Puisi sebagai ekspresi pikiran dan perasaan yang paling mentah memiliki kekuatan untuk berefleksi terhadap diri sendiri sekaligus proses penyembuhan sang penulis atas berbagai emosi yang menderanya.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Puisi sebagai ekspresi pikiran dan perasaan yang paling mentah memiliki kekuatan untuk berefleksi terhadap diri sendiri sekaligus proses penyembuhan sang penulis atas berbagai emosi yang menderanya. Di sisi lain, puisi juga mulai diteliti agar bisa dikembangkan untuk menjadi moda terapi pasien dalam pengobatan medis.
”Puisi berbeda dengan novel dan cerita pendek (cerpen). Kata-kata di dalamnya tidak diedit. Puisi adalah ekspresi spontan penulis ketika teringat mengenai suatu topik, orang, atau pun kejadian,” kata sastrawan Candra Malik pada bincang-bincang bertema”Luka Kata” dalam acara Indonesia International Book Fair 2019, Kamis (5/9/2019), di Jakarta.
Ia menjelaskan proses puisi hanya bisa langsung ditulis ketika petikan inspirasi muncul di benak. Tidak bisa menunda hingga keesokan hari karena akan melunturkan emosi yang hendak diekspresikan oleh penulis. Pesan yang ”mentah” dan langsung dari hati ini yang tidak bisa diperoleh karya sastra lain karena novel dan cerpen membutuhkan waktu untuk berefleksi dan melalui proses penyuntingan berlapis, baik dari pengarang maupun redakturnya.
”Hal ini yang membuat puisi menjadi proses penyembuhan luka batin atau pun aspek negatif yang dirasakan oleh pengarang karena memaksa pengarangnya mengonfrontasi perasaan ini secara langsung,” tutur Candra.
Akan tetapi, di satu sisi, pengarang puisi juga harus memberi celah kepada pembaca untuk bisa masuk agar memahami dan berkorelasi dengan emosi yang disampaikan di karya tersebut. Candra menerangkan, sama seperti proses penulisannya, membaca puisi sejatinya menguak emosi spontan pembaca.
Mereka bisa menyukai, membenci, atau lebih dalam lagi menganggap puisi tersebut mengekspresikan diri pembaca karena adanya koneksi emosional yang langsung. Puisi semestinya tidak memiliki tafsir tunggal dan terbuka bagi pembaca untuk mengartikan sesuai dengan kondisi emosi yang mereka alami.
Penulis sekaligus pegiat literasi Maman Suherman yang turut menjadi narasumber diskusi mengungkapkan bahwa puisi yang baik terinspirasi dari pengalaman pribadi dan kejadian-kejadian yang ada di sekitar pengarangnya.
Puisi yang baik terinspirasi dari pengalaman pribadi dan kejadian-kejadian yang ada di sekitar pengarangnya.
”Akibatnya, memang banyak puisi yang lebih condong ke tema kesedihan dan kemarahan karena puisi adalah proses pengarangnya membersihkan diri dari emosi tersebut,” ucapnya.
Terapi
Dalam diskusi berbeda diajang IIBF 2019, dokter spesialis saraf Arman Yurisaldi Saleh mengembangkan puisi sebagai terapi untuk pasien berdasarkan pengobatan medis berbasis bukti. Ia dalam proses memetakan puisi-puisi dalam indikator ilmiah yang kemudian akan menjadi rujukan bagi terapi kejiwaan dan emosi pasien.
Ia memaparkan bahwa kondisi emosi yang stres dan depresi berdampak buruk bagi tubuh manusia. Stres memicu hormon kortisol yang merupakan penyebab kekacauan metabolisme tubuh. Stres berkepanjangan mengakibatkan metabolisme buruk dan merembet kepada kinerja organ-organ lain. Orang dengan diabetes, hipertensi, dan masalah kejiwaan sebisa mungkin harus menghindari stres. Selain obat-obatan, metodenya juga menenteramkan jiwa melalui membaca puisi dengan alasan memancing emosi secara spontan.
”Di luar negeri, psikolog dan psikiater sudah menyarankan agar pasien membaca dan menikmati puisi untuk memperbaiki suasana hati. Namun, belum ada ukuran baku yang ilmiah mengenai pengaruh langsungnya kepada otak,” kata dosen Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta Ini.
Di luar negeri, psikolog dan psikiater sudah menyarankan agar pasien membaca dan menikmati puisi untuk memperbaiki suasana hati.
Pada Februari 2011, jurnal The Arts of Psychotherapy menerbitkan hasil riset Youkhabeh Mohammadian et al mengenai pemakaian puisi untuk mencegah dan menangani stres serta depresi pada mahasiswa di Iran. Penelitian itu menyimpulkan mereka yang meluangkan waktu minimal satu jam per hari untuk membaca puisi menjadi lebih tenang dan tidak gugup. Riset tidak menjelaskan faktor yang secara fisik memengaruhi terjadinya perubahan emosi ini.
Oleh sebab itu, Arman membuat metode pemetaan puisi berdasarkan 12 aspek dalam kedokteran saraf, antara lain adalah prefrontal, broca, visuo-spasial, logika matematika, dan limbik. Setiap aspek memiliki dua hingga tiga indikator.
Misalnya pada aspek memori, skor 0 berarti puisi merangsang pembaca mengingat memori lama, sementara skor 1 artinya puisi merangsang pembaca mengingat memori lama dan baru.
”Tujuan riset ini ialah ketika satu puisi sudah dipetakan skor setiap indikator aspeknya, dokter, psikiater, dan psikolog bisa mengarahkan pasien membaca puisi-puisi tertentu yang bisa memicu emosi spesifik sehingga menurunkan stres,” ucapnya.