Nasib Industri Manufaktur Bergantung pada Stimulus Pemerintah
Pelaku industri manufaktur berbasis ekspor berharap transmisi suku bunga kebijakan bergerak lebih cepat sehingga bunga kredit bisa lebih rendah.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku industri manufaktur berbasis ekspor berharap transmisi suku bunga kebijakan bergerak lebih cepat sehingga bunga kredit bisa lebih rendah. Untuk meningkatkan kapasitas, industri tetap akan bergantung pada stimulus fiskal dan non-fiskal pemerintah.
Bank Indonesia menilai terdapat tiga sektor industri manufaktur yang mempunyai kekuatan untuk mendorong ekspor, yakni sektor industri alas kaki, kulit, dan barang dari kulit; sektor industri tekstil dan produk tekstil; serta sektor industri otomotif.
Ketiga sektor ini dinilai memiliki daya saing paling kuat untuk berkompetisi di pasar global sehingga pemerintah menyiapkan bauran kebijakan moneter, fiskal, dan non-fiskal untuk memenuhi kebutuhan industri.
Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia Firman Bakrie menilai, pelonggaran moneter berupa pemangkasan suku bunga acuan belum terlalu berdampak signifikan terhadap pelonggaran beban bunga kredit bagi industri.
”Rata-rata suku bunga kredit korporasi perbankan nasional masih di atas dua digit. Tingkat bunga ini masih cukup memberatkan bagi industri,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (5/9/2019).
Pelonggaran moneter berupa pemangkasan suku bunga acuan belum terlalu berdampak signifikan terhadap pelonggaran beban bunga kredit bagi industri.
Sebagai pembanding, berdasarkan data Suku Bunga Dasar Kredit Otoritas Jasa Keuangan, tingkat bunga kredit korporasi bank nasional per Mei 2019 berada di kisaran 9,75-14,17 persen.
Posisi bunga kredit tersebut, menurut Firman, belum mengalami penurunan meski suku bunga acuan BI sudah dua kali dipangkas pada Juli dan Agustus masing-masing sebesar 25 basis poin. Saat ini, suku bunga acuan 7 Days Reverse Repo Rate (7DRRR) berada di level 5,5 persen.
Menurut Firman, industri alas kaki juga membutuhkan pasokan bahan baku lokal dengan kualitas yang berorientasi ekspor. Firman mengakui, 60 persen kebutuhan bahan baku dipenuhi dari impor.
”Dalam konteks ini, bahan baku industri orientasi ekspor membutuhkan kemampuan industri bahan baku lokal untuk menembus global value chain. Saat ini ada yang terputus antara industri manufaktur dan bahan baku,” ujarnya.
Firman berharap bentuk insentif fiskal super deduction tax di bawah payung Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2019 bisa berdampak positif dalam membangun sumber daya manusia di sektor hulu hingga hilir industri alas kaki yang termasuk industri padat karya.
Dihubungi secara terpisah, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat Usman menanggapi dingin rancangan program prioritas industri tekstil dari pemerintah. Di luar tingkat suku bunga yang tinggi, industri tekstil masih harus menghadapi gempuran produk impor yang terus membanjiri pasar dalam negeri.
Menurut Ade, jika harga kain dalam negeri dianggap mahal, perusahaan konveksi akan lebih memilih untuk mengimpor kain dari China. Terlebih, bea masuk impor kain adalah 0 persen atau bebas bea masuk.
”Pelaku industri berpikir, untuk apa harus memproduksi kain kalau bea masuk impor kain hanya 0 persen. Lebih baik kainnya impor karena lebih murah. Kondisi ini cepat atau lambat berdampak negatif ke sektor hulu,” ujarnya.
Ade menilai, selain memberikan stimulus moneter dan fiskal, pemerintah juga perlu menahan gempuran produk tekstil impor yang terus membanjiri pasar dengan segera menerapkan safeguard atau perlindungan perdagangan.
”Harusnya pemerintah berani mengambil inisiatif dengan safeguard tekstil seperti di Turki, Brasil, dan India. Perlu ada action plan dengan melakukan penyelidikan, bahkan ini bukan hanya sektor tekstil, melainkan juga semua sektor,” kata Ade.
Untuk mendorong kinerja ekspor industri manufaktur, Ade menyarankan pemerintah untuk memperbanyak kerja sama bilateral antara pemerintah Indonesia dan pemerintah di negara-negara tujuan ekspor produk manufaktur.
Mewakili sektor otomotif, Direktur PT Astra International Tbk Gidion Hasan mengatakan, pemerintah perlu melakukan harmonisasi tarif, khususnya terkait dengan produk impor untuk sektor otomotif. ”Hambatan tarifnya terlalu rendah sehingga impor komponen otomotif mengalir deras,” ujarnya.
Selain itu, perlu juga ada sinkronisasi terkait daftar negatif investasi asing di sektor otomotif dan sektor pendukung. Menurut dia, aliran investasi mesti difokuskan pada investor asing yang membawa teknologi baru ke Indonesia, seperti contohnya produksi baterai kendaraan listrik.
Terkait ekspor, Gidio menilai, terdapat ketidakcocokan antara ekspor mobil Indonesia dan permintaan mobil dunia. Hingga saat ini, basis ekspor mobil Indonesia sebagian besar adalah jenis multi-purpose vehicle yang berbadan besar dan memuat banyak orang. Sementara permintaan pasar dunia adalah jenis sedan.
”Pangsa pasar mobil sedan di Indonesia saat ini hanya sekitar 1 persen sehingga akan sangat sulit bagi Indonesia untuk mengekspor mobil lebih banyak,” kata Gidion.