumnya menyatakan pikir-pikir. Juru bicara Kuasa Hukum Khamami, Firdaus Barus menyayangkan putusan majelis hakim yang tidak mempertimbangkan pembelaan Khamami.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai Khamami terbukti menerima suap Rp 1,58 miliar terkait penetapan proyek pekerjaan di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kabupaten Mesuji. Uang itu didapat dari rekanan swasta yang memenangi tender dan dikumpulkan Sekretaris Dinas PUPR Mesuji Wawan Suhendra.
Selain mengatur proyek untuk rekanan tertentu, Khamami juga memberikan proyek untuk Taufik Hidayat, adik kandungnya. Proyek itu diberikan meskipun Taufik tidak memiliki perusahaan yang mampu menangani proyek pembangunan.
Pada sidang yang sama, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Provinsi Lampung juga menjatuhkan vonis hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan kepada Taufik Hidayat Adapun pada sidang terpisah, majelis hakim memberi vonis 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan terhadap Wawan Suhendra.
KPK akan mendalami keterlibatan pihak lain dalam kasus korupsi di Mesuji. Jika cukup bukti, kemungkinan ada tersangka lain yang dapat diproses secara hukum.
Selama persidangan, Wawan dan Taufik bersikap koperatif, sopan, dan mau mengakui perbuatannya. Namun, hal yang memberatkan, terdakwa dinilai tidak mendukung upaya pemerintah memberantas KKN.
Sementara itu, jaksa KPK Wawan Yunarwanto mengungkapkan, pihaknya akan mendalami keterlibatan pihak lain dalam kasus korupsi di Mesuji. Jika cukup bukti, kemungkinan ada tersangka lain yang dapat diproses secara hukum.
Khamami merupakan kepala daerah ketiga di Lampung yang terjaring operasi tangkap tangan KPK dalam satu tahun terakhir. Sebelumnya, KPK menangkap Bupati nonaktif Lampung Tengah Mustafa dan Bupati nonaktif Lampung Selatan Zainudin Hasan. Pada 2016, mantan Bupati Tanggamus Bambang Kurniawan juga ditangkap KPK setelah ada laporan gratifikasi dari sejumlah anggota DPRD Tanggamus.
Pengamat hukum dari Universitas Lampung, Rudy, menilai, banyaknya kepala daerah di Lampung yang terjaring operasi tangkap tangan KPK, menujukkan banyak pejabat tidak berusaha menghindari praktik korupsi. "Ini mencerminkan bahwa korupsi sudah massif dan dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan di pemerintahan," katanya.
Dia menilai, kepala daerah yang terjerat kasus korupsi umumnya merupakan tokoh yang memiliki pengaruh kuat di politik dan pemerintahan. Pengaruh itulah yang disalahgunakan untuk menekan bawahan dan rekanan agar menuruti kemauannya.
Tingginya biaya politik juga turut memicu banyak kepala daerah yang melakukan korupsi. Dengan kewenangan yang dimiliki, mereka berupaya mencari uang untuk mengembalikan modal dan ongkos politik selama menjabat.