Sepenggal Periode Sejarah yang Menentukan
Buku Revolusi, Diplomasi, Diaspora ditulis oleh Taomo Zhou berdasarkan disertasinya di Cornell University. Sebagai akademisi yang mendalami kajian Tiongkok dan Indonesia, karya Taomo patut mendapat perhatian, khususnya para pemerhati hubungan Tiongkok dan Indonesia.
Berbagai catatan atau peristiwa sejarah yang selama ini belum terungkap atau masih menyisakan tanda tanya memperoleh jawaban dalam buku ini. Salah satu yang diungkap adalah tentang adanya pandangan yang cenderung meyakini keterlibatan Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dalam peristiwa percobaan kudeta oleh PKI atau yang kerap disebut sebagai pemberontakan Gerakan 30 September.
Melalui penelitiannya, Taomo menyimpulkan bahwa tidak benar jika Pemerintah RRT tidak tahu adanya rencana DN Aidit melakukan sebuah aksi dalam rangka mendahului manuver kalangan ”kanan” untuk mengambil alih kekuasaan di Indonesia. Hal itu terungkap dari percakapan antara Mao Zedong dan Aidit yang dipaparkan Taomo pada bab delapan.
Meskipun Pemerintah RRT mengetahui hal itu, tidak berarti Pemerintah RRT terlibat dalam rencana aksi tersebut. Menurut buku ini, Pemerintah RRT tidak tahu kapan persisnya Aidit akan melaksanakan manuver politik menghabisi pihak yang dianggap sebagai musuh-musuh komunis.
Angkatan Kelima
Taomo, yang ahli dalam bidang Tiongkok Modern dan Sejarah Asia Tenggara, juga menunjukkan bagaimana ide mengenai ”Angkatan Kelima” mendapat dukungan dari pihak komunis Tiongkok yang berjanji akan memberikan bantuan 100.000 pucuk senjata. Detail percakapan mengenai persoalan itu juga dipaparkan dalam buku ini.
Meski demikian, menurut hasil penelitian Taomo, bantuan senjata yang dijanjikan itu terbukti tidak sempat ”mendarat” di Indonesia. Situasi ini memperlihatkan bagaimana RRT mengamati secara serius dinamika politik dan kondisi-kondisi genting di Indonesia hingga meletusnya pemberontakan 1965. Bahkan, RRT turut mewarnai situasi politik nasional, setidaknya menumbuhkan rasa percaya diri bagi mereka yang setuju dengan ide Angkatan Kelima.
Di sisi lain, buku ini juga menunjukkan adanya keterlibatan Pemerintahan Nasionalis Tiongkok (Taiwan) dalam Gerakan PRRI/Permesta, yang waktu itu dianggap sebagai salah satu kelompok yang sangat anti-komunis. Kesamaan ideologi dan kepentingan itulah yang mendorong Taiwan bersama Amerika Serikat terlibat dalam gerakan itu.
RRT dan Taiwan
Hal lain yang menarik, Taomo yang juga menjadi assistant professor di History Programme School of Humanities Nanyang Technological University, Singapura, mengungkap adanya persaingan untuk berebut pengaruh antara RRT dan Taiwan di Indonesia pada masa itu. Dampak persaingan kedua negara tersebut masih terasa hingga menjelang era Reformasi.
Tampak jelas bahwa keduanya sama-sama berkepentingan untuk menjaga pertemanan dan pengaruh baik di Indonesia ataupun di kawasan Asia Tenggara pada umumnya. Terkait dengan Indonesia, tidak saja karena berhubungan dengan letak strategisnya dalam konteks politik internasional, tetapi juga dalam upaya untuk mempertahankan pengaruh berlatar identitas bagi komunitas Tionghoa diaspora di Indonesia.
Dalam soal kedua itu, kemudian muncul semacam ”sub-kategori” di kalangan Tionghoa, yakni antara mereka yang pro RRT dan pro Taiwan. Ini menarik karena selama ini secara umum kelompok komunitas Tionghoa hanya mengetahui identitas mereka sebagai kalangan komunitas Tionghoa totok dan peranakan.
Keberadaan kelompok-kelompok yang berpihak atas dasar ideologis itu cukup memengaruhi pola hidup mereka, bahkan kerap memicu konflik hingga memakan korban jiwa. Dalam soal inilah, karya Taomo turut melengkapi penjelasan tentang adanya persaingan internal dalam komunitas Tionghoa (yang melibatkan ”kelompok merah”/RRT versus ”kelompok biru”/Taiwan) di masa-masa itu dan sesudahnya.
Lebih dari itu, demikian besar upaya untuk memengaruhi kalangan diaspora Tionghoa (yang ditimpali dengan semangat untuk setia pada tanah leluhur) menyebabkan kemunculan ”ghetto” di beberapa tempat di Indonesia. Anggota komunitas tetap mempertahankan tradisi, identitas, dan keyakinan mereka sepenuh hati. Dalam bab lima buku ini yang berjudul ”Negara dalam Negara”, misalnya, diceritakan bagaimana komunitas itu seolah-olah imun terhadap eksistensi NKRI.
Kuatnya rasa keterikatan itu pula yang menyebabkan ada kegembiraan bagi mereka yang mengalami repatriasi ke tanah leluhur. Uniknya, dalam catatan Prof Asvi Warman Adam, mereka yang kembali ke Tiongkok itu dapat diduga adalah kalangan yang bertanggung jawab membangun kapitalisme di China Daratan.
Taomo menulis buku ini amat baik sehingga tidak membosankan. Prof A Dahana, ahli sinologi Universitas Indonesia, yang berjasa dalam alih bahasa naskah buku ini ke dalam bahasa Indonesia, berhasil menjawab tantangan untuk dapat menyajikan buku ini dengan baik tanpa kehilangan ruh tulisan aslinya.
Selain itu, buku ini bernilai lebih karena memiliki acuan berupa naskah-naskah atau dokumen otentik catatan Kementerian Luar Negeri RRT pada tahun-tahun itu. Taomo amat beruntung karena memiliki kesempatan untuk menelaah naskah-naskah asli itu yang dideklasifikasi oleh Pemerintah RRT.
Meski demikian, bagi sebagian kalangan, justru di sinilah titik persoalan dari buku ini karena mengandalkan sumber-sumber yang bisa jadi tidak lepas dari kepentingan politik dan propaganda Pemerintah RRT. Sementara pada bagian tertentu penjelasan yang disampaikan terasa tidak lengkap. Termasuk misalnya keterlibatan Taiwan dalam upaya penggulingan pemerintah Ali Sastroamidjojo (PNI) dengan mendekati lawan-lawan politik PM Ali, terutama Masyumi, untuk membentuk kelompok konspirasi.
Dalam konteks kajian akademis terkait dengan hubungan Tiongkok dan Indonesia, khususnya pada masa-masa awal kemerdekaan, buku ini dapat disandingkan dengan karya-karya penting lain yang membahas tema kajian serupa, seperti Chinese Policy Toward Indonesia karya Mozingo dan China and the Shaping of Indonesia:1949-1965 karya Hong Liu.
Dahana mengisyaratkan ketiga buku itu sebagai bacaan atau referensi utama bagi mereka yang tertarik mendalami seputar hubungan Indonesia dan Tiongkok pada periode awal kemerdekaan hingga tahun 1960-an, sekaligus bersikap kritis terhadap anggapan atau cara pandang yang selama ini kerap taken for granted.
*FIRMAN NOOR, Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia