”Deja Vu” Korupsi di Sumsel
Pada 2 September 2019, KPK menangkap tangan Bupati Muara Enim Ahmad Yani atas dugaan tindak pidana korupsi.
Pada 2 September 2019, Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap tangan Bupati Muara Enim Ahmad Yani atas dugaan tindak pidana korupsi. Publik di Sumatera Selatan pun serasa deja vu karena pada bulan yang sama, tiga tahun silam, Bupati Banyuasin juga ditangkap tangan dalam kasus serupa.
Bupati Muara Enim Ahmad Yani ditangkap setelah dia memimpin rapat bersama organisasi perangkat daerah di kantor Bappeda Muara Enim yang menjadi kantor sementara bupati. Penangkapan ini sebagai tindak lanjut operasi tangkap tangan terhadap Kepala Bidang Pembangunan Jalan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Muara Enim Elfin Muhtar dan pemilik PT Enra Sari, Robi Okta Fahlevi, yang diduga menyuap bupati.
Elfin merupakan orang kepercayaan Ahmad untuk menerima setoran dari pengusaha pemenang tender, Robi. Saat melakukan OTT, KPK menyita uang 35.000 dollar AS, tetapi Ahmad diduga telah menerima uang Rp 13,4 miliar sebagai imbalan pemberian 16 paket pengerjaan dari proyek Dinas PUPR Muara Enim dengan pagu APBD tahun 2019 senilai Rp 130 miliar. Ahmad diduga mematok commitment fee sekitar 10 persen dari total proyek yang ditenderkan.
Padahal, Ahmad belum genap setahun memimpin Muara Enim bersama Wakil Bupati Muara Enim Juarsyah yang dilantik pada 18 September 2019. Kini, Juarsyah ditunjuk sebagai Pelaksana Harian Bupati Muara Enim setelah Ahmad ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Penangkapan kepala daerah di Sumsel ini membawa ingatan publik pada peristiwa serupa yang terjadi pada Minggu, 4 September 2016, saat KPK juga menangkap Bupati Banyuasin Yan Anton Ferdian di rumah dinas bupati karena kasus suap proyek pengadaan sarana pendidikan. Saat itu KPK menyita barang bukti uang Rp 1 miliar.
Di tempat terpisah, KPK juga menangkap Kepala Rumah Tangga Bagian Umum Sekretariat Daerah Banyuasin Rustami, Kepala Dinas Pendidikan Banyuasin Umar Usman, Kepala Seksi Pengembangan dan Pembangunan Disdik Banyuasin Sutaryo, dan swasta bernama Kirman. Direktur CV Putra Pratama, Zulfikar Muhrrami, pengusaha yang menyuap bupati juga digelandang.
Yan terbukti mengatur semua proyek di dalam satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dan meminta uang di muka kepada kontraktor sebesar 20 persen dari nilai proyek dengan janji mendapatkan proyek tersebut. Skema ini disebut ijon proyek. Sepanjang tahun 2014-2016, Yan telah menerima gratifikasi dari rekanan dan setoran dari SKPD.
Uang diterima dari rekanan Dinas Pendidikan Banyuasin, Zulfikar Muharrami, sebesar Rp 6,13 miliar dan Asmuin (Rp 1,7 miliar); Ketua Unit Pengadaan Banyuasin Muchamad Eko Rusdianto (Rp 600 juta), Kepala Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya Banyuasin Noor Yosept Zaath (Rp 125 juta), dan Kepala Dinas PU Bina Marga Banyuasin Abi Hasan (Rp 500 juta) (Kompas, 21/3/2017).
Koordinator Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Sumsel Nunik Handayani menjelaskan, oknum kepala daerah diduga memang sudah memiliki niat untuk meraup keuntungan dari proyek pembangunan di daerah. Caranya dengan mengutak-atik APBD. Beberapa proyek yang kerap kali menjadi sasaran adalah proyek di dinas pekerjaan umum, permukiman, dan pendidikan.
”Permainan” ini sudah terjadi sejak perencanaan hingga penentuan anggaran. Biasanya proyek yang potensial akan diperbesar anggarannya. Dengan demikian, ”jatah” yang diterima juga lebih banyak.
Nunik mencontohkan anggaran untuk dinas pekerjaan umum dan penataan ruang (PUPR) di Muara Enim yang meningkat cukup signifikan. Tahun 2017, alokasi anggaran untuk PUPR sekitar Rp 146 miliar, meningkat Rp 377 miliar pada 2018. Pada 2019 menjadi Rp 524 miliar atau sekitar 18 persen dari total APBD Muara Enim sebesar Rp 2,8 triliun.
Selain kepala daerah yang memiliki kuasa menentukan alokasi anggaran pada APBD, anggota DPRD kabupaten juga turut berperan penting. Merekalah yang akan mengesahkan APBD tersebut. ”Ya, kalau tidak disahkan, anggaran tidak bisa cair,” katanya.
Kepala Polda Sumsel Inspektur Jenderal Firli Bahuri, saat bertemu dengan anggota DPRD sejumlah kabupaten di Istana Gubernur Sumsel, Griya Agung, Rabu (4/9), mengingatkan anggota DPRD untuk tidak terjerumus dalam kasus korupsi. Ongkos ketok palu, ujar Firli, menjadi salah satu cara oknum anggota DPRD untuk meminta jatah kepada eksekutif.
Selain ongkos ketok palu, jatah proyek dan mutasi jabatan juga menjadi sasaran empuk. Firli berharap agar anggota DPRD benar-benar menjalankan tugasnya untuk mengawasi dan mengawal aspirasi masyarakat, terutama mengangkat masyarakat dari kemiskinan.
Berdasarkan data yang dimilikinya, dari 17 kabupaten/kota yang ada di Sumsel hanya Kota Pagaralam yang angka kemiskinannya hanya satu digit, yakni 8,7 persen. Adapun daerah yang lain, angka kemiskinannya masih dua digit. Bahkan, ada kabupaten di Sumsel yang APBD-nya Rp 4,1 triliun, tetapi angka kemiskinannya tinggi, yakni 15,62 persen. Padahal, keberadaan anggaran salah satu tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menurunkan angka kemiskinan.
Permainan proyek
Setelah urusan pengesahan anggaran di DPRD berjalan mulus, modus oknum kepala daerah adalah meminta jatah kepada kontraktor pemenang lelang dengan besaran beragam sesuai dengan keperluan. Agar tidak menimbulkan kecurigaan, biasanya ada oknum pengusaha yang memenangi lelang juga memiliki badan usaha lain dengan nama yang berbeda.
”Nama kontraktornya berbeda, tetapi orangnya, ya, tetap itu-itu saja,” kata Ninuk.
Adanya setoran dari sebagian nilai proyek berimplikasi pada kurang baiknya kualitas proyek. Dana yang seharusnya dialokasikan untuk pembangunan sebagian digunakan untuk menyuap oknum kepala daerah. Agar tidak tekor, kontraktor mengurangi volume atau spesifikasi bahan bangunan.
Nunik berharap agar pengawasan oleh institusi terkait ditingkatkan, terutama inspektorat, lembaga legislatif, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Itu lantaran masyarakat sangat dibatasi untuk mendapat informasi. ”Kami saja kesulitan untuk mendapatkan informasi terkait anggaran apalagi masyarakat. Bagaimana kita bisa mengontrol,” kata Nunik.
Jumat (6/9), Kompas menelusuri salah satu proyek infrastruktur yang dikerjakan PT Enra Sari, yakni paket peningkatan Jalan Simpang Lecah-Mekar Jaya-Persada. Berdasarkan laman www.lpse.muaraenimkab.go.id, proyek tersebut senilai Rp 21 miliar.
Sejumlah pekerja tampak sibuk melakukan pembangunan dengan menggunakan alat berat, seperti truk pengangkut bahan beton (truk molen) dan ekskavator. Beberapa ruas jalan sudah dicor beton, dan ada beberapa ruas yang masih berbentuk aspal.
Kepala Desa Mekar Jaya periode 2012-2018, Junoto, mengatakan, perbaikan jalan di desanya sudah berlangsung selama dua tahun terakhir. Perbaikan ini sudah disesuaikan dengan keputusan dari Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrembang) Kabupaten Muara Enim. ”Namun, untuk kontraktor ini, saya belum mengenal sama sekali,” katanya.
Hingga saat ini, Junoto juga belum tahu berapa nilai proyek dan siapa kontraktornya. Itu karena tidak ada papan proyek yang ditampilkan.
Dirinya terkejut ketika mendengar Bupati Muara Enim terjaring KPK. Dia berharap, pembangunan infrastruktur di Muara Enim tetap berjalan walau ada kasus dugaan korupsi yang melibatkan bupati.
Gubernur Sumsel Herman Deru memastikan semua pembangunan infrastruktur di Muara Enim tetap berjalan. Apalagi, semua sudah dianggarkan dalam APBD. ”Setiap proyek pasti akan dipantau oleh pejabat pembuat komitmen (PPK), pasti pembangunan akan terus berjalan,” katanya.
Pengawasan oleh rakyat
Dengan adanya kasus ini, Herman berharap agar masyarakat lebih ketat untuk mengawasi program yang dirancang pemerintah. ”Rakyat harus memantau program yang dibuat pemerintah tentu dengan cara yang baik,” katanya.
Herman bersedih ketika mengetahui salah satu kepala daerah di Sumsel terjaring OTT KPK. Ahmad Yani merupakan teman dekatnya sejak lama. Walau demikian, dia menyerahkan pada proses hukum yang sedang berjalan. Di sisi lain, Herman mengingatkan kepala daerah di Sumsel untuk lebih berhati-hati mengelola keuangan negara.
Herman mengakui, dalam menjalankan tugas, kepala daerah mengalami tekanan dari berbagai pihak, di antaranya tekanan dari partai politik, kolega, atau bahkan keluarga. ”Jangan sampai tekanan tersebut memaksa kita melanggar aturan hukum,” ujarnya.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sriwijaya, Andries Lionardo, mengatakan, sistem demokrasi pemilihan langsung yang ada saat ini berbiaya tinggi. Kondisi tersebut menyebabkan kepala daerah menggunakan berbagai cara untuk mengembalikan uang yang telah dikeluarkan.
”Mereka berupaya agar biaya yang sudah dikeluarkan saat pemilu dapat kembali ketika mereka menjabat,” ungkapnya. Belum lagi tidak optimalnya pengawasan di tingkat legislatif membuat oknum kepala daerah leluasa bertindak korup.
Penangkapan dua bupati dengan modus yang hampir sama ini harus menjadi pembelajaran bagi pejabat lain untuk tidak lagi terjerumus pada kejahatan korupsi. Harapannya, kepala daerah sadar pada kiblatnya, yakni untuk menyejahterakan rakyat, bukan beriorientasi untuk menyejahterakan diri, keluarga, ataupun koleganya.