Pemerintah menekankan arti penting atas registrasi nomor telepon seluler menggunakan data tunggal kependudukan. Registrasi diwajibkan di tengah perkembangan kartu perdana nomor telepon seluler elektronik.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menekankan arti penting atas registrasi nomor telepon seluler menggunakan data tunggal kependudukan. Registrasi diwajibkan di tengah perkembangan kartu perdana nomor telepon seluler elektronik.
Berdasarkan hasil pemadanan data Kementerian Komunikasi dan Informatika pada 11 Oktober 2017-22 April 2018, ada 350,84 juta nomor telepon seluler yang terdata di Indonesia. Nomor-nomor itu berasal dari Telkomsel, Indosat Ooredoo, XL Axiata, Hutchison Tri Indonesia, Smartfren, dan Sampoerna Telekomunikasi Indonesia.
”Tidak ada isu pengetatan nomor. Hal utama yang menjadi perhatian kami justru wujud kartu nonfisik sehingga memungkinkan layanan operator asing mudah masuk. Konteks isunya kemudian izin layanan,” ujar anggota Komite Regulasi Telekomunikasi Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), Setyardi Widodo, Jumat (6/9/2019), di Jakarta.
Menurut dia, sejauh ini tidak ada perbedaan syarat registrasi. Konsumen tetap harus mencantumkan nomor induk kependudukan dan nomor kartu keluarga. Setyardi menegaskan, registrasi wajib dengan data tunggal kependudukan mampu menekan angka pindah-pakai-buang kartu perdana nomor telepon seluler.
Pada akhir 2018, semua operator telekomunikasi seluler melaporkan jumlah pengguna terdaftar ”bersih”. Bisnis isi ulang pulsa dan paket layanan pun perlahan-lahan naik.
Konsumen tetap harus mencantumkan nomor induk kependudukan dan nomor kartu keluarga.
Ada beberapa hal turunan yang diperhatikan BRTI, antara lain teknis penjualan, mekanisme injeksi nomor telepon seluler, dan potensi kejahatan. Ketiga hal itu bersinggungan dengan konsumen.
Setyardi menambahkan, perkembangan nomor telepon seluler elektronik membuat model bisnis operator dalam jangka panjang akan berubah. Salah satunya akibat pengurangan gerai distribusi kartu seluler. Dampaknya, kemasan pemasaran layanan seluler juga berubah.
Tidak baru
Wakil Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Merza Fachys mengatakan, kartu telepon seluler elektronik bukan teknologi baru. Pada masa kepopuleran ponsel pintar CDMA dan BlackBerry, penggunaan kartu ini sudah ada.
”Perbedaannya terletak pada cara injeksi nomor telepon seluler ke gawai. Sekarang injeksi dapat melalui sistem dalam jaringan jarak jauh, seperti melalui kode baca cepat (QR Code) yang diberikan operator dan bisa dilakukan di mana pun,” ujarnya.
Merza menambahkan, keberadaan nomor telepon seluler elektronik dapat mengurangi ongkos produksi kartu perdana telepon seluler dalam bentuk fisik. Ia mencontohkan, biaya produksi satu unit kartu sekitar Rp 15.000, belum termasuk komponen ongkos pengemasan dan distribusi. Nomor telepon seluler dalam bentuk kartu perdana juga punya kedaluwarsa.
Pada masa mendatang, ketika internet untuk segala (internet of things/IoT) semakin populer, kebutuhan kartu perdana nomor telepon seluler juga bertambah banyak. Kehadiran dalam bentuk elektronik dirasa akan memudahkan.
Merza yang juga menjabat Presiden Direktur PT Smarfren Telecom Tbk berpendapat, kartu perdana fisik dan elektronik tidak terkait dengan rasio konsumen yang berganti-ganti nomor ponsel. Sebab, kebiasaan dalam penggunaan nomor telepon tergantung dari kepribadian konsumen.
Smartfren gencar memasarkan kartu ponsel elektronik sejak akhir Juli 2019. Jumlah pelanggan Smartfren saat ini sekitar 20 juta orang.