Penegakan hukum oleh aparat terhadap pengemudi yang lalai di jalan raya tidak akan efektif jika tidak diikuti dengan edukasi dan perlindungan hukum.
PURWAKARTA, KOMPAS Dua pengemudi truk ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kecelakaan maut di Kilometer 91 Jalan Tol Purwakarta-Bandung-Cileunyi, Senin (2/9/2019). Namun, penegakan hukum bagi pengemudi yang lalai dinilai tidak cukup. Sebagai ujung tombak keselamatan di jalan, pengemudi perlu diedukasi dan dilindungi saat berkendara.
Menurut Kepala Bidang Humas Polda Jawa Barat Komisaris Besar Trunoyudo Wisnu Andiko di Purwakarta, Rabu, Dedi Hidayat (45) dan Subana (40) resmi menjadi tersangka. Mereka diduga lalai mengemudikan kendaraannya sehingga memicu kecelakaan yang melibatkan 20 kendaraan dan menewaskan delapan orang. Keduanya juga diduga mengangkut muatan melebihi batas maksimal.
Tersangka Subana dan Dedi saling mengenal dan, saat kejadian, keduanya memuat tanah dari Cianjur menuju Karawang. Meski ada dua tersangka, pemeriksaan hanya dilakukan terhadap Subana karena Dedi tewas di tempat kejadian.
Kepala Polres Purwakarta Ajun Komisaris Besar Matrius menyebutkan, para tersangka tidak bisa mengendalikan truk saat melintasi jalan menurun. Hasil olah tempat kejadian perkara, sistem transmisi truk berada di gigi enam atau gigi maksimal. Muatan tanah dalam truk saat itu diduga 37 ton, sedangkan kapasitasnya hanya 24 ton. Kelebihan muatan itu memicu sistem pengereman truk terhambat.
”Tersangka masih mungkin bertambah. Kami akan mengusut orang yang memberi perintah kepada tersangka mengangkut muatan melebihi kapasitas,” kata Matrius. Ketua Himpunan Profesi Pengemudi Indonesia (HPPI) DPD Jawa Barat Eddy Suzendi sepakat penegakan hukum bagi pengemudi yang lalai dinilai tidak cukup mencegah peristiwa serupa berulang. Sebagai ujung tombak keselamatan di jalan, pengemudi perlu mendapatkan edukasi dan perlindungan dalam berkendara.
”Selama ini, pengemudi kerap disalahkan dan menjadi tersangka karena dianggap lalai. Padahal, banyak pihak berperan untuk mencegah kecelakaan. Dalam kecelakaan di Purbaleunyi, ada orang yang meminta sopir membawa muatan berlebih,” ujar Eddy di Cirebon.
Lembaga edukasi
Ke depan, edukasi keselamatan berkendara perlu diberikan kepada sopir. Peran itu seharusnya dilakukan dinas perhubungan daerah dan HPPI. Selama ini, dinas perhubungan dinilai hanya fokus pada kelaikan kendaraan, seperti uji kir berkala.
Di sisi lain, secara regulasi, pengemudi belum terlindungi. Dalam kasus muatan berlebih, pengemudi seharusnya memiliki hak menolak mengoperasikan kendaraan. Ketentuan itu harus ada dalam perjanjian kerja pengemudi, pemilik kendaraan, dan pemilik barang.
”Dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang, nakhoda bisa menolak berangkat jika muatan kapal berlebih. Sayang, di angkutan darat, sopir belum dilibatkan dalam perjanjian kerja,” ujar Eddy. Perusahaan angkutan memiliki tanggung jawab melindungi pengemudi. Selama ini perusahaan angkutan dinilai menerapkan sistem setoran. Akibatnya, pengemudi mengejar target dan mengabaikan kondisi fisiknya. (IKI/MEL)