Presiden disarankan untuk berhati-hati serta tidak terburu-buru menyetujui pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diusulkan Dewan Perwakilan Rakyat.
Oleh
Anita Yossihara
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo disarankan untuk berhati-hati serta tidak terburu-buru menyetujui pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diusulkan Dewan Perwakilan Rakyat. Tak hanya merusak citra Presiden Jokowi, persetujuan untuk merevisi UU KPK juga dikhawatirkan akan mengancam upaya pemberantasan korupsi serta terbentuknya kehidupan bangsa yang berintegritas.
Saran itu salah satunya disampaikan pengajar komunikasi politik Universitas Paramadina, Jakarta, Hendri Satrio, di Jakarta, Kamis (5/9/2019). Menurut dia, sebenarnya sejak awal pemerintahan, citra Jokowi dalam pemberantasan korupsi masih perlu dibenahi. Karena itu, persetujuan untuk mengubah UU KPK akan membuat citra Jokowi dalam pemberantasan korupsi memburuk.
”Karena itu, untuk urusan KPK ini, Presiden Jokowi harus benar-benar berhati-hati sekali, karena urusannya bukan hanya citra beliau, tetapi juga bagaimana masyarakat Indonesia bisa melanjutkan kehidupan berbangsa dan bernegara dengan berintegritas, bebas dari korupsi,” kata Hendri.
Kemarin, Rapat Paripurna DPR memutuskan RUU perubahan atas UU KPK menjadi RUU inisiatif DPR. Usulan RUU KPK itu, menurut rencana, akan segera diajukan kepada pemerintah dan diharapkan Presiden Jokowi bisa secepatnya menerbitkan surat persetujuan serta perintah pembahasan tingkat satu bersama DPR.
Melihat dampak perubahan UU KPK yang kurang baik, Hendri menyarankan agar Presiden Jokowi tidak terburu-buru menerima usulan DPR untuk mengubah UU KPK. Akan lebih baik jika Presiden Jokowi mengkaji kembali draf RUU KPK usulan DPR sebelum memutuskan untuk melanjutkan pembahasan. Tak hanya itu, pemerintah juga selayaknya meminta masukan dari para ahli.
Hal utama yang harus dipertimbangkan dalam memutuskan revisi UU KPK adalah pemberantasan korupsi di Indonesia harus tetap dilanjutkan. Selain itu, marwah KPK juga harus tetap dijaga.
Janggal
Saran agar Presiden Jokowi tidak mengeluarkan surat presiden terkait pembahasan RUU KPK juga disampaikan Direktur Jaringan dan Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Fajri Nursyamsi. Sebab, tak hanya penuh kejanggalan, pengesahan RUU KPK sebagai usul inisiatif DPR juga melanggar ketentuan perundang-undangan.
”Pengesahan itu melanggar hukum karena RUU KPK tidak termasuk dalam RUU prioritas Program Legislasi Nasional 2019 yang sudah disepakati bersama DPR dan pemerintah,” kata Fajri.
Jika merujuk Pasal 45 Ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, RUU yang disusun ataupun dibahas harus berdasarkan prolegnas. Ketentuan itu pun diatur dalam Tata Tertib DPR Pasal 65 huruf d yang menyatakan Badan Legislasi (Baleg) bertugas menyiapkan dan menyusun RUU usul Baleg dan/atau anggota Baleg berdasarkan program prioritas yang sudah ditetapkan.
Selain itu, tata tertib DPR juga mengatur Baleg bertugas memberikan pertimbangan terhadap RUU yang diajukan anggota DPR, komisi, atau gabungan komisi di luar prioritas RUU atau di luar RUU yang terdaftar dalam prolegnas untuk dimasukkan ke dalam prolegnas perubahan (Pasal 65 huruf f). Karena itu, semestinya DPR dan pemerintah terlebih dahulu mengesahkan prolegnas perubahan untuk memasukkan RUU KPK sebagai prioritas.
Merujuk pada ketentuan-ketentuan itu, PSHK menilai DPR melanggar UU dan tata tertib yang mereka buat sendiri. Karena itu, tidak sepatutnya Presiden Jokowi menyetujui pembahasan RUU KPK yang cacat prosedur dan melanggar hukum.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.