JAKARTA, KOMPAS— Solusi yang bersifat permanen dibutuhkan untuk mengakhiri gejolak yang terjadi di Papua. Selama ini, penanganan masalah di Papua cenderung hanya dilakukan untuk mengatasi peristiwa besar sehingga tidak menyelesaikan akar masalah dari setiap kejadian. Penghormatan terhadap aspek budaya, sosial, dan politik perlu diutamakan untuk mewujudkan rasa aman dan telah diperlakukan adil di masyarakat Papua.
Ketua Dewan Perwakilan Daerah Oesman Sapta Odang menilai, unjuk rasa yang belakangan terjadi di sejumlah daerah di Papua dan Papua Barat menjadi pelajaran berharga bangsa Indonesia. Masalah di Papua seharusnya ditangani secara terus-menerus dan tidak menunggu saat ada peristiwa besar.
”Ada sesuatu yang terpendam di dalam kehidupan masyarakat Papua yang tidak pernah kita sentuh dan cari akar masalahnya. Ibaratnya, kita selalu tiba masa tiba akal dalam menangani konflik Papua,” ujar Oesman dalam diskusi bertajuk ”Mencari Solusi Permanen atas Masalah Papua” di Redaksi Kompas, Jakarta, Jumat (6/9/2019).
Selain Oesman, hadir sebagai pembicara dalam acara ini Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Zulkifli Hasan; Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Bambang Soesatyo; Staf Khusus Ketua DPR Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Yorrys Raweyai; mantan Utusan Khusus Presiden Ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono untuk Papua Damai, Farid Husain; serta Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Benny Susetyo.
Kemarin, unjuk rasa terkait dugaan ujaran kebencian bernada rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dilakukan di Manokwari, Papua Barat. Unjuk rasa serupa pertama kali digelar 19 Agustus lalu dan sampai saat ini telah terjadi beberapa kali di sejumlah tempat di Papua dan Papua Barat.
Berulangnya gejolak di Papua, menurut Bambang, didasari persoalan ekonomi dan politik. DPR punya kewajiban menyusun kebijakan yang tepat untuk mengatasi hal itu.
Solusi jangka pendek yang disiapkan DPR, kata Bambang, adalah dengan membuka ruang komunikasi dengan tokoh-tokoh Papua dari berbagai latar belakang. DPR juga tengah menyusun solusi jangka menengah bersama dengan pemerintah melalui rencana evaluasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Evaluasi ini dibutuhkan karena pemberian dana otonomi khusus yang hingga tahun 2019 telah menyentuh Rp 115 triliun belum berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua dan Papua Barat.
”Proses integrasi sosial terhadap masyarakat Papua juga harus terus dilakukan. Perlu ada aksi nyata untuk memenangkan hati dan pikiran rakyat Papua,” kata Bambang.
Formula yang tepat untuk merebut hati masyarakat Papua, kata Zulkifli, harus didahului dengan pemberian kepercayaan penuh kepada mereka untuk mengurus kebutuhannya sendiri.
Zulkifli mengatakan, adanya memori telah diperlakukan tidak adil mengakibatkan masyarakat Papua merasa berbeda dibandingkan dengan masyarakat Indonesia lainnya.
Anomali
Yorrys mengungkapkan, rasa aman harus sungguh-sungguh diberikan terhadap Papua. Situasi saat ini menunjukkan ada anomali kebijakan keamanan pemerintah terhadap Papua.
”Pemerintah sebut kondisi di Papua sudah kondusif, tetapi aparat keamanan terus didatangkan ke sana. Panglima TNI dan Kepala Polri juga berkantor di Jayapura. Ini membuat rasa takut masyarakat,” kata Yorrys.
Benny menekankan, aparat keamanan non-organik harus ditarik dari Papua. Untuk menarik hati generasi muda Papua, Presiden Joko Widodo mesti bertemu dan berdialog dengan akademisi dan pelajar Papua.
Berdasarkan pengalaman menemui tokoh-tokoh separatis Papua, Farid menjelaskan, secara umum mereka masih membuka diri untuk berdialog dengan Pemerintah Indonesia. Namun, langkah dialog itu harus didasari sikap saling percaya dan tanpa kecurigaan, terutama dari aparat keamanan.
”Mereka kecewa dan marah karena merasakan ketidakadilan ekonomi dan hukum. Karena itu, mereka perlu didekati secara kekeluargaan,” ujarnya.