JAKARTA, KOMPAS Pendekatan kultural yang memberi perhatian pada martabat dibutuhkan untuk mengatasi gejolak yang belakangan terjadi di Papua. Pendekatan tersebut juga mesti dilakukan kepada para anak muda Papua, baik yang ada di daerah itu maupun yang tengah belajar di luar Papua. Para anak muda ini telah menjadi kelompok strategis baru yang mulai menggantikan posisi tokoh agama dan tokoh adat Papua.
Mantan Menteri Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia Manuel Kaisiepo melihat, pandangan sosial dan politik generasi baru Papua tersebut merupakan anomali.
”Mereka lahir dan besar dalam kerangka otonomi khusus, tetapi cara pikirnya berada di luar spirit otonomi khusus. Mereka mesti menjadi kelompok strategis yang lebih diperhatikan,” ujar Manuel dalam diskusi bertajuk ”Mengurai Akar Masalah dan Kondisi Terkini Papua” di Redaksi Harian Kompas, Jakarta, Kamis (5/9/2019).
Turut hadir sebagai pembicara dalam acara ini, mantan anggota DPR dari Papua, Simon Patrick Morin; peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Adriana Elisabeth; komisioner Komisi Nasional HAM, Amiruddin; serta anggota Desk Papua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Moksen Idris Sirfefa.
Unjuk rasa yang belakangan ini terjadi di sejumlah tempat di Papua dan Papua Barat banyak melibatkan peran generasi baru dari daerah itu.
Menurut Manuel, kolaborasi antara kasus dugaan ujaran kebencian bernada rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan persoalan lama tentang Papua yang telah mengakar tetapi belum bisa diselesaikan secara tuntas oleh negara menjadi penyebab utama gejolak di Papua belakangan ini.
”Dari narasi yang dikembangkan mahasiswa Papua, rasanya secara subyektif persoalan integrasi, nasionalisme, dan kebangsaan belum selesai,” ujar Manuel.
Menurut Manuel, gagasan yang belakangan sering disampaikan generasi baru Papua berasal dari pengalaman traumatis. Mereka menyaksikan perlakuan tidak adil yang diterima orangtuanya, di mana hal itu memunculkan keyakinan politik yang khas dalam diri mereka. Keyakinan itu makin diperkuat oleh jaringan dan referensi yang mereka bangun dan dapatkan melalui teknologi informasi.
Pendekatan kultural
Munculnya generasi baru Papua ini, kata Manuel, selama ini tidak banyak dilihat di sejumlah kajian mengenai Papua. Kondisi makin diperparah oleh pemahaman dan penanganan yang keliru dari pemerintah terhadap Papua.
Setelah pemerintahan Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid, pendekatan Papua lebih kepada persoalan teknis, yakni pembangunan dan infrastruktur. ”Sudah waktunya pemerintah menggunakan pendekatan kultural yang memberi perhatian pada dignity (martabat) rakyat Papua. Ada masalah psikopolitik dalam persoalan Papua karena hadirnya ingatan kolektif kegetiran selama 30 tahun masa Orde Baru,” ujarnya.
Pendekatan kultural ini juga mesti dilakukan kepada generasi baru Papua. ”Anak muda harus lebih dirangkul karena mereka yang akan menentukan masa depan Papua,” ujar Adriana.
Menurut Adriana, kini juga ada kesenjangan pandangan antara Pemerintah Indonesia dan masyarakat Papua, terutama tentang sejarah integrasi Papua dengan Indonesia. ”Pemerintah mengatakan masalah itu sudah final, sedangkan masyarakat Papua berbicara tentang proses (integrasi). Harus dicari jalan untuk menjembatani kesenjangan ini,” katanya.
Sebelum jalur dialog dibuka untuk mengatasi kesenjangan pandangan, ujar Adriana, perlu ada kanalisasi dari ekspresi masyarakat Papua yang selama ini tidak tertampung. Pemerintah juga harus mengurangi kecurigaan terhadap sejumlah kelompok di Papua.
Otonomi khusus
Dialog, kata Simon, memang menjadi langkah yang harus dilakukan di Papua. Namun, dialog itu harus dilakukan dalam posisi setara.
”Kita punya pintu masuk untuk dialog, yaitu melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Apabila ada yang kurang dan perlu ditambahkan, kita bisa sempurnakan undang-undang itu sampai persoalan di Papua dapat terurus dengan baik,” kata Simon.
Simon menambahkan, UU No 21/2001 sejak awal dimaksudkan sebagai langkah politik untuk menyelesaikan masalah Papua. Guna mewujudkan hal itu, UU Otsus semestinya terus disesuaikan agar menjawab kebutuhan masyarakat.
Menurut Amiruddin, persoalan HAM juga bisa menjadi langkah awal untuk memulai dialog. Pasalnya, isu pelanggaran HAM masa lalu merupakan narasi dominan di kalangan generasi muda Papua saat ini. ”Kalau pemerintah menolak membicarakan isu ini, potensi kekerasan akan terus berulang,” ujarnya.
Untuk menyelesaikan persoalan di Bumi Cenderawasih, kata Moksen, bangsa Indonesia harus bersedia mengenal serta menghilangkan kecurigaan dan meremehkan masyarakat Papua. Cara itu bisa dilakukan dengan melibatkan masyarakat Papua dalam pembahasan isu strategis bangsa, seperti ekonomi, luar negeri, dan ideologi Pancasila. (SAN/NIA)