Sejak efektif tahun 2003, Komisi Pemberantasan Korupsi sudah menangani 1.064 kasus korupsi. Sebanyak 432 orang menjadi tersangka setelah KPK melakukan operasi tangkap tangan.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
Sejak efektif tahun 2003, Komisi Pemberantasan Korupsi sudah menangani 1.064 kasus korupsi. Sebanyak 432 orang menjadi tersangka setelah KPK melakukan operasi tangkap tangan.
Namun, prestasi itu terancam lumpuh jika DPR tetap ngotot mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pada Kamis (5/9/2019), Rapat Paripurna DPR menyetujui usulan revisi dari Badan Legislasi (Baleg) DPR itu menjadi RUU usul DPR. Berdasarkan informasi yang diperoleh Kompas, Baleg DPR akan mulai melakukan pembahasan pada Sabtu, 7 September, dan targetnya RUU KPK akan disahkan pada Selasa, 10 September.
Berkaca dari draf RUU tersebut, KPK bakal memiliki dewan pengawas yang menjadi pengawas lembaga tersebut. Setiap aktivitas penyadapan, misalnya, harus seizin dewan pengawas, yang merupakan lembaga nonstruktural pilihan DPR dan Presiden.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Tama S Langkun, menyatakan bahwa penyadapan, yang merupakan bagian dari proses penyelidikan, adalah kunci bagi operasi tangkap tangan. Ketika ruang menyadap ini tidak bebas, operasi tangkap tangan berpotensi bocor.
”Penindakan sudah pasti tidak akan segencar sekarang,” kata Tama.
Padahal, dalam aturan yang berlaku saat ini, KPK tidak perlu meminta izin untuk menyadap. Pasal 12 (a) UU No 30/2002 menyatakan, KPK melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Koruptor sudah menjalin konsolidasi dengan politisi. Intinya, revisi itu membuka peluang untuk negosiasi perkara.
Selain penyadapan, poin revisi juga mengancam independensi KPK, seperti Pasal 43 (1) yang berbunyi penyelidik KPK merupakan penyelidik yang diangkat dari Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Kemudian, dalam Pasal 45, penyidik KPK merupakan penyidik yang diangkat dari Polri, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, dan penyidik pegawai negeri sipil.
Dalam UU No 30/2002, penyelidik diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Sementara penyidik dan penuntut umum adalah fungsi yang melekat pada pimpinan KPK.
Kemudian, dalam Pasal 40 (1) RUU, KPK berwenang untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan (SP3) terhadap tipikor yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama satu tahun. Hal ini membuat KPK terganjal untuk menyelesaikan sejumlah perkara korupsi besar yang memakan waktu lebih dari satu tahun.
Padahal, dalam aturan saat ini, KPK tidak berwenang mengeluarkan
surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam
perkara tipikor. Ini memungkinkan KPK untuk mengusut kasus-kasus sulit dan butuh waktu lama, misalnya korupsi korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang terjadi pada 2004.
”Intinya, revisi itu membuka peluang untuk negosiasi perkara,” katanya.
Lalu, siapa yang menghendaki ruang gerak KPK dipersempit? ”Siapa pun yang punya motif melemahkan KPK, berarti dia yang merasa terganggu dengan agenda pemberantasan korupsi,” kata Tama.
Momentum
Dalam catatan Kompas, niat merevisi UU KPK, kebetulan atau tidak, bersamaan waktunya dengan penanganan kasus besar oleh komisi antirasuah tersebut. Sebut saja soal revisi yang mencuat pada 2017.
Sejak awal Februari 2017, sosialisasi revisi UU KPK telah digelar Badan Keahlian Dewan (BKD) ke sejumlah perguruan tinggi di Indonesia. Namun, tak hanya isinya yang cenderung memperlemah pemberantasan korupsi, seperti yang muncul dalam polemik seputar revisi UU KPK pada waktu sebelumnya.
Banyak pertanyaan muncul karena sosialisasi revisi UU KPK itu dilakukan bersamaan dengan mencuatnya kasus dugaan korupsi KTP elektronik, yang melibatkan Ketua DPR Setya Novanto (Kompas, 18/3/2017).
Mundur dua tahun sebelumnya, 2015, RUU tersebut diusulkan juga masuk Prolegnas 2015 oleh 45 anggota DPR dari enam fraksi yang berbeda. Pada tahun yang sama, KPK menetapkan Wakil Kepala Polri, saat itu Komisaris Jenderal Budi Gunawan, yang menjadi calon tunggal Kepala Kepolisian Negara RI, sebagai tersangka kasus gratifikasi.
”Koruptor sudah menjalin konsolidasi dengan politisi,” kata Feri Amsari, peneliti Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas.
Jika RUU tetap disahkan, lanjutnya, KPK akan kehilangan roh sebagai pemberantas korupsi. ”KPK akan jadi zombi (mayat hidup),” katanya.