Berharap Bahagia Di Pantai Utara
Di usia ke-48, Amini untuk kali pertama mengunjungi rangkaian peringatan
Hari Jadi Ke-650 Kota Cirebon. Pengalaman perdana menyambut ulang tahun kota kelahirannya tersebut berakhir kecewa.
Bersama tiga cucu dan seorang anaknya, Amini menumpang angkot ke kantor DPRD Kota Cirebon di Jalan Siliwangi, Sabtu (31/8/2019) sekitar pukul 08.00. Mereka ke sana untuk menghadiri Festival Empal Gentong, salah satu acara dalam perayaan hari jadi Kota Cirebon.
Empal gentong merupakan makanan khas Cirebon serupa gulai yang berisi potongan daging sapi direndam dalam kuah santan bercampur bumbu kuning. Masakan ini dilengkapi dengan kucai, bawang merah, dan bubuk cabai merah. Di festival itu ada 20 stan empal gentong, dari kelas pedagang kaki lima hingga restoran.
Kedatangan Amini bersama keluarganya, juga puluhan orang pagi itu, demi menikmati 650 porsi empal gentong gratis sesuai pesan yang tersebar di media sosial dan grup Whatsapp. Acara yang berlangsung 31 Agustus hingga 1 September itu terbuka bagi umum dan gratis. Jumlah 650 porsi disesuaikan dengan usia Kota Cirebon.
Namun, bukannya kenyang, Amini malah menelan kekecewaan. Ternyata, tidak ada empal gentong gratis hari itu. Jika ingin menikmati kuliner khas setempat itu, pengunjung harus membayar Rp 25.000 per porsi. Sebanyak 650 porsi empal gentong hanya dibagikan gratis pada 1 September setelah Rapat Paripurna DPRD Kota Cirebon, sekitar pukul 11.00.
”Kirain gratis. Kalau ngeluarin duit Rp 25.000 untuk makan empal gentong seorang, lebih baik enggak usah. Uang itu bisa buat beli beras sekilogram dan lauk untuk makan beberapa orang,” kata Amini yang tidak ingin datang lagi mencari empal gentong gratis di HUT Kota Cirebon. Setelah mengambil kopi jahe gratis, ia beranjak pulang ke rumahnya di Kalitanjung.
Amini tidak mengada-ada. Garis kemiskinan Kota Cirebon pada 2017 tercatat Rp 392.725 per kapita per bulan. Artinya, jumlah itu menjadi batas minimal pendapatan yang harus dipenuhi untuk memperoleh standar hidup, termasuk makanan. Dengan pendapatan tersebut, dibutuhkan minimal Rp 13.000 untuk makan setiap hari selama sebulan.
Pantas saja Amini protes jika harus mengeluarkan uang Rp 25.000 demi seporsi empal gentong yang awalnya dijanjikan gratis. Perasaannya boleh jadi mewakili lebih dari 28.000 warga Kota Cirebon yang tergolong dalam kategori miskin. Tahun lalu, tingkat kemiskinan di kota seluas 37 kilometer persegi itu 8,8 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kemiskinan Jabar, yakni 7,8 persen.
Bagi Amini dan warga lainnya, peringatan HUT Kota Cirebon seharusnya menjadi wadah untuk berpesta dan melupakan sejenak masalahnya. Termasuk kegalauan anak muda dengan tingkat pengangguran terbuka 10,4 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan Jabar, yakni 8,17 persen.
”Di-komersilin lagi? Ha-ha-ha ulang tahun Cirebon untuk rakyat, kan? Gimana rakyat mau sejahtera kalau semua bayar?” tulis akun Instagram @answgnt mengomentari Festival Empal Gentong hari pertama.
Sebelumnya, pada Jumat (30/8/2019), Pemkot Cirebon membuka Festival Cirebon yang menyuguhkan berbagai wahana permainan dan artis Ibu Kota. Biaya masuknya saja, tidak termasuk wahana, dipatok Rp 20.000 per orang dan Rp 30.000 per orang saat akhir pekan.
Pertanyaan mengapa HUT Kota Cirebon yang merupakan pesta rakyat harus berbayar wajar adanya. Apalagi, sekitar Rp 2,6 miliar dari Rp 14,2 miliar total anggaran hari jadi diambil dari APBD Kota Cirebon.
Uang rakyat
Publik juga masih ingat bagaimana dana pembangunan ruang terbuka hijau, yang saat ini masih sekitar 9 persen, dari ketentuan 20 persen, dikorupsi. Begitu pula dengan dana pembangunan jalan kota yang digelapkan oleh kontraktor dan pejabat Dinas Pekerjaan Umum dan Panataan Ruang Kota Cirebon.
Boleh jadi benar adanya, ungkapan tidak ada makan siang gratis untuk mendapatkan pelayanan publik, termasuk dalam HUT Kota Cirebon. ”Makan di rumah rakyat, ya, harus bayar,” ucap seorang pengunjung.
Sebenarnya, setiap 1 September, ketika hari jadi Kota Cirebon, DPRD dan pemerintah setempat menyuguhkan makanan gratis dalam porsi tertentu. Makanan itu dapat disantap setelah para wakil rakyat rapat paripurna. Rakyat harus menunggu wakilnya keluar dari gedung terlebih dahulu.
Agus Sukmanjaya, Ketua Panitia HUT Ke-650 Kota Cirebon, mengaku tidak tahu bahwa pada hari pertama Festival Empal Gentong tidak membagikan makanan gratis. ”Yang tahu itu panitia teknis. Kami menyediakan ruang seluas-luasnya bagi masyarakat yang ingin meramaikan HUT Kota Cirebon karena kami terbatas dana. Kami hanya fasilitasi perizinan dan lainnya. Ada sekitar 50 acara rangkaian HUT dengan bekerja sama berbagai pihak,” katanya.
Festival Empal Gentong yang baru perdana digelar merupakan inisiatif Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) DPC Kota Cirebon dan Badan Pengusaha Pemuda Pancasila (BP3) Kota Cirebon. ”Kami mohon maaf kalau ada kekurangan dalam acara ini. Kami ingin menyediakan wadah silaturahmi bagi pengusaha empal gentong sekaligus memajukan wisata kuliner,” kata Kabid UMKM dan Koperasi HIPMI DPC Kota Cirebon Sultoni.
H Machfud Abbas (63), pemilik Empal Gentong H Apud, bersedia berpartisipasi dengan menggratiskan 50 porsi empal gentong dalam HUT Kota Cirebon. Namun, ia tidak menyangka kalau pengunjung kecewa karena tidak tahu informasi kapan pembagian empal gratis. ”Nama kami juga enggak bagus,” ucapnya.
Harapan Sultoni untuk memajukan wisata kuliner Cirebon belum terwujud saat itu. Padahal, kuliner, seperti empal gentong, nasi jamblang, dan nasi lengko, kerap diburu wisatawan. Terbukti, setelah Jalan Tol Cikopo-Palimanan beroperasi pertengahan 2015, pengunjung dari Jakarta lebih cepat ke Cirebon dibandingkan melalui pantura. Sekitar 200 rumah makan dan restoran tumbuh pesat.
Menjamurnya tempat kuliner seirama dengan berkembangnya lebih dari 50 hotel. Pengunjung tidak hanya diajak menikmati kuliner tetapi juga tiga keraton di Cirebon yang berusia ratusan tahun, yakni Keraton Kacirebonan, Kanoman, dan Kasepuhan.
Sayangnya, seperti Festival Empal Gentong, koordinasi antar-pengusaha, pemerintah, dan pihak keraton masih minim. Biasanya, keraton membuat acara sendiri, begitu pula dengan Pemkot Cirebon. Mantan Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pemuda Olahraga Budaya dan Pariwisata Kota Cirebon Edi Subagja pernah mengatakan, keraton belum berkontribusi dalam pendapatan asli daerah.
Sultan Sepuh XVI Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat mengatakan, Keraton Kasepuhan tidak mendapatkan anggaran dari Pemkot Cirebon. Meski demikian, pihaknya berupaya mendatangkan wisatawan dengan berbagai kegiatan, seperti Festival Keraton Nusantara, dua tahun lalu.
Padahal, jika berbagai pihak bekerja sama, bukan tidak mungkin target Pemkot Cirebon mengejar 2 juta wisatawan tahun ini dapat terwujud meski jumlah itu masih jauh di bawah kunjungan 4 juta wisatawan di Kuningan, tetangga Cirebon, tahun 2018. ”Fokus penggunaan APBD untuk sektor pariwisata,” ucap Wali Kota Cirebon Nashrudin Azis.
Penataan kota
Dalam periode kedua kepemimpinannya, Azis mulai menata Cirebon. Trotoar diperindah, pedagang kaki lima direlokasi, dan sampah perlahan dikelola. Agenda tahunan pariwisata juga diluncurkan. Azis bahkan berjanji menyulap lahan bekas galian C di Kelurahan Argasunya menjadi destinasi wisata baru. Dengan begitu, warga yang menggantungkan hidupnya pada galian pasir dapat beralih profesi.
Namun, ini tidak mudah. Meskipun telah dilarang sejak 2004, aktivitas itu masih berlangsung hingga kini. Penambangan yang dimulai sejak 1980-an itu telah membuat 48,3 hektar lahan kritis atau sekitar 7 persen dari 675 hektar luas Argasunya.
Lebih dari itu, wilayah paling selatan Kota Cirebon itu kadung terlalu timpang dengan wilayah lainnya. Meskipun hanya berjarak 7 kilometer dari pusat pemerintahan Kota Cirebon, jalan menuju kampung masih rusak. Ketika melintasi jalan Kampung Kopi Luhur, bau busuk menyengat. Daerah itu dijadikan tempat pembuangan akhir sampah lebih dari 300.000 warga kota. Sejumlah kampung juga masih kesulitan air bersih.
Sebaliknya, di bagian utara dan tengah kota sesak dengan pembangunan. Terdapat sembilan mal, lebih dari 50 hotel, dan ratusan tempat makan restoran di sana. Kantor pemerintah juga berada di daerah itu. ”Tempat kami hanya jadi pembuangan sampah dan orang gila,” ujar Ujang Fredi, Ketua RW 006 Kedung Krisik Selatan, Argasunya..
Ketimpangan itu juga tergambar dalam rasio gini, koefisien yang menunjukkan kesenjangan pendapatan dan kekayaan, di Kota Cirebon. Tahun lalu rasio gini 0,41. Angka ini naik dibandingkan dengan 2016, yakni 0,4. Padahal pada 2013, rasio gini hanya 0,38. Semakin mendekati angka nol menunjukkan ketimpangan semakin kecil.
Di usia ke-650 tahun, persoalan Kota Cirebon tidak hanya tentang kekecewaan Amini yang tidak mendapatkan empal gentong gratis seperti harapannya. Ada problem, kemiskinan, ketimpangan ekonomi, hingga korupsi.
Dalam rangka hari jadi Kota Cirebon, pemerintah mengambil tema ”Caruban Nagari Puser Ing Bumi”. Artinya, Cirebon diharapkan kembali menjadi pusat peradaban dunia, bukan pusat berbagai masalah.
Selamat Hari Jadi Ke-650 Kota Cirebon.