Setelah regulasi diteken, sederet kegiatan mengenalkan kendaraan listrik digelar secara maraton. Masyarakat antusias menghadapi era baru sektor otomotif nasional.
Oleh
C ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
Ruang Kartika Expo di Balai Kartini, Jakarta, pada 4-5 September 2019 ramai dijejali pengunjung Indonesia Electric Motor Show (IEMS) 2019. Mereka tampak antusias mengamati berbagai kendaraan listrik murni baterai, hibrida, plug-in hybrid, hingga fuel cell yang ditampilkan di ajang itu.
Sebanyak 45 peserta mulai dari kementerian, BUMN, perguruan tinggi, industri komponen pendukung, hingga pelaku industri otomotif luar dan dalam negeri memajang teknologi dan produknya.
Mereka antara lain PT SGMW Motor Indonesia (Wuling Motor), PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, PT Toyota Astra Motor, PT Mitsubishi Motors Krama Yudha Sales Indonesia, dan PT Nissan Motor Distributor Indonesia. Demikian pula Gesits, PT Sokonindo Automobile (DFSK), PT Hino Motor Sales Indonesia, dan Tesla.
Ada di antara kendaraan yang dipamerkan, baik sepeda motor listrik maupun mobil, ada yang terjual atau mulai dipesan. Ada pula yang belum dirilis dan baru dikenalkan kepada masyarakat. Harganya sekitar Rp 25 juta untuk sepeda motor dan hingga Rp 1,5 miliar lebih untuk mobil.
Pengunjung datang dari berbagai kalangan. Motivasinya melihat pameran atau mengikuti seminar. Namun, ada jawaban yang senada yang disampaikan beberapa pengunjung, yakni penasaran ingin melihat perkembangan kendaraan listrik di Indonesia.
”Saya sih lebih tertarik ke perkembangan teknologi dan kesiapan Indonesia, apakah akan jadi penonton dan penikmat mobil listrik dari luar negeri atau akan mampu pula jadi produsen,” kata Akbar Darmawan, karyawan swasta.
Menurut Akbar, seberapa besar populasi kendaraan listrik di Indonesia nantinya tergantung animo masyarakat. Sementara animo masyarakat akan bergantung harga kendaraan dan ketersediaan infrastrukturnya. Kalau harga terlalu tinggi, kuantitas kendaraan listrik yang beredar berpotensi sedikit.
”Isu lingkungan seperti emisi jadi perhatian calon pembeli yang terdidik. Untuk populasi (kendaraan) secara umum masih akan melihat harga,” kata Akbar.
Harga kendaraan listrik, terutama murni baterai (battery electric vehicle) yang masih mahal, juga disuarakan sejumlah pengunjung. Hal ini menjadi salah tantangan yang harus diselesaikan agar kendaraan listrik berkembang di Indonesia.
Akbar berharap Indonesia mempunyai pabrik kendaraan bermotor listrik sendiri. Apalagi, selain sumber bahan baku baterai, Indonesia pun memiliki banyak talenta sumber daya manusia.
Franky Setiawan, pegiat komunitas penggemar sepeda dan motor listrik, berpendapat, seharusnya Indonesia bisa menjadi produsen kendaraan listrik. ”Sekarang tergantung pemerintah, lewat regulasinya, mau dibawa ke mana,” kata Franky.
Menurut Supramto, pegawai BUMN, kelemahan yang harus diatasi saat ini adalah keterbatasan infrastruktur pengisian baterai kendaraan bermotor listrik. Di sisi lain, pengisian baterai masih membutuhkan waktu jauh lebih lama dibanding pengisian bahan bakar minyak ke kendaraan. Selain penurunan harga baterai, kemampuan mengelola limbah baterai juga jadi tantangan.
Menurut Rian Wardana, mahasiswa teknik elektro, era kendaraan listrik memunculkan optimisme tersendiri. Indonesia bisa memproduksi listrik berbasis batubara, tenaga surya, tenaga air, dan lainnya. ”Pengembangan kendaraan listrik merupakan salah satu kunci membangun kemandirian bangsa,” kata Rian. (C ANTO SAPTOWALYONO)