Berharap Batas Minimal Usia Perkawinan 19 Tahun
Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya menyetujui untuk merevisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terkait batas usia perkawinan.
Kesepakatan DPR tentang batas minimal usia perkawinan 18 tahun diapresiasi. Meskipun begitu, sejumlah kalangan berharap batas minimal usia perkawinan 19 tahun.
Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya menyetujui untuk merevisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terkait batas usia perkawinan. Dalam Rapat Badan Legislasi DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Senin (2/9/2019), para anggota DPR menyepakati usia 18 tahun sebagai batas minimal usia perkawinan bagi perempuan dan laki-laki.
Keputusan tersebut mendapat apresiasi dari berbagai kalangan karena proses untuk revisi Undang-Undang Perkawinan terus mengalami kemajuan. Ini sesuai amanat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 13 Desember 2018 agar DPR melakukan perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 dalam waktu paling tidak tiga tahun. Apresiasi juga diberikan kepada semua anggota Panja Komisi VIII DPR karena semua menyetujui pembahasan revisi UU ini.
Dari sisi angka, langkah DPR ini dipandang memiliki semangat untuk memutus diskriminasi batas usia perkawinan yang selama ini diatur dalam UU Perkawinan yakni 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. Meskipun begitu, DPR diharapkan masih bisa mengubah angka batas minimum usia perkawinan sebagaimana juga diusulkan sejumlah fraksi di DPR, yakni usia 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan.
Langkah DPR ini dipandang memiliki semangat untuk memutus diskriminasi batas usia perkawinan yang selama ini diatur dalam UU Perkawinan, yakni 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki.
”Sebagai pemohon mendengar keputusan DPR saya sangat senang. Tapi saya agak kecewa, masak yang dinaikkan usia perempuan saja dan usia laki-laki malah jadi turun. Saya berharap kalau bisa laki-laki dan perempuan sama saja, minimal usia nikahnya 19 tahun. Saya berterima kasih kepada DPR,” ujar Rasminah (33), warga Desa Krimun, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, saat dihubungi pada Rabu (4/9/2019) petang.
Rasminah adalah satu dari tiga korban perkawinan anak yang menjadi pemohon uji materi Pasal 7 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di MK pada 2016. Pemohon uji materi UU Nomor 1/1974 lainnya, Endang Wasrinah (36), juga warga Indramayu, juga mempertanyakan soal batas minimal usia perkawinan laki-laki yang diturunkan menjadi 18 tahun.
Seperti diberitakan, MK pada 13 Desember 2018 menerima permohonan uji materi yang disampaikan Rasminah dan kawan-kawan. MK dalam putusannya menyatakan Pasal 7 Ayat (1) sepanjang frasa ”usia 16 (enam belas) tahun” UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Untuk itu, MK memerintahkan pembentuk UU dalam jangka waktu paling lama tiga tahun untuk melakukan perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974, khususnya batas minimal usia perkawinan bagi perempuan. Adapun Pasal 7 Ayat (1) dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 berbunyi, ”Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.
Harapan kepada DPR untuk mengubah batas minimal usia perkawinan untuk perempuan sebagaimana amanat putusan MK juga datang dari Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) yang mendampingi para pemohon uji materi di MK.
”Secara tersirat, putusan MK mendorong peningkatan usia minimal perkawinan perempuan sama dengan laki-laki, yaitu 19 tahun. Koalisi Perempuan Indonesia berharap masih terbuka ruang untuk membahas perubahan Pasal 7 Ayat (1) UU Perkawinan agar usia minimal perkawinan menjadi 19 tahun bagi perempuan dan laki laki,” tutur Sekretaris Jenderal KPI Dian Kartikasari.
Secara tersirat, putusan MK mendorong peningkatan usia minimal perkawinan perempuan sama dengan laki-laki, yaitu 19 tahun.
Zumrotin K Susilo, Ketua Pengurus Harian Yayasan Kesehatan Perempuan, juga mempertanyakan soal penurunan batas minimal usia perkawinan bagi laki-laki dari 19 tahun menjadi 18 tahun. ”Kenapa DPR harus mengubah usia laki-laki dari 19 tahun menjadi 18 tahun,” katanya.
Menghapus praktik perkawinan anak
Indry Oktaviani, Koordinator Koalisi 18+, yang mendampingi pemohon uji UU Perkawinan di MK menilai proses pembahasan Revisi UU Perkawinan yang dilakukan DPR saat ini menunjukkan keseriusan negara untuk menghapuskan praktik perkawinan anak sehingga menyumbang penghapusan kemiskinan dan mendorong pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Namun, dia juga berharap agar batas usia perkawinan untuk laki-laki dan perempuan tetap sama, yakni minimal 19 tahun. Pertimbangannya dari sisi pendidikan dan kecakapan hukum. Sebab, pada usia 18 tahun sangat mungkin bagi seorang laki-laki maupun perempuan masih berada di bangku kelas akhir di SMA/SMK. Selain belum menuntaskan pendidikannya, secara perdata, usia 18 tahun belum dianggap cakap.
Lenny N Rosalin, Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, juga berharap dalam pembahasan lanjutan antara tim Panitia Kerja (Panja) DPR dan Pemerintah nanti akan ada perubahan soal batas usia minimal perkawinan. ”Kalau bisa dinaikkan menjadi 19 tahun itu akan jauh lebih bagus,” ujar Lenny.
Bagi Lenny, batas minimum usia perkawinan anak sangat penting untuk mencegah perkawinan anak. Hingga kini, berbagai dampak perkawinan anak terus dirasakan, baik terhadap pendidikan, kesehatan, ekonomi, bahkan berdampak pada indeks pembangunan manusia.
Batas minimum usia perkawinan anak sangat penting untuk mencegah perkawinan anak.
”Banyak yang menikahkan anak karena sebab ekonomi. Mereka tidak paham bahaya perkawinan anak, tidak hanya pada aspek pendidikan karena drop out (putus sekolah) mempengaruhi masa depan anak, tetapi juga aspek kesehatan, dan yang paling berisiko adalah kematian bayi dan kematian ibu karena ibunya masih usia anak. Sumber daya manusia anak juga tidak akan kompetitif dalam pasar kerja karena pendidikan rendah sehingga upah rendah dan menciptakan pekerja anak,” papar Lenny.
Harapan dari pemohon uji materi dan KPI juga sejalan dengan usulan Fraksi PDI-P dan Fraksi Gerindra, yaitu batas usia minimal perkawinan 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan. Bagi kalangan DPR, proses revisi UU Perkawinan membawa semangat yang sama, yakni antidiskriminasi.
”Poinnya adalah antidiskriminasi dan semuanya (anggota DPR) ketemu di angka 19 tahun. Perempuan dan laki-laki tidak dibedakan batas usia perkawinannya,” ujar Diah Pitaloka, anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi PDI-P, Rabu (4/9/2019).
Semua harapan kini bertumpu pada DPR. Namun, proses masih berlanjut. Mari tunggu sidang pembahasan untuk Revisi UU Perkawinan antara DPR dan Pemerintah.