Kekeringan menyebabkan biaya operasional penanaman padi pada musim gadu ini di Jawa Tengah meningkat. Sementara, hasil panen juga tidak optimal. Akibatnya, pendapatan petani tergerus, bahkan ada yang sampai merugi.
Oleh
KRISTI UTAMI
·3 menit baca
TEGAL, KOMPAS - Kekeringan menyebabkan biaya operasional penanaman padi pada musim gadu ini meningkat. Sementara, hasil panen juga tidak optimal. Akibatnya, pendapatan petani tergerus, bahkan ada yang sampai merugi.
Ketua Persatuan Perusahaan Penggilingan Padi (Perpadi) Jawa Tengah Tulus Budiono, saat dimintai pendapatnya soal dampak kekeringan terhadap hasil pertanian, Jumat (6/9/2019), mengatakan, sebagian petani padi di Jateng mengalami penurunan keuntungan 5-10 persen.
"Penurunan keuntungan itu akibat adanya tambahan biaya untuk keperluan pengairan, seperti pembelian mesin pompa, pembelian bahan bakar untuk mesin pompa, dan penambahan jumlah tenaga kerja yang menjaga pengairan," kata Tulus.
Menurut Tulus, biaya produksi padi saat normal sekitar Rp 1,5 juta-Rp 2 juta per hektar. Adapun, biaya produksi padi saat kekeringan sebesar Rp 2,5 juta-Rp 3 juta per hektar.
Rofi (48), petani di Tegal, Jateng, membenarkan bahwa kekeringan menyebabkan keuntungan pada musim panen gadu ini menurun. Selain karena biaya produksi yang meningkat, pengurangan keuntungan terjadi karena hasil panen padinya tidak maksimal.
Biasanya, Rofi mampu memanen hingga 7 ton per hektar. Saat kekeringan, hasil panennya turun menjadi 4 ton per hektar. Tak hanya jumlahnya yang berkurang, kualitas padi juga menurun.
Jika dibandingkan dengan hasil panen pada Maret lalu, ukuran beras yang dipanen Rofi saat ini lebih kecil. Hal itu disebabkan kurangnya pasokan air di sawah. Padahal, dia mengaku sudah mengeluarkan biaya ekstra untuk keperluan pengairan.
Kekeringan tak hanya mengakibatkan penurunan keuntungan, sejumlah petani bahkan merugi. Salah satunya Kartubi (63), petani asal Kelurahan Simpangan, Kecamatan Pemalang, Kabupaten Pemalang. "Biaya produksi yang saya keluarkan sekitar Rp 12 juta. Sementara itu, hasil panen yang saya dapatkan Rp 8 juta," ujar Kartubi.
Pada musim gadu kali ini, sawah seluas 1 hektar milik Kartubi hanya menghasilkan sekitar 2 ton beras. Padahal, pada panen Februari lalu, sawahnya bisa menghasilkan hingga 6 ton beras.
Pasokan turun
Menurunnya jumlah pasokan beras dari petani berimbas pada stok beras di pedagang pasar. Sukabti (55), pedagang di Pasar Kejambon, Kecamatan Tegal Selatan, Kota Tegal, mengaku, pasokan beras yang ia terima dari petani saat ini anjlok dibanding pada Juni lalu.
"Biasanya, ada pasokan sebanyak 8 kuintal per minggu. Sejak Juli sampai September ini, jumlahnya terus merosot. Pekan pertama September saya cuma dapat pasokan sekitar 4 kuintal beras per minggu," ucap Sukabti.
Menurut Sukabti, akibat pasokan yang minim tersebut, harga beras merangkak naik. Harga beras medium pada Agustus lalu Rp 10.000 per kilogram. Pekan pertama September, harganya Rp 10.500 per kilogram.
Kenaikan harga juga terjadi pada beras premium. Dari harga Rp 11.500 per kilogram pada Agustus, menjadi Rp 12.000 per kilogram pada pekan pertama September ini.