Penutupan Pelintasan Sebidang Bukan Memindahkan Masalah
Penutupan pelintasan sebidang menjadi solusi paling tepat walaupun upaya itu tidak mudah karena ada kebiasaan menyelesaikan suatu masalah dengan masalah baru.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat mendukung penuh penutupan pelintasan sebidang karena telah sesuai amanat undang-undang. Kendati demikian, penutupan harus disertai solusi agar tidak menimbulkan masalah lain.
Pelintasan sebidang merupakan perpotongan antara jalur kereta api dan jalan lalu lintas umum ataupun lalu lintas khusus. PT Kereta Api Indonesia (Persero) mencatat ada 1.223 pelintasan sebidang yang resmi atau dijaga dan 3.419 pelintasan sebidang liar atau tidak dijaga. PT KAI telah menutup 311 pelintasan sebidang tidak resmi pada 2018-2019.
Ketua Komisi V DPR Fary Djemy Francis di Jakarta, Jumat (6/9/2019), mengatakan, penutupan pelintasan sebidang sesuai dengan amanat undang-undang. Amanat ini menjadi dasar untuk sesegera mungkin menutup pelintasan sebidang.
”Saya baca di media ada pernyataan kalau menutup pelintasan sebidang kasihan warganya nanti mau lewat mana. Kalau bahas kasihan berarti bukan bahas amanat undang-undang. Tidak bisa kalau kasihan, kita harus tutup pelintasan sebidang karena menyangkut keselamatan dan nyawa banyak orang,” ucap Fary dalam diskusi kelompok terfokus bertema ”Perlintasan Sebidang Tanggung Jawab Siapa?”.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian Pasal 94 Ayat 1 menyebutkan, untuk keselamatan perjalanan kereta api dan pemakai jalan, pelintasan sebidang yang tidak mempunyai izin harus ditutup. Sementara Ayat 2 menyebutkan, penutupan pelintasan sebidang sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan oleh pemerintah ataupun pemerintah daerah.
Selain berdasarkan amanat undang-undang, kerawanan di pelintasan sebidang semakin tinggi seiring pembangunan rel kereta. Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Zulfikri mengatakan, dalam lima tahun pembangunan rel sepanjang1.989 kilometer sehingga meningkatkan frekuensi perjalanan kereta api.
”Setelah dianalisis, rentan terjadi dua kecelakaan per hari dengan satu korban jiwa di pelintasan sebidang. Otomatis kerawanan semakin tinggi,” kata Zulfikri.
Alternatif
Berkaitan dengan itu, Fary meminta agar disediakan jalur alternatif untuk pelintasan sebidang. Pihaknya akan menyurati Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk pembangunan jalan layang atau jalur bawah tanah di pelintasan sebidang.
”Kami akan dorong untuk tambahan anggaran penuntasan persoalan pelintasan sebidang. Untuk 2020, kami minta anggaran ditambahkan jadi Rp 1,5 triliun untuk sarana dan prasarana perkeretaapian,” katanya.
Menanggapi hal itu, Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Soerjanto Tjahjono menjelaskan, penutupan pelintasan sebidang menjadi solusi paling tepat. Meski demikian, upaya itu tidak mudah karena ada kebiasaan menyelesaikan suatu masalah dengan masalah baru.
”Jalan layang di Bumiayu, Brebes, Jawa Tengah, tadinya untuk menghindarkan kecelakaan di pelintasan sebidang, tetapi menimbulkan kecelakaan di jalan umum. Persoalannya ketika di pelintasan sebidang truk jalan hati-hati. Karena lancar di jalan layang, truk kebut-kebutan. Setahun dibuka ada 39 kecelakaan. Artinya apa? Perlu kajian mendalam sehingga tidak menimbulkan kejadian yang lain,” kata Soerjanto.
Tidak itu saja, lanjut Soerjanto, pelintasan sebidang di Sidoarjo, Jawa Timur, miring. Padahal, pelintasan sebidang harus tegak larus. Akibat kemiringan itu, pengemudi sulit melihat kereta yang melintas.
”Perlu rekomendasi dan kajian untuk mitigasi agar masalah tidak berpindah,” ujarnya.