Presiden memiliki kewenangan penuh menentukan dan memilih menteri yang akan membantunya bekerja di dalam sistem pemerintahan presidensial.
Oleh
Rini Kustiasih
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden memiliki kewenangan penuh menentukan dan memilih menteri yang akan membantunya bekerja di dalam sistem pemerintahan presidensial. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan kepentingan partai politik anggota koalisi yang mengusulkan nama-nama calon menteri, hal itu tidak boleh menghilangkan hak prerogratif presiden dalam memilih menterinya.
Konferensi Nasional Hukum Tata Negara (KNHTN) ke-6 yang berlangsung di Jakarta, 2-3 September 2019, antara lain merekomendasikan sejumlah hal berkaitan dengan desain pemilu, sistem kepartaian, sistem perwakilan, dan sistem pemerintahan. Sejumlah rekomendasi konkret membahas soal desain, postur, dan proses pembentukan kabinet yang sesuai dengan sistem presidensial berdasarkan konstitusi.
Ketua Panitia KNHTN ke-6 Bivitri Susanti mengatakan, tidak dapat dimungkiri, ada tarikan kepentingan antara parpol koalisi dan presiden dalam menentukan menteri. Meski demikian, bukan berarti presiden akan kehilangan kewenangan karena itu. Pemilihan menteri tetap menjadi hak prerogratif presiden.
Untuk mengatasi hubungannya dengan parpol koalisi, presiden perlu menentukan kualifikasinya sehingga orang-orang dari paprol yang diuusulkan kepadanya bisa diukur kepatutannya menggunakan syarat atau kualifikasi yang telah ditentukan oleh presiden itu.
Dengan kualifikasi yang ditentukan presiden, parpol tidak bisa memaksakan kehendaknya kepada presiden untuk nama-nama tertentu agar dipilih menjadi menteri. Kualifikasi yang ditetapkan presiden menjadi tolok ukur bagi presien untuk melihat apakah nama-nama yang diusulkan kepadanya oleh parpol itu sesuai dengan kebutuhannya.
Selain itu, KNHTN juga mengusulkan agar UU Kementerian Negara ditinjau kembali dengan memerhatikan perlu tidaknya posisi menteri koordinator dalam bidang-bidang tertentu. Keberadaan menko selama ini membuat postur kabinet relatif gemuk. Bahkan, apabila merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945 hanya 12 menteri yang disebutkan eksplisit dan tidak ada satu pun di antaranya yang menyebutkan posisi menteri koordinator.
”Menko harus ditinjau efektivitasnya. Secara konstitusional, tidak ada keharusan bagi presiden untuk tetap mempertahankan kementerian koordinator. Sebab, kehadiran menko hanya didasarkan pada ketentuan Pasal 14 UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara,” kata Bivitri.
Pengajar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, menambahkan, koordinasi antarkementerian perlu diperbaiki dan kembali menempatkan menteri sebagai pembantu presiden. Selama ini, tidak jarang ada kebijakan menteri yang tidak sejalan dengan kebijakan presiden. Akibatnya, kebijakan yang bertolak belakang itu menimbulkan inkonsistensi di dalam tubuh pemerintahan.
Dalam sistem presidensial, presiden adalah pemegang kekuasaan sehingga tidak masalah apabila beban pemerintahan yang lebih besar ada di tangan presiden.
Selain itu, untuk pemilihan dan pengangkatan jabatan di ranah eksekutif, seperti Kapolri, serta pelaksanaan wewenang eksekutif lainnya, seperti amnesti dan abolisi, menurut Zainal, seharusnya tidak memerlukan persetujuan atau pertimbangan DPR.