Kebakaran TNTN Tanggung Jawab Siapa?
”Taman Nasional Tesso Nilo terbakar!” Begitu informasi diterima Kompas dari Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Riau Edwar Sanger pada awal Agustus 2019. Kabar itu cukup mengejutkan karena sejak 2015 nyaris tidak pernah terjadi kebakaran besar di hutan konservasi gajah sumatera yang telah kritis itu.
Kebakaran kecil memang tetap ada setiap tahun. Namun, biasanya cepat padam atau dipadamkan. Mengapa kali ini kebakaran berlangsung hampir sebulan?
Bahkan, ketika petugas belum menyelesaikan pemadaman di satu lokasi, sudah muncul lagi api baru tidak jauh dari lokasi awal kebakaran. Ada apa di TNTN? Kompas mencoba merunut persoalan yang sebenarnya terjadi di lokasi kebakaran di kawasan konservasi.
Menurut Hamencol (56), tokoh adat Desa Lubuk Kembang Bunga (desa di pinggir TNTN), Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan, sekarang puluhan perambah dari Dusun Toro dan Renangan sedang melakukan perluasan areal kebun kelapa sawit rambahan di TNTN. Penduduk yang disebut ilegal oleh Hamencol itu sedang menunjukkan kekuatannya. Mereka tidak takut berhadapan langsung dengan aparatur negara.
”Yang menghancurkan TNTN adalah pemerintah karena pemerintah selalu membela perambah. Perkampungan mereka disebut ilegal dan liar, tetapi pemerintah terus saja memberi bantuan dan memberi KTP kepada kelompok tersebut. Nyatanya, mereka tetap merambah dan membakar hutan, tetapi tidak pernah ditindak,” kata Hamencol.
Hamencol mengatakan, pada 2017, aktivitas perambah dapat diredam setelah akses menuju kawasan TNTN (yang sekarang terbakar) diputus dengan membuat parit dalam. Namun, pada 2018, aparatur Desa Lubuk Kembang Bunga bersama RT/RW meminta kepada kecamatan agar jalan itu kembali dibuka. Mereka beralasan, jalan itu untuk mempermudah warga masuk ke kebun.
”Setelah jalan itu dibuka, semakin banyak orang yang masuk ke areal TNTN untuk membuka lahan,” kata Hamencol. Selama semester pertama 2019, Hamencol bersama tiga rekannya sebenarnya aktif melakukan patroli di hutan TNTN dalam wilayah desa. Aktivitas patroli itu dibiayai LSM Yayasan TNTN dengan honor Rp 1,4 juta per bulan.
Namun, dana dari yayasan untuk gaji para petugas untuk patroli terputus. Dengan demikian, sejak Juli 2019, patroli hutan tidak dapat dilanjutkan. Ironisnya, sebulan setelah berhentinya patroli, hutan TNTN, terutama yang berada di sekitar Sungai Nilo, sudah dibakar oleh perambah.
”Sewaktu masih ada patroli, kami sering bertemu pekerja yang dibayar oleh perambah dari (Dusun) Toro dan Renangan. Kami usir mereka, tetapi ketika kami tidak lagi berpatroli, mereka masuk dan membakar lahan,” kata Hamencol. Menurut Hamencol, ia siap melanjutkan tugas patroli menjaga areal TNTN di desanya. Akan tetapi, ia berharap tenaga patroli ditambah menjadi enam orang. Honor untuk setiap petugas Rp 2 juta per bulan.
”Kalau bisa dibuat kontrak selama tiga tahun. Kami menjamin tidak akan ada lagi perambah baru dan kebakaran TNTN di desa kami. Saya siap berhadapan dan bertarung nyawa dengan perambah,” kata Hamencol, yang pernah menjebloskan seorang tokoh adat desa ke penjara karena menjual lahan TNTN kepada pendatang.
Mengkhawatirkan
Keberadaan perambah di TNTN memang sudah mengkhawatirkan. Dari luas total TNTN 83.000 hektar, tutupan vegetasi hutan hanya tersisa sekitar 15.000 hektar. Sebagian besar areal perambahan sudah ditanami kelapa sawit.
Terdapat sembilan kantong perambah yang bermukim di dalam kawasan inti TNTN. Sebagai contoh, Dusun Toro dan Renangan di Desa Lubuk Kembang Bunga sudah dihuni lebih dari 4.000 keluarga.
Jumlah penduduknya jauh lebih besar daripada warga asli yang berkisar 400 keluarga. Keberadaan perambah kerap dimanfaatkan secara politik. Tokoh lokal yang bersedia mengakomodasi kepentingan perambah dipastikan mendapat dukungan. Menurut Hamencol, pemimpin Desa Lubuk Kembang Bunga sekarang tidak didukung penduduk asli. Namun, mereka tetap saja menang pemilihan karena merangkul para perambah.
Permukiman di TNTN sudah berkembang pesat. Para perambah membentuk kehidupan sosial dan ekonomi sendiri. Hampir di seluruh kantong terdapat bangunan pasar, sekolah, rumah ibadah, dan belasan peron (pengepul tandan buah segar/TBS). Bahkan, nyaris seluruh areal TNTN dapat dijangkau dengan kendaraan roda empat. Setiap hari, terdapat dua bus dari/tujuan Medan yang membawa dan mengambil penumpang dari TNTN.
Ratusan kendaraan bak terbuka lalu lalang di setiap penjuru TNTN membawa TBS untuk dijual ke peron. Setiap hari puluhan truk mengangkut sawit ke pabrik-pabrik yang menerima TBS ilegal.
Ketua Yayasan TNTN Yuliantoni mengungkapkan, pemerintah terkesan lembut terhadap perambah TNTN. Pemerintah dinilai lebih mengedepankan pendekatan hak asasi manusia, tetapi lupa dengan penguatan nilai-nilai penyadaran atas kerusakan lingkungan hidup. ”Semestinya pemerintah tegas menghukum perusahaan atau perorangan yang membakar lahan,” kata Yuliantoni.
Kepala Balai TNTN Halasan Tulus mengatakan, keberadaan perambah TNTN harus dilihat dari sejarahnya. Awalnya TNTN berupa hutan produksi yang konsesinya diberikan kepada beberapa perusahaan pemegang hak pengelolaan hutan (HPH). Sebelum statusnya diubah menjadi taman nasional sebenarnya hutan itu sudah dirambah.
Oleh karena itu, pemerintah jelas lalai menjalankan fungsinya menjaga TNTN. Menurut Hamencol, pada 2004, ketika areal hutan eks HPH PT Inhutani IV ditetapkan sebagai TNTN seluas 38.000 hektar, penduduk Dusun Toro Jaya tidak lebih dari 10 keluarga.
Namun, akibat keteledoran pemerintah, jumlah penduduk di sana sekarang sudah berkembang lebih dari 3.000 keluarga. Begitu pula desa-desa lain, seperti Bukit Kusuma, Bagan Limau, dan Renangan. Puluhan ribu orang sudah bermukim di TNTN.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, menurut informasi, sudah menyiapkan skema relokasi para perambah TNTN perorangan ke areal eks hutan PT Hutani Sola Lestari dan PT Siak Raya Timber. Total luas areal untuk para perambah itu sekitar 78.000 hektar.
Menurut rencana, setiap perambah akan diberi rumah dan lahan seluas 4 hektar. Mereka juga masih diperbolehkan memanen sawit di areal TNTN sampai satu daur tanam. Sementara kepada para cukong ilegal yang memiliki lahan ratusan sampai ribuan hektar akan ditindak sesuai hukum.
Namun, sampai era kepemimpinan pertama Presiden Joko Widodo akan berakhir, skema relokasi itu tidak jelas lagi kemajuannya. Sementara tegakan kayu hutan alam yang tersisa terus ditebang dan dibakar oleh perambah.
Pemerintah tampak begitu tegas menindak perusahaan yang membakar atau lalai menjaga areal konsesinya dari kebakaran. Namun, ketika lahan TNTN terbakar, siapa yang harus dimintai pertanggungjawaban?
Harusnya pemerintah dan pihak terkait juga bisa bertindak tegas siapa pun perusak lingkungan. Mereka tidak hanya menghuni atau merambah untuk kepentingan substitusi, tetapi juga merambah untuk motif ekonomi dan itu dilakukan dengan merusak hutan.