Ancaman resesi global kian dekat dengan peringatan keras yang dilontarkan sejumlah lembaga. Peringatan itu sekaligus menunjukkan rentannya posisi Indonesia.
Peringatan Bank Dunia, yang disampaikan lewat laporan Global Economic Risks and Implications for Indonesia, dan peringatan sejumlah lembaga lain menjadi lonceng peringatan tentang rentannya posisi kita di tengah ancaman serius resesi global di depan mata. Perlambatan pertumbuhan atau potensi resesi bukan hanya terjadi pada perekonomian besar, seperti Amerika Serikat, Eropa, dan China, melainkan juga negara berkembang.
Dari lima negara berkembang yang pada 2013 diindikasikan rentan (fragile) oleh Morgan Stanley di luar Indonesia, seluruhnya meluncur ke resesi. Turki sudah resesi, India masuk ke resesi secara teknikal, Afrika Selatan terancam resesi, Brasil berpeluang resesi. Perlambatan diperkirakan Bank Dunia juga akan terjadi pada Indonesia. Kita harus bergerak cepat agar tak terseret dalam kondisi lebih buruk dengan membangun bantalan dan meminimalkan sumber-sumber kerentanan.
Persoalannya, kemewahan itu tak semuanya kita miliki karena dampak kondisi global juga membuat ruang bagi manuver kebijakan fiskal dan stimulus moneter kita kian terbatas. Kehati-hatian dalam pengelolaan fiskal, salah satunya penggunaan utang pemerintah dan kualitas belanja, menjadi faktor kunci yang banyak ditekankan di tengah keterbatasan ruang fiskal dan kinerja fiskal yang belum membaik.
Tingginya kepemilikan asing di surat berharga negara (SBN) dan kasus gagal bayar sejumlah obligasi korporasi swasta juga bisa menjadi sumber kerawanan yang harus diwaspadai. Peringatan Bank Dunia, McKinsey, dan Bank of International Settlements (BIS) seluruhnya mendesak kita hati-hati pada utang swasta. Semua itu membuat kita rentan terhadap gejolak global yang bisa memicu arus modal keluar dari Indonesia.
Potensi eksodus modal keluar dari Indonesia dalam skala besar sudah diingatkan Bank Dunia sebagai ekses dari kombinasi dampak perang dagang AS-China yang berlarut, potensi resesi di AS, serta perlambatan ekonomi China dan Eropa. Hal ini bisa memunculkan tekanan baru pada nilai tukar, mengancam stabilitas sistem keuangan, membahayakan neraca transaksi berjalan (CAD). Melambatnya ekonomi global menurunkan permintaan akan ekspor dari Indonesia. Kondisi ini diperburuk dengan jatuhnya harga komoditas, mengakibatkan tekanan pada neraca perdagangan dan CAD.
Upaya menggenjot lokomotif pertumbuhan lain seperti investasi langsung asing (FDI) lewat berbagai insentif fiskal belum terlihat dampaknya. Tren FDI diperkirakan justru kian tertekan. Kegusaran Presiden Joko Widodo terkait arus investasi asing yang lebih memilih negara tetangga seperti Vietnam, Thailand, Malaysia, atau Kamboja menunjukkan ada pekerjaan utama yang belum selesai sehingga kita terus kalah bersaing dalam perebutan investasi.
Di dalam negeri, perlambatan ekonomi juga dipicu faktor struktural, lemahnya produktivitas. Iklim investasi dan ekspor tak kompetitif, dan lemahnya produktivitas hanya salah satu benang kusut pekerjaan rumah besar yang hingga kini belum sepenuhnya terurai. Kita rentan terpapar resesi global.