Setelah gagal menguasai parlemen, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, Rabu (4/9/2019), mengusulkan percepatan pemilu pada 15 Oktober. Namun, usulan itu hanya bisa lolos jika didukung oleh kubu oposisi.
Oleh
·3 menit baca
Kegagalan PM Inggris Boris Johnson mengontrol parlemen mengantar pada ”pertempuran” baru. Ia mengusulkan pemilu pada 15 Oktober.
LONDON, RABU — Setelah gagal menguasai parlemen, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, Rabu (4/9/2019), mengusulkan percepatan pemilu pada 15 Oktober. Namun, usulan itu hanya bisa lolos jika didukung oleh kubu oposisi.
Setelah membuat berang parlemen Inggris dengan menskors masa sidang parlemen selama lima pekan sampai 14 Oktober, Johnson merasakan akibatnya pada Selasa (3/9) malam. Sebanyak 21 anggota parlemen dari Partai Konservatif beraliansi dengan kubu oposisi (Partai Buruh, Liberal Demokrat, dan Partai Nasional Skotlandia) memblokade rencana Johnson membawa Inggris keluar Uni Eropa (UE) tanpa kesepakatan.
Dalam voting di parlemen, sebanyak 328 suara mendukung agar Brexit terjadi dengan kesepakatan, sedangkan 301 suara menentang. Hal ini merupakan hasil optimum yang bisa diraih Johnson di parlemen karena Konservatif kini telah kehilangan working majority, posisi di mana pemerintah tidak lagi memiliki keunggulan mayoritas untuk meloloskan agendanya di parlemen.
Johnson sebelumnya mengancam akan memecat para pembangkang di Konservatif yang menentang langkah pemerintah. Mereka tidak hanya akan dipecat sebagai anggota parlemen, tetapi juga sebagai anggota partai. Namun, nyatanya, 21 orang bergeming dengan alasan mereka lebih mendahulukan kepentingan negara daripada kepentingan partai.
Di antara para pembangkang tersebut, ada tokoh senior Konservatif, Ken Clarke, yang merupakan anggota parlemen dengan masa kerja terpanjang; Nicholas Soames, cucu dari Winston Churchill; dan mantan Menteri Keuangan Inggris, Philip Hammond.
Melalui Twitter, mantan Pemimpin Konservatif di Skotlandia, Ruth Davidson, yang mundur karena tidak menyetujui langkah Johnson, menulis, ”Bagaimana mungkin tak ada tempat lagi di Partai Konservatif bagi @NSoames?”
Sejumlah media terkemuka juga menyoroti kekalahan Johnson di parlemen sebagai berita utama.
Peran buruh
Untuk mempercepat pemilu, PM Johnson membutuhkan dukungan dari dua pertiga suara di parlemen. Dari 650 kursi parlemen, koalisi Konservatif dan Partai DUP saat ini hanya meraih 325 kursi setelah satu anggota Konservatif pada pekan lalu membelot ke Liberal Demokrat dan satu lagi kalah dalam pemilu sela. Ditambah 21 anggota Konservatif yang dipecat, sulit bagi Johnson untuk mengegolkan manuvernya.
Dalam debat di parlemen, Rabu, Johnson menantang Pemimpin Partai Buruh Jeremy Corbyn mendukung pemilu pada 15 Oktober. ”Pemerintahan ini ingin membawa Inggris keluar dari Uni Eropa pada 31 Oktober. Hanya satu yang menghalangi kita, yaitu ’RUU Menyerah’ yang diusulkan oleh pimpinan oposisi,” kata Johnson.
Kubu oposisi solid dalam menghadapi manuver Johnson. Jeremy Corbyn menegaskan, Buruh akan mendukung pemilu jika RUU untuk mencegah Brexit tanpa kesepakatan disahkan terlebih dulu. Buruh menegaskan tak ingin agenda Brexit tanpa kesepakatan ”diselundupkan” melalui pemilu.
”Kami tidak akan ’menari’ dalam ’gendang’ lawan. Sangat mudah ditebak langkah apa yang akan dilakukannya (Johnson). Ia ingin menggagalkan RUU ini dan membuat kita tak bisa menyelesaikannya menjadi UU,” kata tokoh Partai Buruh, Keir Starmer.
Johnson berniat mempercepat pemilu untuk membersihkan parlemen dari para penentangnya sehingga opsi Brexit tanpa kesepakatan bisa mulus dijalankan tanpa hambatan dari parlemen.
Sama kuat
The Conversation yang mengkaji 138 jajak pendapat yang dilaksanakan sepanjang November 2018-Agustus 2019 menemukan, jika pemilu dilakukan pada hari ini, Partai Konservatif akan meraih suara terbanyak (34 persen), Partai Buruh 23 persen, Liberal Demokrat 19 persen, Partai Brexit 14 persen, Partai Hijau 5 persen.
Jika digabungkan, pendukung Brexit tanpa kesepakatan berjumlah 48 persen, dan Brexit dengan kesepakatan 47 persen. Dengan demikian, kondisi saat ini hampir tidak berbeda dengan kondisi ketika dilaksanakan referendum pada 2016, yaitu selisih pendukung UE dan pendukung Brexit hampir sama kuat.
Kurs mata uang pound sterling menguat 1 persen pasca- kemenangan parlemen setelah jatuh ke level terendah sejak 2016 pada Selasa. Pound diperkirakan menguat 6 persen terhadap euro jika Brexit terjadi dengan kesepakatan.