Menlu Iran Mohammad Javad Zarif berkunjung ke Jakarta untuk menyampaikan permintaan agar Indonesia berperan dengan mendesak semua pihak mematuhi kesepakatan nuklir 2015.
JAKARTA, KOMPAS— Iran meminta Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa- Bangsa bertindak soal kesepakatan nuklir Iran. Teheran juga menyatakan telah memenuhi semua kewajiban dalam kesepakatan yang ditandatangani pada 2015 itu.
Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif menyampaikan permintaan itu kepada Menlu RI Retno LP Marsudi, Jumat (6/9/2019), di Jakarta. ”Kami ingin Indonesia mendesak semua pihak menerapkan secara penuh JCPOA dan Resolusi DK PBB Nomor 2231,” kata Zarif, merujuk pada resolusi dukungan bulat 15 negara anggota DK PBB pada Kesepakatan Nuklir Iran 2015.
Resolusi itu disahkan, Juli 2015, beberapa hari setelah kesepakatan nuklir Iran—yang dikenal dengan sebutan Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA)—ditandatangani Iran, China, Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman, dan Rusia.
Sebagai anggota tidak tetap DK PBB periode 2019-2020, Indonesia memang berkepentingan memastikan semua resolusi DK PBB dipatuhi. ”Mengenai JCPOA, secara prinsip Indonesia ingin melihat bahwa kesepakatan ini masih dapat dijalankan secara penuh dan efektif,” kata Retno.
Resolusi itu menegaskan penerapan JCPOA sepenuhnya akan membantu memperkuat kepercayaan pada tujuan damai pada program nuklir Iran. DK PBB mendukung verifikasi program itu oleh Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA).
Kurangi komitmen
Zarif menyebut, JCPOA dan Resolusi DK PBB Nomor 2231 mengatur normalisasi hubungan ekonomi dengan Iran. Sayangnya, AS tidak melakukan itu dan memilih keluar dari JCPOA. Bahkan, AS mengancam menjatuhkan sanksi kepada pihak-pihak yang akan memulihkan hubungan ekonomi dengan Iran. ”Sama sekali tidak diterima,” kata Zarif.
Dalam pertemuan dengan Retno, Zarif menjelaskan upaya Iran menjaga dan mematuhi JCPOA. Ia menyebut kesepakatan itu sebagai keberhasilan diplomasi.
Sejak Kamis (5/9), Iran memutuskan mengurangi sebagian kepatuhan dan komitmennya pada JCPOA. Teheran antara lain memutuskan membangun ulang mesin sentrifugal untuk mempercepat pengayaan uranium dengan proyeksi hingga 20 persen. Hasil pengayaan itu bisa digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Sesuai kesepakatan nuklir, Iran dibatasi dalam kapasitas pengayaan uranium level rendah pada 300 kilogram uranium hexafluoride hingga 3,67 persen.
Iran telah mengumumkan 5 September 2019, yang belakangan diperpanjang hingga awal November 2019, sebagai tenggat bagi Eropa untuk memenuhi kewajiban memulihkan hubungan dagang dengan Iran. Jika melewati tenggat itu, Teheran akan mengurangi komitmen pada JCPOA.
Zarif menyebut langkah- langkah itu sebagai jawaban atas keputusan AS menerapkan lagi serangkaian sanksi yang disebut Teheran sebagai terorisme ekonomi. ”Sebab, sanksi- sanksi itu menyasar warga biasa Iran. Presiden Trump (Donald Trump) menyebutnya perangkat perang, kami menyebutnya terorisme,” ujarnya.
Selain kepada Retno, Zarif juga menjelaskan keputusan Iran itu kepada Uni Eropa (UE). Dalam surat kepada UE, Teheran menegaskan tidak akan membuat senjata nuklir. Surat itu juga menegaskan, Iran mencabut semua pembatasan pada kegiatan riset dan pengembangan nuklir.
Isu-isu lain di luar JCPOA yang dibahas Retno dan Zarif adalah soal perdamaian dan keamanan di Timur Tengah. ”Indonesia kembali menegaskan posisi prinsip Indonesia bahwa Indonesia ingin melihat Timur Tengah sebagai kawasan yang damai, stabil, dan sejahtera,” kata Retno.
”Indonesia meyakini bahwa tidak akan ada perdamaian dunia jika tidak ada perdamaian di Timur Tengah. Indonesia mengharapkan semua pihak ikut berkontribusi dalam menciptakan stabilitas dan perdamaian di Timur Tengah,” ujarnya, menambahkan. (RAZ)