Tidak ada gapura penanda permukiman bernama Kampung Bengek di RW 017 Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Penyambut sebelum masuk ke kampung itu adalah jalan setapak yang becek berair kehitaman.
Oleh
J Galuh Bimantara
·4 menit baca
Kerasnya tempaan hidup di Ibu Kota membuat sebagian manusianya mampu memperlebar batas toleransinya terhadap tekanan. Di Kampung Bengek, hal itu mewujud dalam sikap cuek warganya terhadap menghamparnya sampah di sekeliling permukiman mereka. Selama masih bisa tinggal di Jakarta, berkawan dengan sampah bukan persoalan bagi para pemukim ilegal ini.
Tidak ada gapura penanda sebuah permukiman bernama Kampung Bengek di RW 017 Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Penyambut sebelum masuk ke kampung itu adalah jalan-jalan setapak yang becek oleh air berwarna hitam.
Pada salah satu akses masuk, terdapat tempat pengumpulan sampah anorganik layak jual yang dikelola Joko Purwanto, seorang pemulung. Pria 65 tahun tersebut menghentikan pembersihan gelas plastik saat Kompas datang pada Senin (2/9/2019). Ia menjadi ”pemandu tur” para awak media yang penasaran dengan kehidupan di Kampung Bengek.
Melewati celah di antara tembok beton setinggi lebih kurang 3 meter, tampaklah sebuah pemandangan yang membuat hati berkata, ”Belum ke permukiman kumuh Jakarta jika belum datang ke Kampung Bengek.” Kampung itu tepat berdampingan dengan hamparan sampah rumah tangga yang kebanyakan berbahan plastik, seperti kantong keresek dan bungkus produk tertentu. Ada pula kardus dan stirofoam.
Bahkan, ada juga rumah-rumah panggung yang berdiri di atas sampah. Joko berkisah, lahan yang ditempati kampung ini dahulu berupa empang-empang. Lalu, sampah lama-kelamaan masuk ke empang-empang itu sampai menghampar dan setiap orang yang ingin membangun rumah mematok batas di empang dengan kayu-kayu pancang.
”Ya, tanah yang banyak sampahnya itu dipancang, dibuat panggung, bikin rumah. Sistemnya begitu,” ujar ayah dari tujuh anak dan kakek dari tujuh cucu itu.
Rumah kebanyakan berupa bangunan semipermanen yang dibuat dengan memanfaatkan material-material bekas, seperti papan kayu, tripleks, asbes, dan seng. Ada pula sejumlah bangunan permanen dengan tembok dari susunan hebel (bata ringan). Akan tetapi, menurut Joko, bangunan-bangunan itu asal-muasalnya juga rumah semipermanen.
Tidak ada pengorganisasian masyarakat di Kampung Bengek. Joko bahkan tidak tahu jumlah bangunan dan luas kampung itu. Warga pun membangun rumah tanpa memperhatikan tata ruang. Akses di lingkungan hanyalah gang selebar 1 meter, di beberapa titik bahkan cuma 60 sentimeter. Tanpa dipandu Joko, masuk ke sana layaknya menembus labirin. Tak terbayangkan jika terjadi kebakaran. Namun, menurut Joko, kebakaran tidak pernah melanda kampungnya sejak pertama kali ia hidup di sana.
Koloni lalat hinggap di berbagai sudut gang dan langsung terbang ke segala arah ketika kaki melangkah. Beberapa kali aroma mirip kandang ayam tercium. Namun, dengan segala suasana itu, para ibu tetap merumpi dan anak-anak terus bermain tanpa terusik.
Koloni lalat hinggap di berbagai sudut gang dan langsung terbang ke segala arah ketika kaki melangkah. Beberapa kali aroma mirip kandang ayam tercium. Namun, dengan segala suasana itu, para ibu tetap merumpi dan anak-anak terus bermain tanpa terusik.
Meski demikian, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang akhirnya terusik, setelah media ramai memberitakan Kampung Bengek dengan hamparan sampahnya. Padahal, dari penuturan warga, kondisi itu sudah berlangsung 3-5 tahun. Petugas dari pemprov pun menggempur sampah di sana sejak Sabtu (31/8/2019), dan sudah mengangkat sekitar 160 meter kubik sampah hingga Kamis (5/9/2019) untuk selanjutnya dibawa ke Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu Bantargebang, Bekasi.
Kepala Suku Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Utara Slamet Riyadi mengatakan, pihaknya baru menggarap sampah di sana bukan karena tidak tahu, melainkan karena tidak ada laporan tentang sampah di sana. Alasannya, lahan Kampung Bengek sebenarnya milik PT Pelabuhan Indonesia II (IPC) Cabang Pelabuhan Sunda Kelapa.
Pada sejumlah titik, berdiri papan informasi bertuliskan ”Tanah Milik PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) Cabang Sunda Kelapa Sertipikat HPL No 2 Th 1990. Area ini akan Terkena Penataan terhadap Bangunan yang Berdiri di Atasnya. Harap Segera Dikosongkan/Bongkar”. Tak terbantahkan, warga Kampung Bengek yang menurut data IPC Cabang Sunda Kelapa berjumlah 180 keluarga merupakan pemukim ilegal.
Salah seorang warga Kampung Bengek, Sarwana (60), menuturkan, ia dan istri serta seorang cucunya terpaksa tinggal di sana karena ia menganggur. Ia tidak mampu lagi mengontrak rumah atau kos meski hanya berbiaya Rp 300.000 per bulan sehingga memilih menumpang secara tidak sah di lahan perusahaan, tetapi gratis.
Menurut Slamet, terdapat sampah yang bersumber dari kegiatan pemilahan sampah oleh warga yang berprofesi sebagai pemulung. Sampah yang tidak bernilai jual dibuang ke lahan tersebut. Namun, Sarwana membantahnya.
Sampah di sana kata Sarwana bersumber dari orang-orang di luar Kampung Bengek. Meski demikian, sampah dari warga kampung sendiri juga menimbulkan masalah tambahan. Karena tidak ada layanan pengangkutan sampah bagi warga Kampung Bengek, banyak yang membakar sampahnya di sana. Racun tersebar di udara.
Toh, di mata Sarwana, kenyamanan warga tidak terganggu dengan adanya sampah. Kebutuhan akan ruang hidup mengalahkan aroma busuk dan rasa jijik.
Jika ada anak yang sakit, penyakitnya diklaim tidak berbeda dengan yang tinggal di permukiman tertata. ”Kalau penyakit, mah, tinggal di gedong juga sama saja. Selama ini aman-aman saja, yang penting bisa buat tidur,” ujar Sarwana.
Joko pun heran. Logikanya, hamparan sampah merupakan sumber penyakit dan sarang nyamuk. Namun, kabar penularan malaria atapun demam berdarah dengue di Kampung Bengek tidak pernah didengarnya.